Oleh : Teguh Iman*
Suarakita.org- Putra masuk ke kamar Ayah-Ibu. Tanpa pikir panjang, “Pah, Mah, Putra enggak suka perempuan”, ucap Putra, memantik kebingungan di wajah kedua orang tuanya.
Sejak lama Putra merasa berbeda. Dia merasa dia tidak tertarik dengan apa yang diperbincangkan laki-laki, bincang mengenai perempuan, olahraga dan lainnya. Meskipun dia memiliki banyak teman laki-laki, namun bila diingat kembali, dia lebih senang mengamati mereka.
Saat Putra duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), Guru biologi memberikan tugas kepada siswa dengan tema reproduksi. Saat mengerjakan tugas itulah, untuk pertama kalinya Putra mengetahui apa itu gay. “Kayaknya gue masuk ke gay deh”, batinnya.
“Kok bisa ???”
“Putra juga enggak tahu.”
Sang Ibu pun langsung memeluk Putra. Sang Ayah menolak. Karena pengakuan Putra, dia tidak diajak bicara oleh Ayahnya selama tiga bulan. “Mau gimana lagi, Putra cuma pengen jujur.”
Setelah pengakuan Putra, Sang Ibu berkonsultasi dengan kerabatnya. Dia bercerita ke orangtuanya, dia bercerita kepada adik-adiknya, dia bicara ke semua. Dua Minggu kemudian, ketika ada acara kumpul keluarga, Putra pun disidang oleh keluarga besarnya. Namun Putra tetap tenang, “Yang penting Putra udah jujur”, ungkap anak sulung dari tiga bersaudara ini.
Tahun 2007, Putra lulus Sekolah Menengah Atas. Sang Ayah mengajak Putra untuk daftar menjadi bintara polisi. Lah gue kan kayak begini (gay – red), batin Putra. “Enggak Pah, Putra pengennya belajar komputer”, jawabnya. Namun akhirnya, Putra tidak lanjut ke kuliah, dia lebih memilih bekerja.
Putra bekerja sebagai pekerja honorer di instansi kepolisian Jakarta. Dia bisa bekerja di sini, setelah Sang Ayah, yang juga Polisi, memberitahukan dia bahwa dibutuhkan tenaga honorer untuk mengurusi administrasi. Di tempat inilah, Putra untuk pertama kalinya mengalami perudungan (bullying) yang membuat dia tidak nyaman.
Pernah suatu ketika, Putra sedang duduk di ruang tunggu sambil menikmati makanan ringan, tiba-tiba ada yang meneriakinya, “Bencong!!!!!”
Putra pun tediam. Putra bingung. Dia sadar diri bahwa dirinya hanyalah pegawai rendahan. Dia tidak habis pikir, kenapa orang tersebut meneriakinya seperti itu. Padahal dia tidak melakukan apa-apa, tidak buat kegaduhan, berbuat hal-hal lain yang menganggu juga tidak. Setelah insiden itu, Putra hanya bisa menunduk ketika berpapasan dengan orang tersebut.
Kali lain, dia menjadi bahan tertawaan satu ruangan. Foto seru-seruan dirinya bersama teman-teman gay saat berenang dijadikan foto wallpaper komputer yang menghadap ke pintu masuk, sehingga semua orang yang masuk bisa lihat. Putra ingin marah tetapi tidak bisa. Dia hanya bisa lapor ke atasannya. Ketika cerita ke atasannya, malah Putra yang dimarahi, “Saya enggak suka kalau kamu kayak begitu (ngondek – red)”.
Perudungan di tempat kerja, membuat Putra hanya bertahan selama satu tahun di instansi tersebut. Setelah satu tahun, dia pamit ke atasannya yang saat itu baru dilantik, Putra bercerita bahwa dia ingin mengundurkan diri.
“Kenapa? Apa karena gajinya kurang? Nanti saya naikin gajinya.”
“Enggak Pak, bukan karena gaji, saya ingin kuliah.”
Di tahun 2008, Putra mendaftar di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jakarta. Dia mengambil program D3 sistem informatika. Setelah program D3 selesai, dia melanjutkan ke program S1 setelah bekerja terlebih dulu selama dua tahun. Di masa kuliah ini, Putra mengakui dia lebih berkembang. Dia mulai berani bicara di hadapan orang banyak. Dia ikut organisasi kemahasiswaan. Teman-teman kuliahnya pun tahu kalau Putra adalah seorang gay. “Dari sinilah konsep gue berubah, kalau kita memberi manfaat kepada orang lain, kita bisa kok diterima walau kita ngondek.”
Sekarang, Putra sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Hubungan dia dengan keluarganya pun sudah mencair. Malah ke-gay-an dirinya, sering dia jadikan bahwa lawakan untuk mencairkan suasana. Kini dia sudah bisa memilah mana yang bisa dimasukkan ke dalam hati, mana yang mesti diabaikan, “Sekarang kalau gue dikatain bencong, gue bodo amat”, ungkapnya.
Bagi Putra, coming out itu proses, bukan sekadar pernyataan. Saat menyadari diri kita berbeda, momen yang terpenting itu bukan saat mengakui yes i am gay di hadapan orang tua atau orang banyak, tetapi justru adalah setelah pengakuan tersebut. Apa yang akan kita lakukan ke depan untuk sesama dan kelompok gay sendiri. “Ketika orang tahu kita gay, terus apa yang akan kita lakukan?”, tanya Putra.
*Penulis adalah aktivis Suara Kita.