Oleh Sebastian Partogi
Aku ini manusia sampah. Aku ini manusia yang tidak diinginkan. Sedari aku masih kecil. Yang aku ingat hanyalah makian, hujatan dan teriakan tanpa henti dari kedua orangtuaku. Dasar anak goblok. Dasar anak tolol. Dasar anak banci. Anak tidak berguna. Kalau sudah besar juga tidak akan jadi apa-apa. Begitu buruknya perlakuan mereka sehingga kakek-nenek serta keluarga besarku harus turun tangan untuk bertanggung jawab atas pengasuhanku. Kemudian semua hujatan ini berlanjut di sekolah. Tidak berhenti pada hujatan. Mereka juga memberikan tamparan untuk wajahku. Mereka memberikan jambakan pada rambutku. Mereka memberikan jurus tendangan jitu pada kelaminku. Karena aku bukanlah manusia. Derajatku lebih rendah daripada mereka semua. Mereka kelaminnya jelas. Lelaki atau perempuan.
Sementara mereka menilai bahwa aku banci. Aku cacat. Pasti ada kesalahan entah yang dilakukan oleh orangtuaku ataupun alam semesta makanya aku bisa terjadi. Makanya aku bisa dilahirkan. Namun aku bersyukur bahwa paling tidak ada kakek-nenek serta beberapa orang bibiku yang perhatian dan memberiku perlindungan dari buasnya dunia yang mencekam ini.
Namun, sejak nenekku yang mengasuh diriku meninggal dunia, menyusul kematian kakekku enam tahun sebelumnya, kesatuan keluargaku jadi kian porak-poranda. Tiada lagi orang yang memperhatikan dan menyayangi diriku. Tiada lagi orang yang mampu membuatku merasa aman dan tenteram. Rumah yang nyaman itu telah hancur. Tiada lagi tempat untuk berpaling, tiada lagi tempat untuk kabur dari semua kerumitan dunia orang dewasa yang dibayang-bayangi oleh luka lama yang terbawa dari pengalaman menyakitkan saat masa kecil dan remaja.
Mungkin juga sebuah kesalahan alam semesta bahwa aku masih bisa bertahan hidup sampai saat ini. Untuk membayangkan kematian yang menyakitkan memang aku tidak sanggup. Wajahku senantiasa meringis setiap kali membayangkannya. Namun untuk terus bertahan hidup juga aku merasa tidak sanggup. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Hari demi hari, seluruh daya upaya dan perhatianku hanya tercurahkan untuk bekerja dan menyambung nyawa dengan cara sekadar makan tiga kali dalam 24 jam.
***
Usiaku sudah menginjak 30 tahun. Tidak seperti teman-teman dengan usia sebaya, aku tidak pernah pacaran. Bukan karena aku tidak mau. Namun karena aku senantiasa ditolak. Aku memang tidak beruntung dalam hal asmara. Setiap kali mendekati seseorang, hasilnya selalu sama: entah orang itu sudah punya pacar atau dia tidak menginginkan diriku.
Ketika penolakan terjadi satu atau dua kali pada dirimu, mungkin engkau masih bisa menerimanya dengan besar hati. Namun ketika itu terjadi berkali-kali dalam kurun waktu bertahun-tahun, engkau mulai merasa gelisah. Apalagi ketika jus kimiawi yang diproduksi di dalam tubuhmu itu terus dikeluarkan dengan membabi buta, mengucur gila-gilaan dalam aliran darahmu, menyusuri seluruh tubuhmu. Tubuh ini gelisah, hasrat ini membuncah, meronta-ronta untuk diberi makan.
Tangan ini, seluruh ujung jari-jari ini, lubang hidung ini, mata ini, berontak agar diberi makanan. Mereka ingin diberi makan daging. Daging laki-laki yang nikmat. Si ujung jari ingin dapat meraba permukaan daging tersebut. Dingin, halus dan menggairahkan. Si lubang hidung ingin mengendusi bau keringat yang dikeluarkan oleh daging tersebut. Sementara si mata ingin menelusuri liuk lekuk daging tersebut sembari menatap nanar pada bulu dada berwarna hitam yang menyembul dari bagian pangkal buah dada dan menjadi semakin lebat di bawah payudara lelaki tersebut.
Aku adalah kanibal. Seorang pemakan daging. Namun, aku tidak pernah mendapatkan seonggok daging yang bersedia untuk aku makan.
