Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – Kasih sayang seorang Ibu tanpa batas dan tanpa syarat. Naluri seorang ibu sangat tajam bila menyangkut situasi dan kondisi anak-anaknya. Dengan segala keterbatasan, seorang Ibu akan berusaha untuk bisa memahami, menerima dan mendukung pilihan hidup anak-anaknya, walaupun terkadang pilihan hidup mereka berbeda dengan kebanyakan orang dan beresiko. Hal itu tergambar dalam wawancara kami bersama Ibu Anna yang begitu ramah menerima Tim Redaksi Suara Kita di rumah tinggalnya.
Ibu Anna adalah Ibu kandung dari Ino Shean, seorang feminis lesbian yang kisahnya akan digali oleh Suara Kita. Sebagai seorang aktifis gerakan, kehidupan Ino Shean dan Ibu kandungnya terlihat sangat sederhana. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah kontrakan di kampung wilayah Jakarta.
“Aku mendukung anakku. Anakku biar saja begini asal dia sukses. Apapun pilihannya saya mendukung, karena dia tidak hanya memperjuangkan dirinya sendiri tetapi dia juga memperjuangkan nasib perempuan-perempuan di luar sana. Aku mendoakan anakku, aku juga mendoakan orang-orang di luar sana. Jangan suka meremehkan perempuan. Karena biasanya perempuan lebih tahu banyak daripada laki-laki. Saya tidak mau laki-laki meremehkan perempuan dan juga meremehkan anak saya,” tutur Ibu Anna.
Sebagai Ibu Rumah Tangga Ibu Anna ternyata terus memantau perkembangan informasi dan sepak terjang anaknya lewat TV. Berbagai pemberitaan yang menyudutkan dan mengancam kehidupan kaum LGBT di Indonesia tak luput dari perhatian Ibu Anna.
“Aku menyuruh Ino agar berhati-hati dan waspada, apalagi sekarang berita-berita di TV cukup mengkhawatir. Aku sering kasihan sama orang-orang di luar sana yang dicaci maki sama orang banyak. Aku kasihan sama waria yang sampai ditangkap, bahkan ada yang dibunuh hanya karena punya pacar sesama jenis. Kalau ada yang begitu aku suka sakit hati, karena anakku juga begitu. Aku khawatir keselamatan anakku. Makanya aku selalu wanti-wanti agar dia berhati-hati dan waspada. ”
Ibu Anna dilahirkan di Kota Solo Jawa Tengah 60 tahun yang lalu. Sebagai anak tunggal dari keluarga yang terbilang sederhana dia selalu berusaha hidup mandiri dan apa adanya. Sikap hidup inilah yang kemudian ditanamkan kepada Ino Shean. Ibu Anna menikah pada tahun 1971 dan dikaruniai dua orang anak perempuan yang keduanya boleh dibilang tomboi. Duka mendalam sempat dialaminya manakala Bapak Ino meninggal karena serangan jantung.
“Bapaknya Ino meninggal karena serangan jantung, ketika Ino berumur satu tahun. Saat itu usia perkawinan kami menginjak dua puluh tahun. Ino sejak kecil memang sudah saya ajari hidup mandiri dengan berjualan gorengan. Pagi aku bangun langsung jualan gorengan, dan tidak perlu malu dengan kondisi yang seperti itu,” kenang Ibu Anna.
Selain hidup mandiri dan apa adanya, Ibu Anna selalu mengajarkan kepada Ino agar berlaku jujur dan terbuka dengan segala kehidupannya. Hal itulah yang membuat kedua orang Ibu-Anak ini begitu dekat dan akrab sehingga seringkali membuat cemburu kakak kandung Ino sendiri.
“Khan ada yang anaknya suka ngumpet-ngumpet, sehingga ketika orang tuanya tahu akhirnya tidak bisa menerima. Si anak kalau ditanya bilang tidak, tetapi giliran disuruh nikah tidak mau. Atau mau menikah tapi tidak mau kumpul sama suaminya. Aku mengajarkan kepada Ino untuk tidak boleh bohong, harus jujur dan tidak ngumpet-ngumpet. Dia punya teman, kenalan, harus diberitahukan kepada saya orang tuanya. Temannya juga harus bisa menerima kondisi Ino apa adanya. Saya selalu wanti-wanti, agar mereka bisa saling menjaga. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”
Dalam tradisi kaum LGBT ada istilah coming out of the closet yang diutarakan sebagai ungkapan keterbukaan atas orientasi seksual atau identitas gendernya kepada orang-orang terdekat maupun ke publik. Bagi orang lain proses coming out mungkin sulit, tapi tidak bagi Ino Shean. Faktornya, karena Ibu Anna sebagai Ibu kandungnya cukup peka dengan tumbuh kembang anak-anaknya. Sehingga bukan hal yang sulit bagi Ino menjelaskan dirinya, karena jauh sebelum dirinya mengutarakan Ibu kandungnya sudah memahami.
Semasa dalam kandungan, Ibu Anna merasa bahwa kehamilannya yang kedua memang berbeda. Ketika usia kehamilan sudah masuk 6 bulan, Ibu Anna sering naik genting dan membetulkan genteng yang bocor. Kalau ada pohon yang menjorok ke jalan raya dia memanjat dan menebangnya. Tanda dan firasat sejak hamil itulah yang menguatkan keyakinannya bahwa Ino berbeda dari anak lainnya. Ketika Ino sekolah di bangku Sekolah Dasar, keyakinannya bahwa Ino berbeda semakin kuat. Ino cuma bermain sama teman-temannya yang perempuan. Kalau ada tetangga dan keluarga yang protes Ibu Anna selalu menjawab, “Biarkan saja, khan yang menjalani dia sendiri. Tokh bukan kita. Aku tidak apa-apa, aku hanya orang tua yang selalu mendukung. Dia mau apa terserah yang penting tidak berbuat jahat.”
Kepekaannya terhadap perbedaan orientasi seksual anaknya tersebut membuat Ibu Anna tidak kaget ketika Ino memperkenalkan pacar pertamanya yang sesama jenis. Karena keterbukaan dan kedekatannya dengan Ino, maka Ibu Annapun dekat dengan pacar Ino. Kedekatannya dengan pacar anaknya terlihat, bagaimana Ibu Anna sangat hafal dengan nama, watak dan kepribadian teman-teman dekat Ino. Cerita Ibu Anna yang kocak tentang watak dan karakter teman-teman dekat Ino membuat suasana wawancara menjadi sangat hangat dan seringkali diiringi gelak tawa.
“Dulu ketika Ino masih kecil kalau bermain di luar rumah, Ino sering memandang ke atas langit dan bertanya, ‘Apakah saya bisa naik pesawat ya?’ Sayapun menjawab, ‘Semoga kamu nanti jadi orang yang sukses dan bisa naik pesawat.’ Bersyukur dia sekarang sudah bisa bolak-balik naik pesawat. Saya selalu berdoa semoga di luar sana banyak orang yang mendukung perjuangan Ino.” Demikianlah mimpi Ino, yang tak lebih dari mimpi anak kampung pada umumnya kenang Ibu Anna.