Search
Close this search box.

Yuyun dan Hak atas Tradisi di ASEAN Literary Festival

Oleh : Dewi Nova*

SuaraKita.org – Kita tidak  bisa menghentikan pembunuhan dengan pembunuhan. Pemenjaraan untuk menghukum para pemerkosa tidak akan cukup, diperlukan juga rehabilitasi kepada para pelaku yang masih anak-anak. Dan membunuh pemerkosa (melalui hukuman mati –keterangan peliput) tidak memberikan  kebaikan pada manusia yang lain.  Penjelasan itu disampaikan oleh Julian McMahon pada kuliah umum The Rights of the Living defining justice trough our constitution, laws, and stories  kepada salah satu peserta yang meminta pendapatnya terkait isu penghukuman pada pelaku perkosaan berkelompok dan pembunuhan Yuyun di Bengkulu.  Pembahasan itu muncul di salah satu panel ASEAN Literary Festival ke-3 yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 5 – 8 Mei 2016.

Festival bergengsi yang digagas novelis Okky Madasari memberi ruang  belajar bersama tidak terbatas pada teori dan teknik bersastra yang dihantarkan beberapa sastrawan terkemuka. Juga soal-soal kemanusian yang mendesak, yang idealnya menjadi perhatian bersastra para penulis saat ini. Pembahasan penghukuman pada pelaku perkosaan Yuyun muncul dalam kuliah umum yang membahas tiga soal kekinian yaitu soal-soal keadilan, demokrasi dan hak asasi  manusia. Menurut McMahon –ahli hukum pidana asal Australia tersebut– manusia saat ini hidup dalam periode yang sulit, antara lain penderitaan masyarakat karena lingkungan sebagai ruang hidupnya diperbolehkan negara dikelola-kuasai oleh  perusahaan swasta.

lontar
Sumber: Lontar

Isu lingkungan sebagai ruang hidup  dan budaya juga mengemuka pada panel Papua and Timor Leste Stories: How writer and literature bring the fate of neglected people.   John Waromy, sastrawan asal Teluk Cendrawasih, Papua Barat, menyampaikan pentingnya negara menghormati hak atas tradisi tidak hanya bagi masyarakat adat yang berada di Papua, tapi di seluruh tanah air Indonesia.  Pesan itu ia sampaikan di sela pembahasan  novelnya Anggadi Tupa Menuai Badai yang menyajikan tradisi tri tunggal antara yang Maha Kuasa-manusia-alam. Buku yang antara lain lahir karena kegelisahannya atas klaim agama yang mengakibatkan kepercayaan dan tradisi tersingkir. Padahal misalnya dalam tradisi –suku penulis berasal– meyakini hubungan timbal balik antara manusia dengan kehidupan bawah laut – Teluk Cendrawasih.  

Demikian perlehatan ASEAN Literary Festival tahun ini berhasil membawa sastra dari pusat-pusat kesusastraan ke tempat yang jarang disentuh atau dilupakan, sebagaimana Okky Madasari sampaikan pada pembukaan yang dikutip www.antaranews.com (15/03/2016).

“Dari awal Asean Literary Festival dirancang untuk semua orang, tidak hanya untuk sastrawan atau kelompok-kelompok tertentu, tapi justru ingin mendekatkan untuk orang yang tidak kenal sastra,” kata Okky.

“Kami ingin membawa sastra keluar arena dari pusat-pusat kesusastraan, di tempat yang jarang disentuh atau kerap dilupakan,” tambah dia.

*Dewi Nova adalah penulis buku Perempuan Kopi dan Bidang Budaya Perempuan Berbagi