Search
Close this search box.

[Cerpen] Rumah Baru

Oleh: Sebastian Partogi*

Suarakita.org – “Dan terberkatilah rumah baru ini… Aaargh! Aargh! Tolooong! Tolooong!” pendeta Gabriel berlari kesana kemari keliling ruang tamu, menyadari bahwa jubah hitamnya telah dilahap oleh api.

Semua hadirin dalam acara pemberkatan rumah baru tersebut menjerit ketakutan. Erika yang berkepala dingin segera mengambil sebuah ember dari kamar mandi terdekat, mengisinya dengan air, lalu bergegas ke arah si pendeta, menyiramkan air tersebut ke tubuhnya.

Perlahan api tersebut mulai padam.

Tapi dari manakah asal api yang menjilat jubah hitam pendeta tersebut? Di sekitarnya tidak ada lilin, tidak ada benda apapun yang dapat terbakar.

Dan dari situlah, misteri rumah di Jalan Anggrek nomor 3, Desa Cinangka, itu dimulai.

***

“Mamaaa! Mamaaa! Tolooong!” Mira menjerit ketakutan ketika melihat pensil, penghapus, serta buku-buku pelajaran yang ada di meja belajarnya tiba-tiba melayang dan berputar-putar di udara.

“Ada apa sayang?”

Merlin bergegas menuju kamar tidur anaknya. Begitu ia membuka pintu, pensil, penghapus serta buku-buku pelajaran itu segera terletak kembali di atas mejanya dengan rapi. Ia mengernyitkan dahi.

“Mama… Tadi tiba-tiba barang-barang yang ada di atas mejaku berterbangan di udara… Tapi begitu mama masuk mereka kok tiba-tiba bisa kembali lagi ke tempatnya…”

Merlin kebingungan. Ia tidak percaya pada setan, kekuatan supranatural, atau hal-hal apapun yang serupa itu. Namun, sorot ketakutan yang memancar dari mata anaknya begitu nyata. Tidak mungkin anak itu berbohong.

“Sayang… mungkin kamu sudah kecapekan, sehingga tadi sempat tidur ayam dan bermimpi, jadi seolah-olah mimpimu itu benar-benar terjadi, padahal sebetulnya tidak. Kamu tidur deh sayang, ini sudah jam 9 malam lho… Lanjutkan bikin PRnya besok pagi saja ya… Tinggal dikit kan?”

“Iya sih, Ma…”

Merlin mendekati anaknya, mencium dahi bocah tersebut. “Selamat tidur ya Mira…”

“Selamat tidur juga, Mama…”

Lalu Merlin beranjak keluar dari kamar anaknya.

Mira menutup buku pelajarannya, lalu memalingkan wajah ke arah jendela kamarnya. Pemandangan yang ia lihat membuat denyut jantungnya meningkat dan lehernya tercekat…

Tirai di jendela tersebut tiba-tiba terbuka sendiri, memperlihatkan sesosok wajah angker di balik jendela. Lalu tertutup sendiri. Lalu terbuka lagi, kali ini memperlihatkan sesosok tubuh tanpa kepala…

“Mamaaaaa!!!”

***

Keesokan harinya, Edwin baru saja pulang kantor dan terkejut ketika melihat anak lelaki pertamanya yang masih berusia 10 tahun, Matius, bisa membuat rangkaian listrik serial, sebuah keterampilan yang biasanya baru diajarkan di tingkat Sekolah Menengah Atas.

“Wow! Pintar sekali anak papa! Siapa yang ajarin tuh? Di sekolah ya? Pelajaran anak zaman sekarang makin canggih!” ujar Edwin pada anaknya.

“Bukan diajarin di sekolah, Papa. Aku diajarin sama si Om ini,” ujar Matius sembari menunjuk ke sebelah kanannya. “Iya, Om… Iya, Om…” ujar Matius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengotak-atik rangkaian listrik tersebut.

“Anak Papa ini, suka main drama ya? Mau jadi aktor?” ujar Edwin sembari mengelus-elus kepala anaknya.

“Enggak kok Pa, om ini beneran adaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Aduh, Om, jangan cubit aku! Jangan cubit aku!!! Aku janji nggak akan cerita sama Papa soal Om, aku janji!!!”

***

“Sepertinya kita perlu bawa anak-anak kita ke Psikiater atau Psiko…”

Ucapan Edwin kepada istrinya terhenti seketika saat mereka melihat meja makan di depan mereka tiba-tiba terbang ke langit-langit rumah, melesat dari penjuru kanan ke penjuru kiri rumah.

***

Jono si tukang kebun sedang menggali lubang untuk menguburkan Bibi, anjing piaraan keluarga tersebut, yang kemudian harus ditembak oleh Merlin dengan senapan angin suaminya karena menyerang anak bungsu mereka, Mira, secara tiba-tiba.

Anjing tersebut, ketika dibeli, sungguh tenang dan lembut perangainya. Namun entah mengapa, setelah masuk ke rumah tersebut, menjadi begitu agresif. Ia sering melolong tiba-tiba dan mengejar-ngejar entah bayangan siapa.

