Search
Close this search box.

[Liputan] Ino Shean: Lesbian dan Gerakan Perempuan di Indonesia

Oleh: Siti Rubaidah

Suarakita.org – Dalam perspektif feminis perempuan dianggap sebagai second sex, yaitu seks yang kedua (atau tidak utama) dari laki-laki dalam masyarakat yang patriarkis. Sementara lesbian, dalam perspektif feminis dianggap sebagai the third sex, yaitu seks ketiga karena orientasi seksual yang berbeda. Karena dianggap sebagai seks ketiga, maka kaum lesbian masih teralienasi atau diasingkan bahkan cenderung teraniaya lebih parah dibandingkan dengan perempuan yang heteroseks atau yang mempunyai orientasi seksual terhadap lawan jenis yang dianggap normal.

Pada kesempatan ini Tim Redaksi Suara Kita mencoba menggali lebih masalah lesbian dan gerakan perempuan bersama Ino Shean dari Ardanary Institute (AI).

Mengapa teman-teman lesbian cenderung tertutup dan susah dimasuki oleh kelompok masyarakat yang lain?

Selama ini perempuan dan laki-laki sudah dikonstruksikan oleh masyarakat berbeda. Laki-laki itu aktif, perempuan pasif. Kemudian perempuan di domestik dan laki-laki di publik. Akan menjadi sulit ketika perempuan dihadapkan dengan pilihan harus di wilayah publik. Akan menjadi sulit lagi ketika si perempuan tersebut adalah lesbian karena dia menerima berbagai beban. Beban dia sebagai perempuan yang dikondisikan untuk dirumahkan saja atau pasif, dan beban karena orientasi seksualnya yang di anggap berbeda oleh masyarakat. Jadi karena beban-beban itulah mengapa teman-teman lesbian menutup diri.

Kami akan terbuka tetapi khusus kepada sesama kami. Kalau ada orang luar, seperti mahasiswa yang sedang skripsi atau para peneliti ketika langsung mencari ke teman-teman lesbian itu akan sulit untuk masuk ke mereka atau menggali informasi dari mereka. Tetapi masing-masing komunitas lesbian sendiri juga  ada gap, seperti kelompok manusia pada umumnya saja, kita punya  gang masing-masing. Sebenarnya teman-teman yang didampingi  oleh AI, itu adalah komunitas yang mulai pelan-pelan membuka diri. Bukan dalam artian ke mana-mana kita punya stempel lesbian. Tetapi ketika ada orang luar ingin mengenal kita atau berinteraksi sama kita, kita sudah bisa menaruh kepercayaan itu. Kita juga sudah mulai bercerita kepada mereka.  

Misalnya ada teman-teman mahasiswa yang melakukan penelitian tentang LBT, maka tugas kita yang sering berhadapan dengan komunitas yang memberitahu, nanti teman-teman bisa membantu di akademiknya. Dengan testimoni teman-teman  akan sangat membantu tugas akademik ke depan, atau perjuangan-perjuangan lain ke depan yang mungkin kita belum masuk ke situ tetapi ada orang lain yang membantu kita. Nah, kita punya kesempatan ngomong di situ. Jadi kupikir menggali ke teman-teman dahulu. Kalau ditanya penyebabnya apa? Ya seperti tadi karena kita perempuan dan kita sudah dicantelkan oleh orientasi seksual tadi. Itu yang akhirnya membuat kami lebih tertutup.

Tetapi seiring perkembangan sekarang, teman-teman bahkan masyarakatpun sudah mulai aware dengan kehadiran teman-teman LGBT  atau lesbian. Cuma, sayangnya masyarakat masih menganggap bahwa lesbian itu pasti tomboi. Padahal sebenarnya tidak semua teman lesbian tomboi. Tetapi setidaknya di situ poin yang bisa diambil adalah bahwa masyarakat sadar atau tidak sadar mengakui bahwa lesbian berada di sekitarnya. Terlepas kemudian jatuhnya masih menjudge negatif tetapi mereka pada sisi lain mengakui keberadaan mereka.

Bagiku, gerakan perempuan sendiri proses perjuangannya juga sangat panjang. Misalnya kemaren ketika kita memperingati International Womens Day (IWD)  teman-teman lesbian juga ingat bahwa mereka adalah bagian dari gerakan perempuan dan jangan di bedakan.

Tetapi ternyata teman-teman di gerakan perempuan sendiri masih berpolemik di dalam dirinya sendiri. Takut kemelekatan antara feminis yang dianggap identik atau melekat dengan lesbian. Mereka mempunyai ketakutan itu ternyata. Mereka ketakutan bahwa ketika gerakan perempuan memperjuangkan kepentingan teman-teman lesbian secara otomatis mereka juga di judge sebagai lesbian. Itulah ketakutan di gerakan perempuan.

Padahal sebenarnya kalau menurut si Daniel Jacob Radcliffe pemeran Harry Potter, tidak perlu menjadi lesbian hanya untuk mendukung dan membela hak-hak lesbian. Kamu cukup menjadi manusia saja. Dan itu yang menjadi PR di kami juga di teman-teman lesbian.

