Oleh : Wida Puspitosari
SuaraKita.org – Diskusi dengan tema LGBTQ, seksualitas dan kebebasan berekspresi telah selesai digelar oleh The 3rd ASEAN Literary Festival pada Sabtu (7/5) kemarin. Acara yang mengambil tempat di Taman Ismail Marzuki ini dihadiri oleh banyak partisipan dari berbagai latar belakang dan profesi. Pada dasarnya diskusi ini bertujuan untuk mengulas bagaimana isu LGBTQ, seksualitas dan kebebasan berekspresi bertarung diskursus di tiga negara ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam dan Vietnam. Adapun pembicara yang diundang terdiri dari Sebastian Partogi (Indonesia), Quratul Ain Bandial (Brunei Darussalam), Nguyen Le Chi – diwakili (Vietnam) serta dimoderatori oleh Tunggal Prawesti (Indonesia).
Diskusi mengenai tiga isu di atas berhasil diulas secara menarik oleh masing-masing pembicara. Quratul Ain Bandial menceritakan bahwa di Brunei Darussalam sendiri, isu menyoal LGBTQ masih menjadi perbincangan yang serius di kalangan masyarakatnya – karena kita tahu bila mayoritas penduduk di sana memeluk agama Islam yang jelas melarang seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas ini. Hampir sama dengan Quratul – di Indonesia, menurut Sebastian Partogi, miskonsepsi isu LGBTQ justru dinilai sebagai agenda liberalisme dan konspirasi internasional yang dapat merusak moral bangsa sehingga layak dibina. Namun banyak cara tidak bijaksana yang dilakukan dalam membina kelompok LGBTQ sendiri malah menimbulkan adanya ekslusi sosial, kekerasan oleh keluarga dan lingkungan hingga pemerkosaan yang dilakukan pada kelompok lesbian (corrective rape). Agak sedikit berbeda dengan Brunei Darussalam dan Indonesia, walaupun isu LBGTQ masih dipandang tabu oleh di beberapa daerah di Vietnam (terutama Vietnam utara), Ngunyen (diwakili) memaparkan bahwa aktivisme anak muda untuk memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan terhadap kelompok LGBTQ (pergerakan ini disebut dengan istilah “hou epnomo”) justru membuahkan hasil yang memukau dengan dilegalkannya undang-undang perkawinan sejenis serta memberikan kesempatan bagi kelompok LGBT untuk ambil bagian di ruang publik.
Di akhir acara, banyak partisipan juga melontarkan pendapat dan pertanyaan kritisnya kepada tiga pembicara. Diskusi ini berlangsung secara baik dan terbuka walau bebeberapa jam setelahnya diprotes oleh beberapa pendemo yang mengaku sebagai bagian dari Aliansi Mahasiswa dan Umat Islam Indonesia yang mengatakan bahwa acara tersebut telah menularkan virus-virus LGBTQ.