Search
Close this search box.

[Kisah] Coming Out dan Kegelisahan Salman

Oleh: Siti Rubaidah

SuaraKita.org – Salman menjalin hubungan dengan pasangannya sejak usia 23 tahun. Sejak berhubungan, pasangan Salman sudah open dengan keluarganya. Sementara Salman sendiri belum secara terbuka berbicara kepada keluarga. Namun, toh demikian  keluarga sepertinya sudah membaca. Tetapi posisi keluarganya tidak mau menyakiti  Salman dan Salman-pun tidak mau menyakiti keluarga. Memang Ibu pernah bertanya, kapan Salman menikah.

Salman menjawab, “Ibu ingin melihat saya bahagia tidak? Saat ini saya bahagia karena saya sudah punya pasangan dan Romeo. Ibu senang melihat saya bahagia atau melihat saya berpura-pura bahagia dengan kehidupan rumah tangga saya?”

“Ya saya pengen melihat kamu bahagia, to,” kata Ibu Salman.

Salman-pun menegaskan bahwa dirinya saat ini bahagia dengan kehidupannya. Pernyataan Salman kemudian disambut dengan pelukan hangat Ibu yang rela menerima kondisi anak apa adanya.  Pihak keluarga lain akhirnya menerima Salman. Ketika pertemuan arisan, keluarga selalu menanyakan apakah Papi (pasangan Salman – red) ikut? Dan ketika Papi ikut mereka langsung membaur satu sama lain.

Di lingkungan kerjanya, di dunia seni dan panggung yang cukup cair dan terbuka, Salman lebih leluasa menyatakan orientasi seksualnya.  Tetapi dia bukan yang tipe orang yang suka mengumbar bahwa saya adalah gay. Cukup ketika ada pertanyaan Salman menjawab ya. Salman banyak bergaul dengan teman-teman yang hetero dan selama ini tidak pernah ada yang ketakutan akan tertular, dsb. Hal itu karena Salman tidak pernah berusaha mempengaruhi seseorang untuk mengikuti gaya hidup atau orientasi seksualnya.

 

Karya Seni Hasil Kegelisahan Salman

Salman adalah sosok Gay Muslim dan seniman multi talenta. Sebagai seniman Salman tidak hanya menuangkan ide dan kegelisahannya dalam bentuk novel dan lukisan saja, seperti telah disampaikan di tulisan sebelumnya. Kegelisahan Salman juga dituangkan dalam naskah sandiwara radio, cerpen, dan naskah pendek.

“Hobby saya bicara menyampaikan sesuatu  kecuali hal-hal yang sifatnya secret dan harus saya pendam. Saya punya kegelisahan yang itu biasanya saya sampaikan lewat bicara tetapi saya juga bisa menyampaikan kegelisahan saya lewat lukisan, melalui tulisan, naskah drama panggung, tari dan macam-macam. Saya juga sering dubbing, dan dulu sempat siaran di RRI. Sekarang jadi dubber di radio, iklan, dan sinetron lepas,” ungkap Salman.

Saat ini, Salman sedang menggarap film bersama Nia Dinata judulnya Papa-Papi. Berkisah tentang remaja yang ingin mengenalkan pacarnya kepada orang tua. Dan ternyata orang tua pasangan ini adalah gay.

Tentang karyanya ini, dia menjelaskan, “Menulis, menggambar atau apapun itu paling enak adalah yang berangkat dari kegelisahan kita, yang dekat dengan kita. Selama ini kita menangkap bahwa masyarakat kita masih jijik banget dengan LGBT makanya saya ingin memotret itu sebagai sebuah karya.”

Salman sebenarnya ingin menuangkan kegelisahannya tentang agama. Tetapi karena dianggap rawan maka Saman-pun mengurungkan niatnya. Ketika saya bergerak masih ada ketakutan-ketakutan karena kita hidup di negara yang masyarakatnya belum bisa menerima kehidupan LGBT. Kekhawatiran terbesarnya adalah terhadap kelompok-kelompok yang agamis, homophobik dan mereka mempunyai power serta massa. Sehingga mereka bisa menggerakkan apapun, termasuk melakukan razia.

“Orang sering menyalah artikan bahwa Islam identik dengan Arab, sehingga banyak orang yang bertingkah kearab-araban. Padahal kita lahir di Indonesia yang juga mempunyai budaya sendiri. Seperti dalam penggunaan bahasa, ternyata Sampura Sun itu lebih tua daripada ucapan Assalamualaikum. Jadi boleh dibilang Islam itu datang lebih akhir dibandingkan agama dan kepercayaan Nusantara. Kalau melihat orang yang kemudian berlaku arogan melarang warung berjualan di waktu puasa ya gemes melihatnya. Tapi apa daya sekarang mereka semakin banyak dan menjadi mayoritas sehingga merasa apapun yang dilakukannya syah. Di Indonesia dalih agama ini seringkali mengalahkan argumentasi lainnya, dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang-orang yang beragama sama dengan saya yaitu Islam. Itu yang buat gemes, “ kata Salman panjang lebar.

Sebagai seorang Muslim yang taat, Salman juga taat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Salman memandang bahwa agama adalah alat komunikasi dengan Tuhan. Salman berkata jujur bahwa dirinya kadang bingung tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan Tuhan. Untuk menjawab kebingungannya sendiri, Salman memilih cara dengan beragama.

“Kadang saya membatin dalam hati, Maafkan Tuhan saya tidak Sholat hari ini tapi Kamu pasti tahu bahwa aku tetap ingat Kamu. Begitulah saya memaknai agama. Saya menyembah Tuhan dengan cara Sholat dan orang lain menyembah Tuhan dengan cara lainnya. Ibarat  handphone, aku menggunakan Nokia sedangkan yang lain menggunakan Samsung sebagai alat komunikasi,” papar Salman.

Spiritualitas bagi Salman adalah penting karena dengan keyakinan bahwa Tuhan yang mencipta, mengatur dan mengarahkan segala sesuatu membuat manusia merasa kecil dan tidak besar kepala. Dengan demikian hidupnya akan lebih terarah dan tidak liar. Tanpa spiritualitas maka seseorang akan cenderung menganut paham yang bebas. Salman menganggap bahwa sesuatu yang terlalu bebas akan merusak, sehingga memang perlu ada norma yang menjadi batasan.

Salman juga melihat perbedaan antara kaum agamawi dengan orang yang beriman. Orang agamawi melihat semuanya serba dosa, semua tidak boleh. Hal ini berbeda dengan orang yang beriman, di mana dia sudah mencapai puncak tawakal dan mengenal Tuhan lebih mendalam. Bagi kaum agamawi yang melihat hanya pada permukaannya saja, sehingga akhirnya merasa benar sendiri dan merasa paling benar. Seolah-olah surga hanya hak dia dan golongannya. Padahal manusia lahir itu berbeda-beda tempat, berbeda-beda adat.