Dengan kematian anjing tersebut, keluarga Edwin juga memutuskan untuk pindah ke rumah lain. Mereka yakin, rumah tersebut dikutuk. Seorang pendeta telah didatangkan untuk mengusir setan dari rumah tersebut, namun menemui nasib yang sama dengan Gabriel: jubahnya tiba-tiba terbakar. Seorang dukun pun pernah dibawa kesana. Yang terjadi, dukun itu tiba-tiba pingsan dan muntah-muntah.

Ketika telah membuat lubang yang cukup besar untuk mengubur Bibi, Jono mengernyitkan dahinya saat melihat dua buah karung goni besar berisi beras di dalam tanah tersebut.

Penasaran, ia mengeluarkan karung goni tersebut, membuka tali rafia yang mengikatnya. Ketika ia membuka karung goni tersebut, ia tersentak oleh bau busuk yang memuakkan. Juga oleh pemandangan menjijikkan yang terdapat di dalamnya: tulang belulang dan sisa keratan daging manusia yang membusuk…

***

“Ma, aku barusan ditelepon sama pemilik rumah baru Doris di Cinangka. Mereka bilang bahwa mereka telah menemukan dua buah karung goni berisi tulang belulang dan keratan daging manusia, yang kini diamankan polisi. Jangan-jangan…” ujar Borsak pada Marlina, istrinya.

“Ya Tuhan, apakah itu sisa-sisa tubuh Doris dan Lisa? Berarti ketika mereka lenyap setahun yang lalu, di saat yang bersamaan dimana Jonggi bunuh diri dengan menggelincirkan mobilnya dari atas bukit, sesungguhnya mereka telah dibunuh, dimutilasi dan dikuburkan di halaman belakang rumah?”

“Kamu mau lakukan tes DNA pada jasad yang tersisa itu, Ma?”

***

Keluarga Situmorang menangis tersedu-sedu. Borsak dan Marlina bahkan pingsan di tengah-tengah upacara pemakaman tersebut. Sebuah karangan bunga besar berbentuk kayu salib diletakkan tegak lurus di depan kedua peti mati tersebut. Di atas peti mati terdapat foto Doris dan Lisa saat mereka masih hidup.

Pendeta Olin pun membacakan kotbahnya.

“…bagiku kematian adalah sebuah keuntungan, karena itu akan membawaku hidup kekal bersama dengan Kristus…”

Petugas pemakaman pun mengerek kedua peti mati tersebut. Membawa mereka ke peraduan terakhir. Semakin banyak anggota keluarga Situmorang yang pingsan.

***

Jonggi merasa puas. Ia telah berhasil melenyapkan nyawa Lisa dan Doris, mencincang tubuh mereka hingga bagian-bagian kecil dan menguburnya dalam-dalam di halaman belakang rumah besar itu. Sekarang tidak ada lagi pasangan lesbian yang dapat mempermalukan nama keluarga Situmorang.

Setelah melakukan pembunuhan yang begitu terencana tersebut, Jonggi pun mengemudikan mobilnya untuk kembali ke rumahnya.

Namun, di sela-sela mengemudikan mobil, berbagai macam pikiran menyeruak mengganggu kalbunya.

Bagaimana kalau orang-orang curiga atas hilangnya kedua orang tersebut? Bagaimana kalau polisi menemukan mayat yang sudah tercincang-cincang tersebut? Bagaimana kalau dia kemudian didakwa atas pembunuhan berencana? Lantas ia mengingat kasus Sumiarsih dan Sugeng yang menghabisi keluarga marinir lalu memutilasi mereka akibat urusan hutang. Hukumannya adalah hukuman mati, karena itu adalah pembunuhan keji berencana. Ia juga ingat kasus Benget Situmorang.

Sudah ada Benget Situmorang, terpidana mati yang memutilasi istrinya sendiri, yang beruntung karena tewas akibat serangan jantung di penjara sehingga tidak perlu menemui regu penjagal… Sekarang ada lagi Jonggi Situmorang…

Lama kelamaan, suara-suara di kepala Jonggi menjadi semakin liar.

Pembunuh!

Berdosa!

Barangsiapa tidak pernah berbuat dosa boleh melempar batu duluan!

Pembunuh!

Keji!

Pembunuh!

Keji!

Pemkejipemkejibunuhjibukenuhjibukenuhji!!!

“Diam!!! Diam kalian!!! Persetaaaaaaan!!!”

 

 

*Penulis lahir di Jakarta, 23 Agustus 1989. Lulus dari
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya dengan peminatan Psikologi
Kemasyarakatan dan Komunitas pada Januari 2011. Sempat bekerja sebagai
guru di Gandhi Memorial International School (2011-2012) sebelum
akhirnya bergabung dengan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post
(2013-sekarang), dimana ia mengerjakan dua tugas sekaligus: sebagai
wartawan dan copywriter. Sapa penulis di akun Twitternya di @SebPartogi

Sebastian Partogi bisa dihubungi melalui email: sebastianpartogi@gmail.com

 

Bagikan