Oleh: Wisesa Wirayuda
Suarakita.org – Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) mengusulkan agar BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) secara resmi menjadi pengganti SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
SIBI dirasa tidak efektif dikarenakan SIBI dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan orang tuli itu sendiri dan dasar pembuatannya mengacu pada Bahasa Indonesia lisan. SIBI dibuat hanya dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan menjadi Bahasa Isyarat namun kosa kata isyaratnya banyak diambil dari bahasa isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isyarat mengikuti bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat untuk kata-kata berhomonim.
Penerjemahan SIBI berupa kalimat lengkap dengan awalan dan akhiran. Contohnya kata perjalanan, dalam SIBI akan diterjemahkan menjadi per-jalan-an. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” ini tetap dengan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga banyak tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung.
Contoh kata lainnya adalah “pengangguran”. SIBI menggunakan tiga gerakan yang mengeja peng-anggur-an. Disini terdapat kata anggur yang diisyarat layaknya buah anggur. Padahal tidak ada hubungan kata anggur dan pengangguran, karena anggur adalah nama buah sendangkan pengangguran berarti tidak punya pekerjaan. Sedangkan dalam BISINDO, penggangguran diisyaratkan dengan mengepalkan satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan.
Gerkatin telah beberapa kali menyatakan tidak setuju dan telah mengajukan untuk mengganti SIBI dengan BISINDO.
“Ini seperti merampas hak orang tuli dalam linguistik,” Tutur Ketua I DPP Gerkatin, Juniati, dalam konferensi pers #dukungBISINDO di Jakarta Pusat dua tahun lalu itu.
Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia masih banyak yang mengajar dengan menggunakan SIBI dan oral atau bahasa bibir kepada siswa tuli. Dalam dunia akademis, BISINDO belum dipercaya mampu menjadi bahasa pengantar yang efektif bahkan dilarang untuk digunakan di beberapa tempat. SIBI yang dikembangkan oleh orang dengar malah digunakan, sedangkan BISINDO yang dikembangkan secara alami malah tidak diakui.
Dampak penggunaan SIBI kepada siswa tuli membuktikan bahwa mereka tidak memahami informasi yang disampaikan gurunya secara maksimal. Tidak sedikit pula yang menjadi salah paham dengan formasinya yang disampaikan. Padahal sudah jelas dan dijamin pada Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa Bangsa bahwa Negara-Negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitas lingustik masyarakat tuli.
Menurut Edo, salah satu aktifis yang berkecimpung di dunia difabel, sekaligus sebagai Juru Bahasa Isyarat (JBI) mengatakan,” Kalau dengan BISINDO, Deaf (Tuli -Red.) bisa lebih berdaya, ngapain pemerintah repot bikin SIBI? Setelah dikaji ternyata memang terdapat politik bahasa, relasi kuasa yang timpang, dan tidak ada kesetaraan. Kalau dalam kajian SOGIEB, unsur otoritas pada tubuh, mereka termarjinalkan.”
Sumber: