Search
Close this search box.

[Liputan] Focus Group Discussion Rumah Pelangi Indonesia

Oleh: Oriel Calosa

Suarakita.org – Rumah Pelagi Indonesia Semarang kembali mengadakan kegiatan Focus Group Discussion yang diadakan pada Minggu (10/3) dan kali ini FGD membahas mengenai SOGIEB yang disampaikan oleh Stanley Osyaviva dan Jessica serta materi Merekonstruksi Pemikiran Tentang Gender dan Seksualitas yang disampaikan oleh Oriel Calosa. Kegiatan yang berlangsung di salah satu kafe di Semarang ini diikuti beberapa mahasiswa perwakilan di Semarang yang sedang mengambil skripsi atau tugas dengan tema LGBT dan kawan-kawan muda LGBT+ dari Kota Semarang.

Menurut Oriel, konsep merekonstruksi pemikrian tentang gender dan seksualitas disampaikan karena sebagaimana kita tahu bahwa GENDER adalah pola konstruksi di masyarakat untuk membagikan apa yang disebut dengan “Lelaki” dan apa yang disebut dengan “Perempuan”. Konstruksi yang sering dibangun berdasarkan pada aspek sosial budaya yang berkembang di masyarakat tentunya terkait dengan konstruksi maskulinitas dan feminitas manusia yang seringkali dipandang dengan cara yang sangat sempit pada paradigma penis dan vagina yang kita tahu bahwa itu adalah tubuh seksual manusia (Sex Body) yang sering di salah artikan sebagai gender di masyarakat.

Konstruksi maskulinitas dan femininitas itu melahirkan konstruksi parameter yang seringkali dijadikan landasan garis “normalitas” dari manusia sehingga konstruksi membentuk batasan-batasan dan labelisasi dari apa yang disebut dengan “Normal” dan apa yang disebut dengan “Tidak normal”.

Manusia disebut sebagai “Normal” ketika berada pada garis liner sejajar dengan parameter yang dikonstruksikan di masyarakat tentang parameter apa itu maskulinitas dan feminitas. Ketika berada di bawah garis yang di konstruksikan tersebut, maka masayrakat menjadi layak untuk menyebut mereka sebagai “Abnormal” seperti “label” yang di tambatkan pada mereka yang difabel, downsyndrome, imbisil, idiot begitu juga dengan mereka yang berada diatas garis konstruksi “normal” seperti indigo juga dikategorisasi sebagai bagian dari “Abnormalitas” tersebut. termasuk diantaranya sebagian masyarakat yang menjadikan LGBT+ berada pada bagian “Tidak normal” karena menganggap identitas seksual yang berbeda sebagai sebuah “Kesalahan system” sehingga bentuk jalan keluar yang dijadikan solusi bagi mereka adalah “Sembuh” yang artinya “Memaksa mereka untuk berada sejajar pada garis nomal” yang dikonstruksi masyarakat dan itu juga berlaku bagi semua yang ada di batas bawah dan batas atas konstruksi tersebut.

Lalu, pribadi individu memiliki “Penggalan” konstruksi yang di standartkan tersebut dan dijadikan control terhadap pribadi individu dengan memberikan “Label” tertentu. masyarakat seringkali menggunakan fungsi kontrol terhadap tubuh individu untuk membatasi ketidak terbatasan ruh dalam mengembangkan diri dengan memberikan batasan dan kontrol penuh terhadap seksualitas manusia. Sehingga menciptakan pola proses prokreasi dengan membentuk keluarka yang bersifat patriarchal dalam memelihara status quo di bidang ekonomi, politik bahkan konstruksi seksualitas manusia dalam membentuk kelas dominan yang mampu menghegemoni ketubuhan manusia untuk di konstruksikan agar sesuai dengan pola yang dibangun di masyarakat.

Dengan menggunakan politik, agama, sosial, budaya, sebagai bentuk dari kontrol sosial yang di bangun mulai dari keluarga, masyarakat hingga ke Negara melalui kebijakan-kebijakan yang membelenggu seksualitas setiap manusia yang tujuanya untuk memelihara konstruksi tersebut karena dalam feodalisme, kontrol terhadap seksualitas menjadi sangat penting dalam system pengontrolan hak-hak pribadi feodal atas kekayaan, kepemilikan tanah, pengakuan dosa, pertobatan, ritual-ritual yang dibangun untuk mengukuhkan statusquo dengan nama patriarki heteronormativitas melalui dogma-dogma yang dibangun dan dipelihara dalam ruang yang di-hegemoni-kan di masyarakat..