Oleh: Khoer Jurzani*
SuaraKita.org – “Tuhanku, apabila ilalang telah tak ada tak memiliki tanah sebagai rumah tempat tumbuh, lantas aku dan dia mesti berjalan menyusuri apa. Kami tak hendak menyusuri dinding dan aspal!”
Kami membayangkan bahwa kami berdua adalah sepasang tokoh dalam sebuah fiksi. Kami hidup, bernapas dan kelak mati hanya dalam fiksi, dalam angan-angan pembaca dan sang penulis fiksi itu sendiri. Dunia nyata telah lama membuat kami putus asa.
Kedai kopi tempat kami biasa bertemu masih sepi. Kami berharap tidak akan ada seorang pun pengunjung yang datang malam ini atau setidaknya tak terlalu ramai. Tapi kedai kopi selalu ramai di saat seperti ini, saat orang-orang memerlukan lebih dari sekadar manis-pahit dan hangat air kopi. Orang-orang yang kami nilai pergi ke kedai sekadar buat duduk-duduk berbincang. Tak ada buku atau apapun yang mereka tulis. Kedai kopi jadi tak seindah dan semanis gerimis.
Selain lampu-lampu yang menggantung mencipta terang-temaram, juga meja kayu serta udara sejuk-dingin, tak ada yang menarik perhatian kami. Bahkan dua cangkir kopi yang kami pesan. Kami butuh tanah. Kami mesti bisa bersama berdua selamanya meski itu di tanah dalam kisah yang tak pernah tercatat sejarah.
Kami memutuskan pergi, memutuskan berjalan di atas tanah kami sendiri, tanah yang kami percaya adalah tanah yang tak akan bisa direnggut siapa-siapa, seorang pun tak akan merenggut. Kami berjalan dengan kaki kami sendiri di atas tanah kami sendiri.
Tak ada dinding kedai, kami tak menyusuri dinding yang biasa kami lihat kami temui. Juga tak ada aspal. Kami berjalan tak menjejak di atas bumi yang biasa kau tapaki, bumi yang seharusnya menjadi tempat mati paling hangat, paling terhormat.
Tanah kami angan-angan yang mati-matian kami usahakan agar bisa kami miliki. Apabila kau bisa membangun deretan toko mewah, mall dan gedung-gedung tinggi di atas tanah, bisa menyingkirkan rerumputan, ilalang dan cacing, bisa memindahkan bunga-bunga segar ke taman, ke pot dan mengusir gelandangan ke haribaan kesunyian, tapi kau tidak bisa mengambil tanah yang kami miliki, kau tak bisa masuk ke angan-angan kami. Angan-angan kami, juga pikiran dan perasaan kami tak bisa jadi seperti tanah sengketa.
Kami tak pernah bisa berhenti berangan-angan. Angan-angan adalah angin sepoi-sepoi yang bisa membawa kami melayang, bisa mempertemukan kami. Semacam jembatan putih berkabut, kami berdua berjumpa dan menjadi sepasang kekasih.
“Kita tidak bisa lagi berjalan di atas tanah. Kita sudah saling memiliki. Tanah kita.”
“Tidak perlu janji, aku tahu kita bisa terus berjalan seperti ini.”
“Sampai kita berdua mati?”
“Sampai kita berdua mati.”
Kami ciptakan langit kami sendiri. Langit dengan derai hujan dan gerimis. Langit yang tak melulu biru tak melulu gelap gulita. Sebab tanah yang kau bilang tanah tak bisa lagi kami miliki, bahkan sekadar aroma segar dan warnanya yang menyejukkan pun tak lagi kami lihat dan rasakan. Seolah kami berdua, atau bahkan dirimu, tak tercipta dari tanah. Seolah kita semua tak butuh tempat rehat, kelak, di rumah yang entah apakah ramah, yang bernama tanah. Maka kami terbangkan segenap daya imaji kami, angan-angan kami atas apa yang mestinya kami miliki.
Kami tengah berjalan pulang dari kedai kopi menyusuri jalan setapak ke arah bukit. Di bawah pohon yang entah pohon apa kami duduk berteduh. Langit sedang terang meski malam, cahaya bulan menyusup ke kulit. Kami memandangi jalan berbatu, semak belukar sarang sepi dan aneka reftil, kami mendengar, bagaimana alir air terdengar nyaring bersenandung, seolah seorang ibu yang sedang bersenandung. Kemudian kami saling menatap dan tahu bahwa di dada kami masing-masing telah tumbuh ilalang paling tinggi paling kering dan paling rimbun. Padang ilalang yang jauh lebih lapang ketimbang ilalang yang telah punah sebab tak lagi bisa tumbuh. Lembah sudah ditembok, jurang dan rawa sudah dikeruk. Kami tak lagi memiliki rasa aman selain dalam angan-angan kami.
“Apakah bukit di sana itu betul-betul dekat, apakah bukit di sana itu betul-betul ada?”
“Anggap saja kita sudah berada di sana. Bukankah demikian yang bisa kita lakukan. Menganggap segala hal baik-baik saja meski sebenarnya tidak.”
“Kau pernah bosan dan lelah?”
