Search
Close this search box.

Idul Fitri dan Kesinambungan Agama-Agama

Oleh: Mun’im  Sirry, Lc., MA., Ph.D *

SuaraKita.org

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, hiruk-pikuk senantiasa mewarnai festival terbesar kaum Muslim ini. Dari tradisi mudik ke kampung halaman, takbir bersama dan keliling hingga acara halal bi-halal, semua itu merefleksikan betapa perayaan ini telah menjadi tradisi bangsa yang fenomenal.

Fenomena lebaran di Tanah Air memang jauh lebih semarak dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. Beragam aktivitas perayaan telah meleburkan sekat-sekat sektarianisme kultural dan keagamaan. Orang tidak mempersoalkan ekspresi budaya atau agama. Keduanya lebur dan menyatu dalam merajut momen-momen kebersamaan yang begitu masif.

Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Kesinambungan Tradisi
Ciri utama sebuah festival, termasuk festival keagamaan, adalah wataknya yang bersifat selebratif. Termasuk Hari Raya Idul Fitri yang acapkali digambarkan sebagai kulminasi kegembiraan atas keberhasilan menyelesaikan panggilan puasa selama sebulan penuh.

Setiap bentuk perayaan selalu melibatkan sejumlah karakteristik. Dalam merayakan Idul Fitri kita merasakan adanya hal-hal yang bersifat dramatis, simbolik, dan performatif. Bahkan perayaan itu sendiri menjadi semacam pertunjukan publik.

Momen selebrasi juga kerap menghadirkan signifikansi khusus bagi mereka yang merayakannya. Antropolog agama Victor Turner (1982) menyebutkan bahwa manakala suatu kelompok masyarakat merayakan peristiwa tertentu, maka mereka sesungguhnya merayakan dirinya sendiri.

Nabi Muhammad menyadari kebutuhan terhadap festival yang menginspirasikan kesenangan ketika beliau tidak serta-merta melarang bentuk-bentuk festival yang sudah ada sebelum kedatangan Islam. Banyak hadis menceritakan bagaimana Nabi mempersilakan kaum beriman untuk menikmati momen Hari Raya dengan nyanyian dan dendangan.

Salah satu kisah yang diceritakan oleh ‘Aisyah, istri Nabi, ini tercatat dalam kitab-kitab hadis kanonikal. Dua biduanita sedang menyanyikan lagu-lagu Anshar di kediaman ‘Aisyah ketika Abu Bakar (ayahanda ‘Aisyah) masuk dan berkata: “Lagu kayak lagu syetan, kok, dinyanyikan di rumah Nabi! Pada momen Hari Raya lagi!”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, hari itu disebut yaum bu‘ats–yakni hari bersejarah yang diperingati penduduk Madinah sejak zaman pra-Islam. Diceritakan, Nabi merespons sebagai berikut: “Biarkanlah, setiap masyarakat punya festivalnya (‘id) sendiri, dan hari ini adalah hari festival kita.”

Hadis ini menunjukkan bahwa Muhammad bukan hanya tidak menolak cara selebratif dalam menyambut hari-hari penting, melainkan juga melanjutkannya. Kita tidak mempunyai informasi yang cukup untuk memastikan model-model festival apa saja yang pernah ada pada masa pra-Islam. Tetapi dari sedikit informasi yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa penduduk Madinah merayakan beragam festival, baik yang bersumber dari tradisi lokal ataupun dari tradisi keagamaan Yahudi dan Kristen. Dan, Nabi tidak mempermasalahkannya.

Lihatlah contoh berikut. Beberapa budak asal Etiopia merayakan festival mereka dengan tarian khas. Rupanya ‘Aisyah sangat suka menonton mereka hingga Nabi selalu mencari cara agar ‘Aisyah bisa menikmati tarian mereka. Suatu saat, sahabat Umar bin Khattab datang dan memarahi para penari asal Etiopia itu. “Wahai Umar,” kata Nabi, “biarkan mereka merayakan dengan tarian di hari kebahagiaan mereka.”

Beliau juga tidak sungkan mengklaim festival yang dilakukan oleh komunitas agama terdahulu. Kasus puasa ‘Asyura (10 Muharram) adalah contoh yang baik. Diceritakan Ibn ‘Abbas, sepupu Nabi, Muhammad pernah menanyakan alasan orang-orang Yahudi berpuasa dan berpakaian bagus pada Yom Kippur, hari peringatan kemenangan Musa atas Fir’aun. Dan Nabi pun merayakan ‘Asyura sembari berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”

Proses Pemisahan Identitas Keagamaan
Contoh-contoh di atas cukup untuk menegaskan bahwa Nabi bermaksud melestarikan tradisi-tradisi yang ada. Hal ini juga mengajarkan adanya kesinambungan dengan tradisi keagamaan terdahulu.

