Oleh : Wida Puspitosari
SuaraKita.org – Isu keberagaman seksualitas akhir-akhir ini semakin hangat diperbincangkan khalayak. Beragam pendapat muncul sebagai reaksi atas fenomena yang tidak sedikit orang menyebutnya tabu. Melihat apa yang terjadi dewasa ini, bertempat di GRHA Oikoumene, Salemba, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada Kamis (26/5) mengadakan diskusi dengan agenda mendengarkan pendapat pakar terkait orientasi seksual dan LGBT. Acara ini dimaksudkan untuk menambah wawasan dan pencerahan bagi para pimpinan PGI mengenai isu LGBT, baik dari tinjauan, psikologis, teologis, maupun praktisi LGBT.
Pada sesi pertama, Hartoyo (Suara Kita) berkesempatan memaparkan situasi dan gerakan LGBTIQ+ di Indonesia. Menurutnya, pengetahuan masyarakat tentang seksualitas pada saat ini masih cenderung terpusat pada situasi yang biner, dimana identifikasi seksualitas hanya ditentukan oleh dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Disamping itu, miskonsepsi terkait perilaku seksual dan orientasi seksual sering menjadikan LGBTIQ+ sebagai bahan olok-olok. Efek negatif atas miskonsepsi tersebut kemudian melahirkan kondisi yang secara sengaja menaruh LGBTIQ+ sebagai sekelompok orang dengan kelainan seksual dan kecenderungan sebagai pedofilia. Hal ini, tambah Hartoyo patut didefinisikan ulang guna menghindari tindakan diskriminasi yang lebih jauh lagi.
Agak berbeda dengan cara pandang Hartoyo, pendapat dr. Lahargo Kembaren Sp.KJ (psikiater) yang didasarkan pada Surat Pernyataan Sikap Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang dikeluarkan pada 19 Pebruari 2016, menunjukkan jika LGBTIQ+ bukan lagi termasuk dalam penyakit jiwa kecuali transeksual yang digolongkan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Kendati demikian, hal yang menjadi dasar perhatian bagi permasalahan ini adalah munculnya ancaman-ancaman serius yang dapat menimpa kelompok LGBTIQ+ berupa stigma, perasaan depresi, bullying, perilaku seksual berisiko bunuh diri dan lain-lain.
Dukungan lembaga agama, dalam hal ini PGI, menurut Hartoyo memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan advokasi pada korban kekerasan atas nama orientasi seksual melalui tafsir-tafsir ulang teks-teks yang berkaitan dengan homoseksual dengan menempatkan manusia setara di depan Tuhan tanpa perlu menghakimi, memberikan pendidikan keberagaman seksualitas pada pemimpin agama, mengembangkan shelter-shelter bagi kelompok LGBTIQ+ yang mengalami kekerasan oleh keluarga dan membangun jaringan antar umat beragama untuk tidak melakukan diskriminasi.
Di akhir acara, diskusi ini ditutup oleh diskusi panjang yang diikuti oleh pendeta-pendeta dan utusan gereje-gereja seluruh Indonesia. Beberapa pendapat dan kritik rupanya banyak dilayangkan kepada kajian ilmu kejiwaan yang secara sepihak kerap kali mendefinisikan penyakit jiwa seseorang. Disamping itu, PGI juga sepakat untuk menggalang gerakan perdamaian anti kekerasan dan anti diskriminasi sebagai gerakan lintas isu, baik secara kelompok maupun masyarakat sipil.