Search
Close this search box.

[Liputan] Fundamentalisme Pengaruh Fenomena Global

SuaraKita.org – Kita telah mengenal sosok Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA pada edisi liputan yang lalu. Kali ini kita akan mengenal lebih lanjut sosok tamu kita untuk memperkaya khasanah pengetahuan kita. Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958; umur 57 tahun adalah seorang aktivis perempuan, peneliti, konselor, dan penulis di bidang keagamaan di Indonesia. Adapun hasil karya-karyanya antara lain: buku Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi dan Perempuan Politik.

Ribut-ribut anti LGBT yang beredar cukup panas beberapa waktu lalu – sedang menjadi bahan pembicaraan Gadis Arivia (Jurnal Perempuan) dan Siti Musdah Mulia – saat Redaksi Suara Kita ikutan nimbrung. Menurut Siti Musdah Mulia isu anti LGBT sempat digoreng untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang mulai diberlakukan akhir tahun 2015 lalu.

“Tak kurang dari 3 minggu isu anti LGBT digoreng sebagai pengalihan isu MEA, tega ya?” celetuk Musdah Mulia kepada sahabatnya Gadis. Yang kemudian ditanggapi Mbak Gadis dengan, “Iya, mengapa masyarakat kita suka sekali bicara soal seks-nya saja ya? Padahal kan LGBT tidak hanya melulu soal itu.”

Begitulah suasana awal sebelum Redaksi Suara Kita melakukan wawancara khusus sesi kedua dengan Prof. Dr. Siti Musdah, Mulia, MA. Memang agenda topik wawancara kita kali ini mencoba menguak fenomena di balik peristiwa tersebut. Berikut petikan wawancaranya:

Itu adalah impact dari fenomena global, di mana di seluruh dunia yang namanya fundamentalisme itu memang sedang menguat. Tidak hanya di Islam, di kelompok non Islam-pun fundamentalisme sedang menguat. Ini sebagai bentuk dari respon perkembangan global yang mengkhawatirkan. Ada kelompok-kelompok yang tidak berani menghadapi kenyataan, lalu mewujudkan dirinya dalam bentuk kelompok yang resisten terhadap perubahan. Tidak hanya di Islam, di Kristen, Hindu,  kelompok fundamentalisme ini semakin mengerucut menjelaskan dirinya bahwa dia ada.

Di Indonesia, tentu saja yang menguat kelompok moslem, karena kita mayoritas di Indonesia. “Saya kira itu sebuah kewajaran. Tetapi buat saya, pemerintah seharusnya mengambil tindakan-tindakan yang konkrit untuk menghadang bahaya fundamentalisme karena buat saya fundamentalisme itu sangat berbahaya. Mengapa? Karena semua ideologi fundamentalisme itu bertentangan dengan feminisme, bertentangan dengan ideologi egalitarianisme, apa lagi di Indonesia hal ini bertentangan dengan Pancasila. Mestinya negara ini waspada. Tapi kelihatannya negara cuek saja tuh,” seloroh Musdah Mulia.

“Untuk menghadapi fenomena tersebut, kita harus membuat networking yang kuat di antara kita, civil society. Ya, karena selama ini diantara CSO kan tidak saling menyapa satu sama lain, mereka bergerak sendiri-sendiri. Bahkan kadang melakukan isu yang sama saling tumpang tindih, sebenarnya khan bisa mengerjakan seara bersama-sama. Karena kita tidak saling sapa satu sama lain. Kita perlu sekali membangun networking, duduk bersama, lalu siapa mengerjakan apa. Dan menghilangkan egoisme sektoral masing-masing.” Paparnya.

Pada kesempatan ini Redaksi Suara Kita beralih mempertanyakan masalah kiat menghilangkan homophobia yang berkembang di masyarakat?

“Saya selalu percaya dengan pendidikan.” Selanjutnya, bagaimana pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa semua manusia itu sama adanya. Dan manusia itu terdiri dari sangat beragam: beragam identitas sexnya, beragam identitas gendernya, beragam perilaku seksualnya, beragam orientasi seksualnya. Jadi kita harus melihat semua itu dari perspektif kemanusiaan. Jadi pendidikan yang memanusiakan manusia itu penting sekali.

“Tapi mau tidak kita memulai ini di sekolah-sekolah, guru-guru. Menurut saya, kita mulai dengan adanya orientasi untuk para guru deh. Bahwa yang namanya LGBT itu ini. Dan yang kalian dikhawatirkan tentang LGBT itu sesuatu yang lain, bukan LBGT nya. Jadi saya masih percaya dengan arti penting pendidikan yang seluas-luasnya. Mulai pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan informal melalui media terutama media televisi,” tandasnya.

“Tapi kan media televisi sering menjadi pemicu, bu?” tanya Redaksi Suara Kita kembali.

Jawabannya: “Inilah yang harus kita lakukan. Mungkin beberapa kelompok CSO yang pro demokrasi ini datang besama-sama, roadshow kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan. Masalahnya ini kalau tidak diselesaikan akan menjadi bom waktu di Indonesia. Kalau kita mengaku sebagai negara yang menegakkan demokrasi, yang menegakkan hak-hak asasi manusia, menegakkan Pancasila tidak ada pilihan lain bahwa kita harus menerima semua kelompok yang ada di masyarakat sebagai bagian dari warga negara. Tidak ada pilihan lain. Justru kalau tidak diselesaikan sekarang akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Maukah kita mempertaruhkan demokrasi kita dengan harga yang sangat mahal?”

Tiba-tiba Musdah Mulia mengalihkan perhatian ke Redaksi yang berkerudung, “Kerudung kamu bagus ada manik-maniknya.” Redaksi pun tersipu dan menjawab bahwa kerudung tersebut dibeli di Bandung.

“Kadang-kadang saya gak habis pikir, orang-orang sangat kreatif dan orang-orang bisa menerima ide itu dengan nyaman. Kenapa dalam hal-hal yang esensi kemanusiaan kok tidak bisa ya. Gak nyambung banget…,” kelakar Musdah Mulia menyudahi wawancara. (Siti Rubaidah)