Memang belakangan muncul semangat “Islamisasi” atas tradisi-tradisi yang dianggap asing. Sebagai contoh, kata ‘id dalam ‘id al-fitr yang dicarikan derivasinya ke bahasa Arab. Umum disebutkan, kata ‘id dalam bahasa Arab memiliki arti “kembali”. Maka, ‘id al-fitr dijelaskan sebagai momen kembali ke fitrah (kesucian penciptaan). Pemahaman ini, sepintas, memang terkesan masuk akal.

Masalahnya adalah Hari Raya yang lain juga disebut ‘id al-adha. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri merujuk kepada perayaan pra-Islam juga dengan sebutan ‘id.

Sebenarnya kata ‘id itu berasal dari bahasa Aramaik, lingua franca yang umum dipakai kaum Kristen (dan juga Yahudi) sebelum kedatangan Islam, yang berarti “festival”. Penggunaan istilah ‘id mengisyaratkan adanya kesinambungan dengan tradisi agama sebelumnya. Artinya, kelahiran Islam tidak terisolasi dari pengaruh agama-agama monoteistik terdahulu, terutama Yahudi dan Kristen.

Kesarjanaan tradisional memang menyebutkan Islam muncul dari lingkungan yang sepenuhnya paganistik dan terputus dari tradisi monoteisme. Deskripsi tersebut sebenarnya lebih dimaksudkan untuk menjauhkan Islam dari kesan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen. Kenyataannya kelahiran Islam tidak jauh berbeda dari pola lahirnya agama-agama monoteistik lain. Semuanya muncul melalui proses keterlibatan interaktif, responsif, dan dialogis satu sama lain.

Perbedaan cara Muhammad dan Umar (juga Abu Bakar) dalam menyikapi tradisi festival pra-Islam menggambarkan dengan baik fleksibilitas keberagamaan Nabi di satu sisi dan rigiditas para pengikutnya di sisi lain. Nabi begitu terbuka dalam menerima dan menjaga kesinambungan dengan tradisi agama-agama terdahulu. Sementara itu, kebutuhan untuk meneguhkan identitas keagamaan yang distingtif menuntut para pengikutnya bersikap eksklusif. Tidak jarang juga jika agama-agama lain digambarkan secara negatif.

Dalam konteks formasi awal identitas Muslim itulah muncul banyak pernyataan dinisbatkan kepada Nabi yang pada intinya melarang kaum Muslim untuk meniru (tasyabbuh) penganut agama lain. Hadis yang populer berbunyi: “Barangsiapa meniru suatu golongan, maka ia termasuk golongan itu.”

Hadis ini sering digunakan sebagai argumen untuk meneguhkan keunikan dan superioritas Islam atas agama-agama lain dan sekaligus untuk mengutuk mereka yang dianggap menyimpang dan terpengaruh cara berpikir dan gaya hidup komunitas agama lain.

Beberapa sarjana menawarkan interpretasi bahwa penggunaan hadis itu untuk menolak pengaruh dari luar sudah berada di luar konteks asalnya. Kita juga dapat tegaskan bahwa hadis tersebut bertentangan dengan semangat Nabi dalam melestarikan kesinambungan dengan tradisi agama-agama terdahulu.

Penelitian Youshaa Patel (2012) dari Universitas Duke, AS, memperlihatkan bahwa kaum Muslim awal bukan saja tidak mempermasalahkan tetapi juga menganggap asimilasi praktik-praktik kultural dan keagamaan Yahudi dan Kristen sebagai hal yang baik.

Pengetatan distingsi konfesional dan identitas komunal sebenarnya berkembang belakangan ketika identitas kolektif kaum Muslim bersekongkol dengan kekuasaan politik. Pada saat itulah kaum Muslim mengubah cara pandangnya dari imitasi menjadi distingsi. Agama lain diposisikan sebagai lawan, bukan kawan.

Dengan spirit Hari Raya Idul Fitri mari kita gelorakan kembali semangat perkawanan dan keterbukaan, sebagaimana teladan baik yang pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad.

Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin!

*Mun’im Sirry adalah tokoh pluralisme, peneliti dan asisten professor di Fakultas Theologi Universitas Notre Dame Amerika Serikat

Sumber

geotimes