Oleh: Wida Puspitosari
Suarakita.org – Pro-kontra terkait isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) rupanya menjadi diskursus yang senantiasa memantik pendapat khalayak. Jika beragam sudut pandang yang dilayangkan oleh masyarakat dunia dewasa ini tertuju pada penghargaan hak-hak dasar mereka sebagai manusia, yang terjadi Indonesia justru tidak demikian. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, isu tentang LGBT – untuk sekedar didiskusikan saja, rasanya masih tergolong tabu dan terlarang. Adapun timbal balik dari merebaknya isu ini justru tindakan kekerasan yang datang dari kelompok garis keras anti toleransi. Nilai-nilai Islam sebagai agama pengusung rahmat bagi semesta dan penjunjung perdamaian kemudian menjadi dipertanyakan.
Menanggapi isu di atas, bertepatan dengan Ramadan 2016, Gerakan Keberagaman Seksualitas Indonesia (GKSI Indonesia) yang terdiri dari Suara Kita, Ardhanary Institute, GWL-INA dan Perempuan Mahardika, pada Senin (20/6) sukses menggelar diskusi bertajuk Pandangan Islam Atas Keberagaman Seksualitas dan Identitas Gender. Bertempat di Komisi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak, acara ini menghadirkan Mun’im Sirry (Associate Professor Universitas Notre Dame) sebagai pembicara dan Muhammad Guntur Romli sebagai moderator.
Pada paparan awalnya, Mun’im menjelaskan bila terdapat perbedaan yang mencolok terkait pandangan masyarakat yang tinggal di negara mayoritas Islam dan negara bukan mayoritas Islam terhadap isu LGBT. Kecenderungan penerimaan kelompok pertama tidak lebih dari lima hingga sembilan belas persen. Sementara kelompok kedua dapat menembus tujuh puluh enam hingga delapan puluh persen. Mun’im juga menambahkan jika hal ini merupakan sebuah kewajaran yang dapat dinalar akal karena masyarakat memiliki tipologinya masing-masing. Walaupun demikian, hal yang tak boleh diabaikan adalah bahwa LGBT tetaplah suatu realitas yang orang lain tidak bisa begitu saja mendiskriminasikannya.
Lantas bagaimana pendapat Islam tentang LGBT? Apakah larangan seks sejenis begitu hitam putih dalam sumber-sumber keagamaan seperti Al-Quran, Hadist dan kitab-kitab Fiqih? Tidak adakah ruang bagi pemikiran-ulang soal homoseksualitas?
Seperti kritikan tajam yang senantiasa dilayangkan oleh kelompok fundamentalis, bahwa LGBT pada kerangka utamanya masih dianggap sebagai kaum Luth yang terlaknat dan pantas kena azab. Tindakan yang mereka lakukan, secara sederhana digolongkan sebagai tindakan yang fahisyah (amoral), syahwat (penuh nafsu), musrifun (berlebih-lebihan) dan mujrimun (pendosa). Menurut Mun’im, ini merupakan tindakan simplifikasi yang mengabaikan dimensi kompleks seseorang. Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi kemarin.
“Sebenarnya tidak ada istilah khusus dalam Islam yang mengacu pada hubungan seks sejenis. Mereka secara sederhana diletakkan sebagai pelaku tindakan yang fahisyah, syahwah, musrifun, mujrimun – yang kemudian sering dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat yang membahas kisah nabi Luth dan pengikutnya. Padahal dalam mengartikan kisah-kisah nabi yang tertulis dalam Al-Qur’an, kita tidak bisa begitu saja memaknai ayat secara literlek. Kisah Luth dan kaumnya perlu saya klarifikasi bahwa hal mendasar yang patut menjadi perhatian ialah tindakan kekerasan, penganiayaan dan pemerkosaan yang telah dilakukan oleh manusia kepada sesamanya, serta penyelewengan beberapa lelaki yang sudah beristri,” tegasnya.
Mun’im menambahkan jika para penolak kelompok LGBT konsisten dengan tafsir literleknya, semestinya mereka tidak gegabah mengaitkan azab Tuhan dengan perbutan seks sejenis. Dalam memandang hal ini, Mun’im mengutip karya seminal seorang ulama literal bernama Ibn Hazm (wafat pada tahun 1064 Masehi) berjudul al-Muhalla. Menurutnya, Ibn Hazm secara terang-terangan menolak pandangan yang mengaitkan kaum Luth dengan tindakan seks sesama jenis, tetapi justru karena pengingkaran mereka akan ajaran nabi Luth dan misi kenabiannya sehingga Tuhan menolak untuk memberkati. Secara garis besar Mun’im menjelaskan bila ayat-ayat Al-Quran terkait kisah Luth dan kaumnta tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskreditkan kelompok LGBT, termasuk larangan pernikahan sejenis.
Prinsip-prinsip normatif lain yang acap menjadi alasan golongan konservatif ialah Hadist Nabi yang memerintahkan hukuman bunuh bagi para pelaku seks sodomi. Namun, seiring berjalannya waktu, Hadist tersebut sudah banyak dipersoalkan otentisitasnya oleh para ulama. Mu’im menegaskan jika Al-Quran sendiri secara jelas tidak menetapkan suatu hukuman tertentu bagi pelaku sodomi. Sementara itu, menurutnya, di kalangan para fuqaha, terdapat perbedaan mencolok mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku sodomi. Perbedaan yang mereka tunjukkan cukup esensial karena terkait aspek konseptual mengapa para pelaku harus dihukum. Perlu juga diakui bila empat mahzab Sunni menggolongkan sodomi sebagai kesalahan. Menarik dicatat di sini, dalam mahzab Syi’ah, sodomi dengan istri diperbolehkan, meski sebisa mungkin dicegah.
Di luar semua itu, sebenarnya tidak ada dalil yang secara tersurat melarang atau membolehkan pernihakan sejenis. Landasan substansial yang menjadi tumpuan penting dalam kondisi yang terjadi dewasa ini adalah perihal kemaslahatan. Hal ini disampaikan Mun’im dalam sesi penutup kemarin.
“Kita perlu objektif, tidak ada dalil yang melarang ataupun membolehkan pernikahan sejenis. Prinsip dasar yang patut kita junjung tinggi sekarang ialah kemaslahatan yang berakhir pada tujuan keadilan, kesetaraan dan menjunjung tinggi marbatat manusia. Konsep kemaslahatan ini sebenarnya sudah pernah muncul dalam tradisi hukum Islam dan terus berkembang sampai sekarang. Hal ini menunjukkan jika konsep itu mampu mendedahkan wajah Islam sebagai agama yang terbuka menyerap perkembangan zaman” tutupnya.
Materi diskusi dapat diunduh dibawah ini:
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/06/Islam-LGBT-dan-Perkawinan-Sejenis-Munim-Sirry.docx”] [gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/06/Pandangan-Islam-tentang-Keberagaman-Seksualitas-and-Identitas-Gender.pptx”]