“Aku, juga kamu, kita percaya terbuat dari tanah, dan apakah tanah pernah mengeluh bahwa ia lelah, padahal ia bosan dihabiskan, dimatikan, tak bisa lagi menjadi rumah bagi warna-warni bunga-bunga yang indah dan bunga-bunga tidak indah.”
“Kita seperti dua orang manusia yang tak memiliki rumah. ”
“Kita memang tak punya rumah.”
“Di atas bukit ada apa, akan apa? Bukankah kita sudah tiba di atas bukit?”
“Tak ada kedamaian di atas bukit selain, seperti biasa, kita ciptakan kedamaian kita sendiri.”
“Dalam baris-baris sunyi kata-kata puisi?”
Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kendaraan bernama puisi. Di dalam puisi kami membuat dunia yang seolah-seolah dunia paling ideal dihuni manusia, di mana kami bisa leluasa menjadi manusia, manusia yang jujur sejujur-jujurnya, manusia yang bisa memberi kedamaian bagi semesta, setidaknya rasa aman dan damai buat kami sendiri.
Di dalam puisi kami meramalkan nasib kami sendiri.
“Kita akan dikebumikan bukan di bumi.”
“Bukan di dalam tanah?”
“Aku tahu kau akan pergi menemui tanahmu sendiri, tanah air yang baru bersama dua orang manusia yang ingin agar kamu baik-baik saja.”
“Aku sudah bisa membuat sebidang tanah yang lebih dari sekadar tempat orang dikubur tempat orang bermain. Itu berkat dirimu.”
“Kamu tidak perlu tahu, bahwa sesungguhnya kau dan angan-anganku tentang apalah ini tak lebih dari sekadar bualan orang gila semata.”
“Kita akan dikuburkan berdampingan. Tentu setelah kita berdua tiada, kita berdua mati.”
“Aku telah lama mati. Tidak di tanah atau di mana pun. Tatapan dan omongan sinis orang-orang telah menguburku. Aku dikubur di dalam kesepian.”
“Kalau begitu aku pun ingin dikubur di dalam kesepian. Kubur aku di dalam kesepian.”
“Bukan kamu yang ingin, tapi aku, aku ingin kita berdua bisa terus sama-sama. Kamu mana tahu.”
“Tapi aku menghormatimu dan berusaha untuk bisa berjalan-jalan bersamamu.”
“Tapi cepat atau lambat kamu akan meninggalkanku.”
“Bukan aku yang meninggalkanmu. Orang-orang tak meninggalkanmu. Kamulah yang meninggalkan dirimu sendiri. Kamu mesti pulang ke dalam dirimu sendiri baru kamu bisa pulang pada Tuhan dan orang-orang.”
“Orang-orang tak menghendakiku pulang.”
“Begitupun dengan Tuhan?”
Kami tak pernah benar-benar berpisah, atau lebih tepatnya belum benar-benar berpisah. Kami masih bisa bersama. Kau tentu tahu bahwa dua orang yang saling mengasihi tak mesti selamanya saling menatap berbagi isyarat. Ini bukan cerita mengenai sepasang petani yang tak bisa lagi disebut petani sebab di dunia nyata sudah tak lagi punya tanah untuk digarap. Tak ada tanah semurah sekaligus semahal tanah yang pernah kami miliki di dalam hati, dada dan pikiran kami. Kami berdua pun tahu, jika kelak kami mati terbunuh oleh tajam lidah tajam tatapan orang-orang, kami tak bisa dikubur di dalam tanah. Kami bukan sepasang kekasih pada umumnya sepasang kekasih.
Kami barangkali tak kenal kata menyerah. Meski musim tak melulu tentang basah dan langit yang benar-benar langit menurutmu selalu mencurahkan mendung mencurahkan ketakutan, kami masih ingin dan kalau bisa menulis sebanyak-banyaknya meski kami tahu kata-kata yang kami tulis tak akan berubah jadi tangga, tak akan mengantarkan kami ke langit memetik impian yang nyaris kami tanggalkan. Terlebih setelah kami membaca bahwa tak akan ada tanah untuk orang yang telah mati, tepatnya untuk sepasang kekasih yang tak pernah memperoleh restu, baik restu penduduk bumi maupun restu warga surga, warga langit dan warga neraka. Kami hanya memiliki angan-angan. Kabut yang membuat kami jadi hidup, hidup di dunia angan-angan. Dongeng purba para leluhur yang masih percaya bahwa di dalam tubuh sebuah pohon besar terdapat dewa-dewa dan hantu-hantu. Kami pernah menganggap bahwa kami tak lain sesaji pada sebuah malam berhantu. Siapa yang telah membuat kami jadi sesaji
Sampai pada suatu petang kami betul-betul mati. Kami menyerah. Kematian kami begitu sunyi seperti malam hari yang datang biasa-biasa tanpa kabar berita menakjubkan. Benar saja, kami tak dikubur di tanah.
Di dalam tidur panjang, kami bertemu melepas rindu.
“Hai, selamat menjadi arwah.”
“Selamat menjadi arwah.”
Sukabumi, 2016
*Seorang penikmat mimpi dari kota Sukabumi. Sapa penulis melalui email pribadinya di jurzani.khoer@gmail.com