Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – World health Organization (WHO) telah menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit mental (penyimpangan) pada tanggal 17 Mei 1990. Sejak itu Badan Kesehatan Dunia dan badan-Badan Dunia termasuk PBB menempatkan komunitas LGBTI setara dan terhormat dengan masyarakat lainnya. Peristiwa penting dan bersejarah tersebut kemudian dirayakan sebagai peringatan IDAHOT. IDAHOT singkatan dari International Day Against Homophobia dan Transphobia yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan Hari melawan Homophobia dan Transphobia.
Dalam peringatannya yang ke-26 tahun, kita masih melihat bahwa keberadaan LGBTI masih sangat terancam dan rentan mendapatkan pelecehan, kekerasan dan diskriminasi tidak hanya bagi secara individu-individu tetapi juga secara kelompok. Peristiwa akhir-akhir ini membuat kita semakin cemas, karena kekerasan dan diskriminasi tidak hanya terjadi pada kaum homoseksual saja tetapi melibatkan bahkan kepada individu, kelompok dan organisasi yang mendukung keberagaman orientasi seksual.
Tentu saja ini menjadi tantangan besar bagi kaum homoseksual dan kelompok LGBTI untuk terus menggemakan perjuangannya agar seluruh kalangan, baik akademisi, aktivis, maupun masyarakat menghargai dan menghormati keberagaman orientasi seksual sebagai keberagaman seksualitas manusia (sexual diversity) dan bagian dari hak asasi manusia.
Dengan latar belakang di atas, tentunya perayaan IDAHOT harus lebih mengedepankan esensi perjuangan menghapus praktek-praktek yang diskriminatif di masyarakat ketimbang sekedar euphoria perayaan yang artifisial dan aktifisme belaka.
Salah satu tantangan terbesar menghapus diskriminasi terhadap kelompok LGBTI ini adalah dengan melakukan upaya dekonstruksi sosial, dalam hal ini melalui perubahan sistim hukum dan nilai termasuk hukum agama. Menguatnya fundamentalisme di seluruh belahan dunia akhir-akhir, mengingatkan kita tentang pentingnya peran tokoh agama dalam melakukan reinterpretasi tafsir kitab suci yang lebih adil gender. Dengan adanya reinterpretasi yang lebih adil gender tersebut diharapkan homoseksualitas tidak lagi dianggap menyimpang (deviant) yang menjadi ancaman terhadap mayoritas masyarakat.
Memang tantangan ini tidak mudah, seperti Ignatius Sandyawan Sumardi yang terkenal dengan julukan ‘Romo Pemulung’ mengungkapkan, “Agama apapun di Indonesia pendekatannya masih cenderung menyalahkan dan menghakimi. Mereka menghadapi dengan keras tetapi tidak konsekwen, suka menghakimi serta tidak manusiawi. “Gus Dur pernah bilang, kita ini masih seperti kanak-kanak dalam pendidikan keagamaan.”
Sebagai biarawan yang pernah mendapatkan pendidikan imam, dirinya tidak mengingkari bahwa ada imam yang kebencong-bencongan, tapi hanya pada ekspresi bahasa tubuh yang gemulai tidak sampai pada pada orientasi seksualnya.
“Imam dalam agama Katolik dididik untuk tidak menikah. Jadi harus sehat dan sangat sadar menerima itu. Kalau ketahuan ada anak yang punya kecenderungan suka sesama jenis maka dia akan dikeluarkan dari sekolah. Alasannya, karena dia akan menjadi pemimpin umat, sehingga kalau belum selesai dengan urusan seksualnya maka akan menjadi gangguan,” pendapatnya tentang tradisi pendidikan Katolik.
Terhadap fenomena anti LGBTI yang sedang marak akhir-akhir ini, I. Sandyawan melihat bahwa ada kecenderungan dari kelompok-kelompok LGBT yang ada mengekspresikan dunianya secara eksklusif dan tidak banyak bersinggungan dengan kelompok masyarakat lainnya. Sehingga akhirnya mereka banyak mendapatkan penolakan masyarakat di Indonesia.
“Kaum LGBT sebagai kelompok minoritas di masyarakat seharusnya tidak eksklusif dan menciptakan dunianya sendiri. Ketika kelompok LGBT ini eksklusif dan tidak membaur dengan masyarakat lainnya pasti menjadi semacam ancaman bagi kelompok masyarakat lainnya. Memang tidak benar kalau mayoritas sistem nilai dikuasai oleh mayoritas, minoritas juga harus dipikirkan juga. Tetapi defacto-nya di masyarakat sedang terjadi friksi-friksi, “ ungkapnya lebih jauh.
Untuk menghapus homophobia di masyarakat, I. Sandyawan menekankan pentingnya peran negara dalam hal ini pemerintah agar membuat sistem yang mengakomodir hak dan kepentingan LGBTI.
“Seperti ketika menghadapi kelompok diffabel, di mana perlu ada undang-undangnya yang mengatur kepentingan mereka. Misalnya ketika membangun mall, jalan-jalan, transportasi harus ada konsep pembangunan yang ramah dan mengakomodir kepentingan kelompok diffabel. Begitulah, kelompok LGBT juga perlu diberi fasilitas dalam bentuk sistem yang perlu dibuat oleh pemerintah. Kita tidak mungkin berharap dari kemauan baik dari satu, dua orang atau lembaga. Harus sistem negara yang mengatur itu semua, “paparnya.
Yang kedua, perlakukan mereka seperti manusia pada umumnya. Setiap orang punya kelemahan tetapi sekaligus punya kelebihan. Orang-orang yang selama ini menganggap dirinya normal pada kenyataannya belum tentu normal seperti kelihatannya. Sehingga mereka tidak boleh diskriminatif.
“Saya kira LGBT juga mempunyai kerinduan perasaan, solidaritas kolektif untuk berkelompok sebagaimana masyarakat pada umumnya. Cuma ekspresi dan aksentuasinya yang berbeda sehingga seringkali dianggap ancaman bagi kelompok masyarakat lainnya.
Sebagai pendamping masyarakat miskin perkotaan yang rentan menghadapi penggusuran, I. Sandyawan prihatin dengan banyaknya kelompok-kelompok masyarakat yang hanya bicara simbol dan wacana-wacana besar sementara mereka tidak memikirkan bagaimana kondisi masyarakat disekitarnya yang terancam digusur dan miskin. Ibu-ibu bingung, mau pindah ke mana mereka, mau dikasih makan apa anak mereka nanti. Padahal gerakan sosial yang demokratik membutuhkan langkah-langkah kongkrit. Munculnya ideologi-ideologi itu sebagai gerakan protes, terhadap kekuasaan, terhadap fasisme yang sangat konkrit di masyarakat. Bukan wacana yang indah-indah dan gagah tetapi fakta gerakan sosialnya tidak ada.
Dalam melakukan pendampingan terhadap warga dan komunitas masyarakat miskin, I. Sandyawan menggunakan pendekatan budaya. Salah satu cara pendekatan budaya yang dilakukannya adalah dengan membuat teater kolosal yang dimainkan oleh warga dan komunitas secara spontan. Dalam sebuah pementasan, I. Sandyawan pernah melibatkan 150 warga miskin. Mereka yang membuat cerita, musik, tari, lagu dan dialog dalam seni teaterikal kolosal tersebut. Walhasil, pesan-pesan yang disampaikan ternyata begitu mudah diterima dan menggerakkan warga untuk berubah. Di sinilah, warga Bukit Duri bisa memotong satu generasi pengguna narkoba dengan lebih manusiawi.