Search
Close this search box.

[Opini] Indonesia dan Darurat Pernikahan Anak

Oleh: Meike Lusye Karolus*

SuaraKita.org – Hukum pernikahan di Indonesia memang masih diskriminatif dan berpotensi menjadi faktor terjadinya pernikahan dan kekerasan terhadap anak perempuan. Keadaan ini tentu saja akan berujung pada terhambatnya akses anak perempuan terhadap hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam UU Pernikahan No.1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1 tertulis bahwa pernikahan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun. Penolakan judicial review terhadap batas umur pernikahan mengindikasi bahwa negara abai melindungi anak perempuan. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut juga bertentangan dengan UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terutama pada pasal 26 ayat 1(c) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Anak menurut pasal 1 UU Perlindungan anak adalah orang yang masih berumur dibawah 18 tahun. Termasuk juga anak yang masih dalam kandungan.

Pernikahan anak di Indonesia memang mengkhawatirkan. Data Susenas 2012 menunjukkan sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 % menikah pada usia 16-18 tahun. Praktek pernikahan anak harus dihentikan karena selain membatasi potensi anak juga berakibat pada tingginya angka kematian ibu di Indonesia yang mencapai 359/100.000 kelahiran hidup dan 48/1000 kelahiran untuk jumlah kelahiran di usia 15-19. Dalam kasus di Jawa Barat, rata-rata anak-anak yang menjadi pengantin anak berusia 14-18 tahun baik di pihak anak laki-laki maupun perempuan.

Akar persoalan pernikahan anak di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tataran ekonomi, sosial, maupun kultural. Selain faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan, situasi kultural juga mempengaruhi laju angka pengantin anak. Di Nusa Tenggara Barat, pernikahan anak terjadi karena mekanisme budaya merariq (lari bersama) dalam masyarakat Sasak. Sistem Merariq terjadi ketika seorang perempuan pergi ke rumah bersama laki-laki di malam hari, maka hal itu merupakan pertanda bahwa mereka akan menikah. Oleh sebab itu, pendidikan hukum adat budaya merariq ini harus dilakukan agar pernikahan anak dapat dicegah.

Upaya lain untuk mencegah pernikahan anak adalah dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Hal ini terjadi di kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta melalui Peraturan Bupati (Perbub) Gunung Kidul No.36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang didasarkan pada fakta bahwa pernikahan anak mengalami peningkatan drastis pada tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Edaran Gubernur No.150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus pernikahan anak adalah angin segar di saat pemerintah pusat abai akan masalah ini. Selain itu, pelibatan masyarakat juga perlu seperti yang terjadi di kecamatan Gedangsari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Para pemangku kebijakan bersama dengan warga bergerak bersama dalam jejaring integrasi berbasis MoU (kesepakatan bersama) untuk menghapus pernikahan anak . Ketika terjadi pernikahan anak, pihak terkait seperti Ketua RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA, puskesmas, kelompok pertanian, kepolisian, dan LSM bahu-membahu turun untuk mendatangi keluarga tersebut dan memberikan informasi sehingga pernikahan dapat dicegah. Gerakan ini terbukti mengurangi pernikahan anak dari 9 kasus di tahun 2012, turun menjadi 8 kasus di tahun 2013, dan di tahun 2014 turun menjadi 5 kasus.

Gerakan untuk menghapus pernikahan anak tidak saja dilakukan pada ranah pencegahan, tetapi juga pada ranah pendampingan pasca pernikahan. Masa kanak-kanak yang semestinya menjadi masa bahagia dengan bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri akhirnya tercerabut dengan dimasukkannya mereka ke dalam wilayah rumah tangga. Pendampingan terhadap ibu-ibu yang menikah di usia muda meliputi pendidikan atas kesehatan reproduksi seksual, pengajaran atas pengasuhan anak, penguatan untuk menghapus trauma yang mungkin ada termasuk konsultasi hukum bila ada kecenderungan untuk bercerai, serta pelatihan untuk mendorong potensi mereka di bidang usaha kreatif. Pendampingan tersebut hendaknya melibatkan kelompok-kelompok sosial seperti pihak pemerintah, masyarakat, kelompok agamawan, dan secara khusus, keluarga.

*Meike Lusye Karolus adalah seorang penulis dan peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM Yogyakarta

Sumber

pssat.ugm.ac.id