Oleh : Wida Puspitosari
SuaraKita.org – Dewasa ini, kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Berita pemerkosaan hampir setiap jam muncul di berbagai media massa. Hal ini menandakan bahwa situasi kekerasan seksual tengah menempuh situasi daruratnya. Melihat kondisi yang sudah semakin parah ini, bertempat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Gerakan Keberagaman Seksualitas Indonesia yang terdiri dari Ardhanary Institute, Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), Suara Kita dan Perempuan Mahardika mengadakan diskusi publik pada Selasa (31/5). Diskusi ini fokus mengkritisi kondisi kekerasan seksual yang kian genting serta peran LGBT sebagai jaringan masyarakat sipil yang memiliki andil dalam mengkampanyekan gerakan anti kekerasan.
Sebagai salah satu pembicara, Gadis Arivia memaparkan jika pada dasarnya perempuan dan kelompok LGBT di Indonesia sama-sama bergelar sebagai warga negara kelas dua. Hal ini disampaikannya dalam diskusi kemarin.
“Banyak studi memperlihatkan bahwa bukan saja perempuan yang diperlakukan sebagai objek melainkan juga LGBT. Hal ini tidak mengherankan karena LGBT juga termasuk kelompok yang dianggap liyan. Mereka rentan terhadap kekerasan seksual. Kekerasan seksual di Indonesia, celakanya, masih dipandang sebagai permasalahan kelamin, bukan kuasa” kata Gadis.
Senada dengan Gadis, dalam menanggapi isu serius ini, Budi Wahyuni menambahkan jika Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan akan terus mengawal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan berkomitmen menjunjung tinggi hak-hak korban.
Kendati demikian, hal lain yang patut menjadi perhatian bagi kita semua menurut, Sri Agustine adalah pengabaian pengabaian masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual jika korbannya adalah LGBT.
“Data di Ardhanary Institute menyebutkan jika banyak kelompok LGBT yang mengalami kekerasan seksual justru menerima kekerasan itu dari anggota keluarganya. Mereka yang ketahuan sebagai lesbian misalnya, disuruh untuk melakukan hubungan kelamin bersama lelaki dengan keyakinan bahwa ‘penyakit’ lesbiannya bisa sembuh dengan melakukan itu” tuturnya sedikit emosional
Agustine juga berpendapat, peran LGBT terkait dengan isu ini dapat diwujudkan dengan bagaimana kelompok LGBT bekerjasama dengan jajaran masyarakat sipil lain dalam menkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual. Sejalan dengan hal tersebut, Gadis menambahkan jika pengalaman sebagai kelompok minoritas, LGBT mampu berperan sebagai garda depan bicara tentang kekerasan seksual untuk membangun sensitivitas sosial.
Makalah yang dibuat oleh Gadis Arivia dapat diunduh dibawah ini:
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/06/Kekerasan-Seksual-Dalam-Perspektif-Filsafat-Gadis-Arivia.pdf”]