Search
Close this search box.

[Liputan] Seminar LGBT Bagaimana Menyikapinya

Oleh; Oriel Calosa

SuaraKita.org – Dalam rangka Perayaan Caturwindu, Fakultas Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata menyelenggarakan beberapa kegiatan dan salah satunya adalah “Seminar tentang LGBT Bagaimana Menyikapinya” yang diadakan di Ruang 402 Gedung Anthonius.

Kegiatan yang diadakan pada Sabtu (16/4) tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu Oriel Calosa dari Rumah Pelangi Indonesia, Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr dari Pemuka Agama Katholik, Imam Fadhilah, S.HI. M,Si dari Dosen Universitas Wahid Hasyim, Dra Emmanuela Hadriami, M.Si, Psikolog selaku Psikolog Klinis dan Dosen Psikologi UNIKA dan di moderator oleh Christine Wibhowo, S.Psi, M.Si, Psikolog.

Kegiatan di awali dengan pembahasan dari Romo Agus yang memberikan paparan mengenai LGBT dari kacamata Iman Katholik, salah satu poin yang disampaikan mengungkapkan bahwa Gereja Katholik menganggap LGBT sebagai sebuah penyimpangan karena tidak sesuai dengan Iman Katholik, bagi mereka yang LGBT diberikan ruang untuk mempersembahkan dirinya kepada Tuhan karena aktifitas homoseksual bertentangan dengan Hukum Alam. Inti dari Iman Katholik adalah bahwa setiap LGBT menyalahi esensi dari perilaku seksual dimana seksual didasarkan pada kesatuan (unitas, trinitas) dan meneruskan keturunan (Creation).

Gereja Katholik memahami dan menganggap bahwa LGBT adalah sebuah cobaan yang teramat berat bagi para “pelakunya” sehingga mereka harus diterima dengan rasa hormat, kasih dan dengan kepekaan perasaan. Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil dalam hubunganya dengan mereka harus dihindari. Mereka dipanggil untuk memenuhi keinginan Tuhan dalam hidup mereka, dan apabila mereka adalah umat Kristiani, untuk bersatu dengan Tuhan di dalam pengorbanan Salib Kristus dalam menghadapi kesulitan-kesulitan mereka dengan berselibat menahan nafsu dan melakukan pelayanan kudus untuk menjadi seorang Kristiani yang sempurna.

Bapak Iman Fadhilah mengungkapkan dalam perspektif Hukum Islam dimana jika dikaitkan dalam Hukum Islam memanglah sangat sulit. Ada dua dimensi hukum Islam yaitu Islam Inbook yang disebut dengan Syariat dimana Syariat adalah hukum dasar yang termaktub dalam sumber-sumber ajaranya yaitu Quran, Hadist, kadang Ijma dan Qiyas. Digunakan di seluruh penjuru dunia seperti contohnya Sholat lima waktu, syahadat, dan lain sebagainya dan tidak ada yang bertentangan dengan konteks syariat.

Kedua adalah Islam In Action atau sering disebut dengan Fiqih. Dalam hukum fikih inilah yang seringkali terjadi perdebatan dan pertentangan karena menyangkut konsep perilaku Islam menyangkut segala hal dan seringkali dilandaskan pada hukum halal dan haram. Islam In Action ini menyangkut level implementasi oleh ummatnya pada aktifitas ibadah, perilaku umat Islam dan terkadang ditambahkan beberapa konsep ritual yang disesuaikan dengan budaya seperti Tahlillan, sedekah bumi dan Bank Syariah walaupun jelas Bank Syariah tidak tepat untuk menggunakan kata Syariah karena perbankan menyangkut konsep Islam In Action itu sendiri.

Konsep Diniul Islam sendiri dilandaskan pada Wahyu/dien dalam wilayah Ilahiyyah Turunya Islam dan Quran adalah transformasi dari Ilahiyyah ke Basyariyyah sedangkan Syariah itu sendiri aturan Hukum Islam yang sifatnya Ijma. Isi dari Ql Quran secara global. Fikih itu sendiri adalah “Human Product” Tafaquh fid dien atau fikih adalah implementasi dari hasil ijtihat ulama atas usatu persoalan/amaliyah dengan merujuk pada dalil tertentu (Quran dan Hadist) yang sifatnya Dhonn (Prediktif dan relative) karena Dhonnya itu, antara satu ulama dengan ulama yang lainnya bisa berbeda.

