SuaraKita.org – Apa yang membuat sulit bagi umat Islam untuk menjadi gay dan religius adalah gagasan bahwa Islam adalah agama monolitik yang bersifat kaku dengan satu set aturan yang berasal dari Al-Quran. Akan tetapi yang saya pelajari adalah bahwa Islam adalah agama yang dinamis pada intinya. Islam tidak dimaksudkan untuk menjadi monolit anti-progresif.
Meskipun demikian, Hussain Turk, seorang pria gay Muslim yang menjabat sebagai pemimpin redaksi dari Journal of Islamic and Near Eastern Law di UCLA (University of California Los Angeles) ini mengatakan ada Muslim, gay dan non-gay, yang menyatakan bahwa perlawanan Islam untuk perubahan adalah sesuatu yang memberi daya tarik sebagai sebuah agama.
“Saya senang menjadi Gay Muslim. Sebagai Gay Muslim, saya menempati posisi diantara komunitas LGBT dan komunitas Muslim. “Islam, bagi saya, berarti keadilan sosial. Saya belajar tentang aktivisme sebagai akar untuk keyakinan saya di masjid kampung halaman saya, Kalamazoo Islamic Center. Dipimpin kebanyakan oleh tetua wanita seperti Gulnar Husain dan Shadia Kanaan, kami terorganisir dan bersatu untuk menentang perang di Irak dan Afghanistan dan melawan diskriminasi kepada warga muslin oleh Israel yang didanai Amerika Serikat di Palestina.
“Islam juga berarti bermasyarakat. Meskipun hubungan saya dengan Allah adalah urusan pribadi saya dengan Allah. Akan tetapi ibadah saya dilakukan bersama-sama dengan keluarga saya dan bersama jamaah Muslim lainnya : kita berdoa bersama-sama, kita puasa bersama, kami melakukan ziarah bersama-sama, kita merayakan hari raya bersama-sama, dan kita berkabung bersama-sama.
“Terakhir, dan mungkin yang paling penting, Islam berarti keberagaman. Kami tidak hanya Arab. Kami dari Nigeria dan Indonesia dan China dan India. Islam dibentuk oleh kekayaan dari banyak budaya dan tradisi yang kami wakili. ”
Sumber