Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – Dalam sebuah kesempatan Redaksi Suara Kita berhasil bertemu dengan Ignatius Sandyawan Sumardi di Sekretariat Ciliwung Merdeka, Jalan Kebon Pala II No 7C, RT 04 RW 04, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Romo Sandy, demikian panggilan akrabnya, adalah seorang aktivis, biarawan dan pengajar yang dikenal dengan julukan “Romo Pemulung” adalah Ketua Sanggar Ciliwung Merdeka.
Sandyawan sedang giat melakukan pendampingan kepada warga Bukit Duri di mana sanggar berada. Kampung Bukit Duri sedang terancam digusur karena diperuntukkan pembangunan trace Kali Ciliwung dari pintu air Manggarai sampai Kampung Melayu. Sehingga akan menggusur sekitar 384 keluarga yang terdiri dari 1.275 jiwa dengan luas lahan 17.067 meter persegi.
Selain prihatin akan penggusuran warga mempertanyakan janji-janji kampanye Pemprov DKI Jakarta dan Presiden Jokowi yang menerima konsep warga dan komunitas Ciliwung Merdeka untuk tidak menggusur dan hanya menata kawasan Bukit Duri dengan membangun Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri (KSM-BD).
Di tengah kesibukan dan aktivitasnya mendampingi warga Bukit Duri, Redaksi Suara Kita ingin mengenal sisi humanis Romo Sandy (panggilan akrab –red) lebih dalam dengan mengajak bincang-bincang bersama tentang perwujudan cinta kasih Kristus dalam pembelaan terhadap kaum miskin dan kelompok marginal lainnya dalam hal ini LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
“Sebelumnya saya perlu menjelaskan posisi saya, saya sudah bukan Romo sekarang. Jadi nanti dalam wawancara sebut saja pak ya,” tuturnya kebapakan.
Romo Sandy mempunyai beberapa anak angkat, salah satunya bernama Ken Ayu dan Asmuni yang mempunyai orientasi seksual berbeda. Asmuni sejak SMP bersifat feminim, hal ini karena ibunya sangat dominan dan bapaknya sangat tidak berperan dalam kehidupan Asmuni. Sejak SMP sampai SMA dia masih melawan kecenderungan itu dan berusaha tetap maskulin. Dan ketika mahasiswa, Asmuni mulai terlihat seperti perempuan dan memakai pakaian perempuan. Sedangkan Ken Ayu justru kelihatan sangat maskulin. Kebetulan kedua anak ini pintar dan kreatif sekali. Ken Ayu dan Asmuni juara terus di sekolahnya, ketika SMP dan SMA mereka hanya mengikuti ujian persamaan, tetapi begitu mahasiswa mereka juara terus.
“Beruntung karena kedua anak angkat saya sangat terbuka. Hal yang sangat pahit sekalipun diceritakan kepada saya. Mereka terbuka kepada saya yang sudah dianggap sebagai bapaknya,” kisahnya mengenang.
Dari pengalaman menghadapi anak-anak dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda ini Romo Sandy mengambil pembelajaran bahwa ada latar belakang psikhologis yang melatar belakangi, mungkin ada trauma dengan bapaknya, sehingga Asmuni tidak percaya dengan laki-laki, kemudian mempunyai kecenderungan suka sesama jenis. Pada kasus yang lain, ada yang seperti gen atau bawaan sejak lahir. Tetapi Romo Sandy juga menemukan fakta bahwa ada orang-orang yang tidak punya kecenderungan tetapi karena bergaul dengan komunitas kemudian mempunyai kecenderungan suka sesama jenis.
“Tentu dengan segala pemahaman saya berusaha menerima anak-anak itu yang kebetulan menjadi anak-anak saya. Dan saya berusaha mendampingi mereka, agar setidak-tidaknya mereka sadar tentang dirinya dan menerima hidupnya apa adanya. Eksesnya akan sangat negatif ketika tidak bisa menerima keadaan dan dirinya apa adanya., “tutur bijak Romo.
Romo Sandy menekankan pentingnya pendidikan seksualitas di sekolah. Menurutnya, pendidikan seksualitas sangat bagus dalam memberi kesadaran dan pemahaman agar anak-anak berdispilin dan bertanggung jawab atas keputusan sesualitasnya. Dia melihat penerapan pendidikan seksual di beberapa negara maju sangat bagus dan disiplin, tidak seperti di Indonesia yang hampir setiap hari terdengar kasus perkosaan. Yang membuat miris. Dengan pendidikan seksualitas ada keterbukaan. Seksualitas yang selama ini dianggap tabu menjadi sesuatu yang harus dihadapi secara sadar, dan pengaruhnya sangat positif untuk mengontrol dan membuat individu sadar atas keputusannya.
Pendidikan seksual ini harus melalui pendekatan yang sangat personal, tidak bisa seragam dan melibatkan orang tua. Sehingga kalau ada pendidikan seksual orang tuanya juga ikut dididik. Dengan mendidik anak-anak di sekolah berarti mendidik keluarganya juga. Dalam beberapa kasus, kemarahan orang tua justru membuat anak-anak mereka semakin terpuruk. Sikap orang tua yang malu atas keberadaan anaknya akan membuat anak merasa terbuang. Apalagi jika keluarga menghakimi si anak. Posisi seperti itu di masyarakat kita ternyata sangat banyak kita temui.
“Anak-anak itu belajar dengan mata, sementara kita sering menasehati lewat telinga. Dan ironisnya kesaksian hidup yang mereka lihat seringkali terbalik dengan yang mereka dengar,” sambung Romo.
Pandangan sistem nilai ini besar sekali dampaknya pada anak. Anak-anak yang punya orientasi seksual yang berbeda, yang ragu dengan identitas seksualnya, apakah laki-laki atau perempuan sangat tertekan dengan pendekatan dan pola asuh seperti itu, berhadapan dengan cara pandang masyarakat yang memandang secara negatif.
“Nah, anak muda yang berhadapan dengan sikap seperti ini pilihannya hanya dua, kalau tidak putus asa ya mereka melawan. Dan ekspresi melawannya ini bisa bahaya sekali dan sering kali tidak terduga,” Katanya Romo menyudahi kisahnya bersama anak-anak angkatnya.