Dalam konteks LGBT, memang faktanya menyatakan bahwa banyak yang menafsirkan ayat-ayat Quran mengungkapkan keharaman Homoseksual termasuk para sahabat seperti Abu Bakar, Ali Bin Abitholib dan sebagainya. Namun, dalam tradisi Fikih, ketika menghukum sesuatu itu tidaklah mudah, berbagai pertimbangan dari segala aspek di perhatikan baik itu sisi nash(normative) maupun sisi manhaj (Metodologi) serta maqasid al Syar’i. Sehingga, harus jelas persoalan apakah LGBT itu “alami atau tidak” atau dalam konteks Islam adalah apakah LGBT bersifat Kodrati atau justru bentukan lingkungan. Sehingga ketika berbicara dari segi perspektif Islam ada tafsil dan mustasnayat atau perincian dan pengecualian kalau itu bukan fitrah maka hukumnya jelaslah haram namun jika bersifat nature maka masuk kedalam kategori mustasnayat dan inipun bersifat kasuistik tidak bisa di generalisir sehingga harus dicarai akar maslahatnya.

Oriel Calosa mengisi perspektif Gender dan Seksualitas dalam lingkaran kekuasaan Agama dan sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat sehingga membentuk pola garis linier nilai ke-“Normal”an manusia sehingga mereka yang dianggap dibawah garis kenormalan tersebut sebagai kelompok abnormal seperti LGBT itu sendiri, difabel, atau downsyndrome dan lainnya dan ketika manusia berada di atas garis normal tersebut tetap dianggap sebagai “Ketidak normalan” seperti indigo.

Belenggu-belenggu yang diciptakan dan dikonstruksikan oleh masyarakat itu sendiri seringkali mempengaruhi cara orang berfikir, dan bertindak namun ketika tidak sesuai dengan afeksi yang mereka rasakan maka terjadi pergolakan yang luar biasa dengan segala benturan-benturan yang terjadi pada ruang keluarga, masyarakat dan Negara yang menggunakan kekuasaanya untuk melakukan kendali terhadap warganegara.

Rumah Pelangi Indonesia hadir sebagai bagian dari kebutuhan komunitas untuk berkumpul dan berserikat membentuk sebuah kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif dengan lima pilar perjuangan yaitu pilar psikologi dan kesehatan dengan membangun pusat layanan konseling, pendampingan psikologi dan penjangkauan akses kesehatan. Pilar Politik, hukum dan HAM sebagai bentuk dari pilar Advokasi, pilar ekonomi untuk membangun ketahanan kelompok, pilar pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan skill komunitas dan yang terakhir adalah pilar sosial dan budaya yang melakukan gerakan di bidang budaya dan media dengan membangun portal media online prideindonesia.

Di akhir acara Ibu Emanuella mempertegas konsep Gender dan Seksualitas yang dibagi antara apa yang dipikrkan sebagai Identitas Gender, apa yang di ekspresikan sebagai Ekspresi Gender, dan apa yang ada di tubuh sebagai Sex biologis dengan Ketertarikan seseorang secara seksual dan ketertarikan seseorang secara romantic. Seringkali itu disebut digambarkan sebagai Gingerbread.

Menurut Yori selaku bagian dari panitia mengungkapkan, “Seminar ini dipersembahkan untuk membuka ruang dialog yang saat ini sedang dibungkam oleh dunia pendidikan yang seharusnya terbuka dengan segala aspek diskusi dan riset pengetahuan tanpa melakukan diskriminasi dan menutup akses riset tentang LGBT di dunia kampus yang seharusnya memiliki perinsip sebagai ruang mimbar akademis yang bersifat inklusif.”

Editor: Wisesa Wirayuda