Search
Close this search box.

pendidikan-seksSuaraKita.org –  Menurut para ahli, ada konsekuensi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan dari keengganan masyarakat Indonesia untuk mengakui bahwa anak-anak perlu belajar tentang seks sejak dini di rumah dan di sekolah. Misalnya, Oldri Shearli Mukuan, seorang aktivis dari Asosiasi HIV-positif Perempuan Indonesia, mengatakan bahwa ketika ia memasuki periode pertama, ibunya mengingatkan untuk berhati-hati tetapi tidak menjelaskan bagaimana atau mengapa.

“Pada saat saya usia 16 tahun, saya adalah seorang pecandu heroin dan korban pelecehan seksual yang sering oleh pacar saya, yang juga seorang pecandu,” katanya pada sebuah seminar tentang pendidikan seksual untuk remaja, di Jakarta.

Jika dia telah dipersenjatai dengan informasi yang tepat tentang seks dan narkoba dan konsekuensi mereka, katanya, ia mungkin akan membuat pilihan yang lebih baik.

Menurut  Irwandi, seorang profesor psikologi di Universitas Katolik Atma Jaya, masalahnya adalah anak-anak atau remaja di hampir setiap tempat bisa mencari dan menerima informasi dari mana saja. Walaupun informasi yang didapatkan  belum tentu tepat.

Idealnya, sekolah harus menjadi lembaga yang paling terpercaya dan netral di mana seks dibahas. Tetapi lembaga pendidikan yang paling baik menghindar dari topik atau tidak memberikan informasi yang komprehensif. Pada awal 1990 Irwandi mencoba untuk memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum sekolah, tetapi seorang pejabat dari Departemen Kesehatan mengatakan dia tidak pernah bisa menyebutkan kata “kondom” di kelas.

“Dia bilang saya harus pergi ke kamar mayat sebelum saya bisa menyebutkan ‘kondom’ di sekolah,” katanya.

Irwandi mengakui sistem pendidikan Indonesia telah banyak berubah sejak saat itu, namun masih ada keterbatasan karena kebanyakan sekolah berbicara tentang kesucian bukan konsep nyata seks.

“Anak-anak di sekolah berbahasa Indonesia kebanyakan over protective,” katanya.

Nia Dinata, seorang sutradara film terkemuka dan produser yang berbicara di seminar, mengatakan ia memiliki masalah mengajar anak remaja tentang seks karena sekolahnya hanya memberinya informasi tentang organ reproduksi.

“Saya pernah meminta anak saya menjelaskan jika dia tahu apa itu seks, dan ia berkata menurut ke sekolah, seks adalah gender,” katanya, menambahkan bahwa sekolah sangat sedikit memberikan informasi yang komprehensif tentang seks dalam kurikulum mereka.

Dhita Wijaya, seorang mahasiswi mengatakan bahwa  dia belajar tentang seks di sekolah tinggi, terutama tentang aborsi.

“Sekolah saya mengatur beberapa pendidikan seks, namun mereka hanya menunjukkan risiko melakukan aborsi. Mereka membuat kita takut melakukan aborsi, tapi mereka tidak berbicara kepada kita tentang bagaimana untuk mencegahnya, “katanya.

Untuk mengatasi rendahnya kesadaran di antara remaja Indonesia HIV / AIDS – hanya 14,3 persen, menurut survei Biro Pusat Statistik pada tahun 2010 – Menteri Pendidikan Nasional pada saat itu  Muhammad Nuh mengatakan pelayanan dimaksudkan untuk memulai pendidikan HIV / AIDS bagi siswa sekolah. Namun, dia menghindari pertanyaan tentang apakah pelajaran akan mencakup penggunaan kondom.

Irwandi menambahkan, sekolah dan universitas harus mengambil peran yang lebih proaktif dalam menyediakan informasi yang jujur dan terbuka tentang seks dan reproduksi, karena media lain tidak akan ragu untuk membombardir anak-anak dengan informasi tentang seks, lengkap dengan grafis yang lebih menarik dan audio, tanpa mempertimbangkan risiko yang ditimbulkan.

Jika tidak dari media tanpa filter, anak-anak akan belajar dari rekan-rekan mereka, yang sering hampir tidak tahu lebih baik, katanya.  (Radi Arya Wangsareja)