Seperti kemaren ketika menghadapi bombardir dari media-media, yang kemudian harus menjawab isu anti LGBT tersebut adalah dari teman-teman LGBT sendiri dan sebagian aktivis HAM. Sementara teman-teman dari  gerakan perempuan hanya satu, dua orang saja yang berani bicara. Itupun hanya secara individu dan tidak berani secara lembaga. Diantara yang berani misalnya teman-teman dari Perempuan Mahardhika yang bahkan membuat statement atas nama lembaga. Sedangkan yang secara individu berani angkat bicara ada Mbak Gadis Arivia yang dia berani membuat statement. Menurutku karena secara pribadi Mbak Gadis sudah selesai secara pemikiran. Disinilah akhirnya kami kembali di kelaskan lagi karena  orientasi seksual kami yang berbeda walaupun kami juga perempuan.

Merujuk data, perempuanlah yang paling banyak mengalami kekerasan dibandingkan dengan laki-laki. Memang laki-laki juga ada yang mengalami kekerasan, tetapi secara data tidak banyak. Sementara kita dihadapkan pada pilihan memperjuangkan kekerasan yang terbanyak yang juga berlapis-lapis yang dihadapi oleh perempuan. Itulah yang kemudian perlu dipikirkan, sehingga dalam terminologi Gerakan Perempuan hanya memasukkan kelompok Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT) dan tidak memasukkan kelompok gay yang secara jenis kelamin adalah laki-laki.

Bagaimana yang dimaksud perempuan secara sosial ?

Komnas Perempuan sudah membuat kategori perempuan secara sosial, bukan perempuan secara biologis lagi. Jadi bagi teman-teman waria ada momen menjadi komisioner dalam Komnas Perempuan. Hal itu sudah bisa diakomodir karena definisi yang diberikan oleh Komnas Perempuan tentang perempuan adalah perempuan secara sosial tidak hanya secara biologis. Kemudian untuk membuat laporan CEDAW itu ada laporan tentang perempuan PRT, perempuan buruh termasuk teman-teman waria yang statusnya sebagai perempuan secara sosial. Sekarang sih belum banyak, tetapi kesempatan-kesempatan itu peluangnya sudah ada. Bagaimana tahun-tahun ke depan, teman-teman waria mulai mendokumentasikan perannya.

Feminis ini punya banyak corak dan ideologinya masing-masing, beberapa feminis yang saya temui juga beraneka ragam. Bahkan ada yang mengaku feminis tetapi tetap hedonis. Dia menolak bahwa feminis identik dengan hidup yang sederhana, karena feminis adalah bagaimana gerakan untuk setara dengan laki-laki. Sehingga feminis yang begini juga  tidak lupa memakai tas bermerk untuk menopang penampilannya. Itu adalah realita yang ternyata memang ada.

Kalau kita melihat film sex and the city misalnya. Bisa dibilang mereka juga feminis, tetapi feminis yang bagaimana dulu? Dengan kehidupan mereka yang sangat glamaour begitu. Tapi mereka berupaya untuk membicarakan seks tidak tabu. Misalnya di Sex and The City II di mana mereka para perempuan ini membawa kondom ke mana-mana, tetapi mereka lupa bahwa pesan yang harus disampaikan adalah tentang seks yang aman.

Adakah upaya pendokumentasian, pendataan jumlah LBT ?

Itu aku pikir adalah pentingnya pengakuan gender ketiganya, kalau di KTP khan soal jenis kelaminnya, bukan gendernya.  Sementara yang diperjuangkan teman-teman waria, priawan atau transmen itu adalah pengakuan terkait dengan gender yang lainnya, yang tidak laki-laki dan tidak perempuan. Jadi sasaran advokasinya adalah di adminduk terkait dengan gender itu. Tetapi pada dasarnya identitas itu hanya dibutuhkan oleh teman-teman transgender saja. Sementara untuk lesbian, kami tetap menggunakan identitas perempuan karena pada dasarnya kami tetap perempuan.

Itu memang menarik sih, artinya kalau kita memperjuangkan nanti datanya sudah ada. Tetapi menurutku khusus untuk dokumentasi dan pendataan  transgender saja. Dengan adanya data kita bisa mengolahnya ke adminduk agar teman-teman transgender bisa kita advokasi haknya sebagai warga negara.

Sebenarnya jika ada program pemerintah yang diperuntukkan untuk teman-teman transgender, menurutku lebih baik diberi pendidikan tentang politik sih, daripada kewiraswastaan. Karena kalau kewirswastaan jatuh-jatuhnya ya waria di kandangi lagi. Karena transgender dianggap bahwa spesifikasi kerjanya hanya di salon. Berbeda kalau banyak diberi pelatihan politik, maka mungkin akan banyak teman-teman  LBT yang masuk di pengambil kebijakan.  

Terakhir, saya tidak habis pikir mengapa banyak orang yang memusingkan dan melarang-larang LGBT. Lebih baik mereka itu menolong orang-orang yang tidak punya tempat tinggal,  masih banyak pengamen dan anak jalanan yang tidak sekolah. Mengapa mereka tidak fokus memikirkan masalah sosial tersebut.