***
Kesepian membuatmu melakukan hal-hal gila. Tekanan yang diberikan dari berbagai unsur kehidupan dewasa mulai dari urusan kerja sampai upaya bertahan di kota yang begitu kejam seperti Jakarta, diikuti oleh setan-setan masa lalu yang sesekali menampakkan dirinya meskipun hanya sebentar, cukup dahsyat untuk membuatmu kehilangan akal sehat. Tiada lagi pegangan yang dapat diraih untuk dapat berdiri tegak bahkan hanya untuk sesaat. Setelah orangtua asuhmu telah beralih menjadi jasad, ketika rupa manusia sudah begitu ambigunya sehingga sulit dibedakan mana yang baik dan mana yang bangsat, engkau bagaikan perahu karet yang terombang-ambing oleh ombak dahsyat kehidupan.
Oleh karena itu, untuk dapat bertahan hidup di tengah guncangan angin kencang dan rasa kesepian yang mengguncang ini, aku menggunakan khayalanku. Aku kemudian melihat gambar daging-daging itu. Aku mengumpulkan mereka dari dunia maya dan menyimpan mereka baik-baik di dalam berkas digitalku. Meskipun aku tidak dapat sungguh-sungguh memfungsikan ujung jari dan lubang hidungku untuk menikmati mereka semua, namun aku bisa mendayagunakan mataku dengan sebaik-baiknya. Hanya dengan mengamati daging-daging itu dengan baik-baik, aku bisa membayangkan kira-kira seperti apakah rasanya mereka sekiranya dapat kuraba, kuendus… kumakan…
Aku masturbasi terus. Setiap hari bisa enam kali. Aku melakukannya bagai manusia kesurupan hingga kelaminku lecet. Aku tidak peduli. Aku terus-terusan menggempur burung kecilku itu, aku tidak lagi khawatir apabila aku kemudian harus mengalami mati rasa atau impotensi sebagai akibatnya. Mungkin lebih baik begitu. Toh apa gunanya mengalami berahi kalau tidak ada daging sungguhan yang bisa dinikmati?
***
“Gue baru habis pergi jalan-jalan. Sama pacar gue.”
Sialan. Padahal aku sudah menghela napas panjang-panjang. Ada yang pernah bilang, lebih baik engkau tidak usah menyimpan harapan apapun supaya dirimu tidak perlu kecewa. Ketika aku ingin menikmati daging itu sendirian, ternyata ia memiliki niat lain. Ia ingin menyimpan diriku di dalam lemari pendingin supaya dapat ia keluarkan diam-diam di tengah malam ketika kekasihnya sedang tidur dan ia nikmati diam-diam tanpa ketahuan.
Aku tidak sudi menjadi kekasih simpanan!
Aku yang marah kemudian memandangi foto itu lekat-lekat. Aku memandangi wajahnya yang bisa dibilang rupawan. Aku memandangi dagingnya yang gempal berisi. Aku memandangi bulu dada gelapnya yang menyembul malu-malu dari balik kausnya. Bulu yang dulu pernah membuat mataku nanar dan jantungku berdegub. Dengan murka aku mulai mengocok kelaminku. Aku mengocok terus hingga keluar cairan kental dari sana. Aku mengocok terus hingga cairan kental yang keluar berubah warna dari putih bening menjadi merah kecokelatan. Tempat tidurku bergetar. Badanku berpeluh hebat. Aku meleleh.
***
Aku memegang pisau itu di tanganku. Seutas senyum mengembang perlahan di bibirku.
Darah merah berceceran membasahi lantai. Membasahi celanaku. Anehnya, aku tidak merasakan sakit. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan nekat ini setelah berbulan-bulan tidak bernafsu melihat daging, bahkan ingin muntah ketika benda itu menampakkan dirinya di depan mataku.
Aku terdiam, tubuhku terbujur kaku. Aku hanya dapat melihat seonggok daging itu terkapar di lantai kamar. Dia telah terputus dari tubuhku. Sungguh, aku tidak ingin merasakan hasrat seksual lagi. Hasrat itu begitu menyiksa, apalagi kalau benda yang menggetarkannya pada diri kita tidak bisa kita miliki.
*Penulis lahir di Jakarta, 23 Agustus 1989. Lulus dari
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya dengan peminatan Psikologi
Kemasyarakatan dan Komunitas pada Januari 2011. Sempat bekerja sebagai
guru di Gandhi Memorial International School (2011-2012) sebelum
akhirnya bergabung dengan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post
(2013-sekarang), dimana ia mengerjakan dua tugas sekaligus: sebagai
wartawan dan copywriter. Sapa penulis di akun Twitternya di @SebPartogi
Sebastian Partogi bisa dihubungi melalui email: sebastianpartogi@gmail.com