Search
Close this search box.

[OPINI] Holocaust dan Pelupaan Pada Sang Liyan

Oleh: Wida Puspitosari

Ketika orang memiliki tumor semacam itu di dalam ingatnnya, waktu dua puluh tahun pun tidak ada artinya untuk mengubahnya. Dalam sekejap kematian pasti akan membatalkan keistimewaan yang tak dapat dibenarkan atas keberhasilan mengalahkan enam juta kematian …

Tidak ada satu hal pun yang dapat mengisi atau bahkan menutup lubang yang menganga itu.

Kami masih harus kembali pada ingatan tersebut dari kesibukan harian kami hampir sama seringnya,

dan pada akhirnya rasa vertigo yang menyerap kami selalu sama.

(Emanuel Levinas dalam Proper Names, 1996)

Suarakita.org – Sebelum Hitler naik kuasa pada 1933, Berlin merupakan pusat kehidupan gay yang berjalan seiring dengan gerakan pembebasan homoseksual pertama di dunia. Namun, tak lama setelah peristiwa Holocaust meletus, kelompok ini secara sepihak didaulat sebagai tahanan konsentrasi dan menjadi bagian dari enam juta manusia yang wajib dibumihanguskan atas prasangka rasial. Arya, adalah sepenggal kata yang kala itu sarat akan muatan politis dan memiliki kuasa diskursif, sebagai instrumen pelegalisasian ayat penghilangan nyawa manusia. Dari sini, di atas karpet merah Partai Sosialis Jerman, Hitler secara sistematis berhasil melenggok sebagai penguasa satu-satunya.

Keberhasilan Hitler atas kuasa antisemitisme yang ia deklarasikan lantas memberinya saluran untuk melucuti hak asasi dan martabat manusia dalam arti yang sebenar-benarnya. Bersama dengan dalil-dalil “Aufklärung” pula, propaganda kebencian yang diorganisirnya berhasil menciptakan ‘narasi tunggal’ atas yang agung: menaruh Arya sebagai subjek yang paling berasio.  Hal mengerikan, mau tak mau, kemudian terjadi pada golongan yang dianggap Yahudi, Gay, orang dengan disabilitas, kelompok Gypsi dan semacamnya.  Mereka yang dilabeli sebagai die Schweine (babi-babi) ini didudukkan sebagai manusia yang telah ‘mati’ dan wajib tersingkir dari panggung peradaban, atas nama narasi agung yang dirumuskan secara hegemonik oleh kekuasaan Nazi.

Beberapa hal signifikan mengenai tragedi ini memang patut untuk didialogkan kembali. Kita sebagai generasi kontemporer yang terbiasa nyinyir perihal hak asasi manusia melalui gawai elektronik boleh jadi tidak terlalu merasakan efek menyakitkan atas peristiwa ini. Jumlah korban selalu dapat diperdebatkan karena memang tidak mudah ditentukan. Angka statistik masih dapat berubah, tergantung pada bukti-bukti yang ada. Tapi yang jelas, di balik angka-angka ini terdapat manusia-manusia konkret dan unik yang sebelumnya memiliki kehidupan, orang-orang yang mencintai mereka, harapan dan cita-cita, sama seperti kita semua. Ingatan bahwa mereka mati begitu saja dalam kekerasan tanpa alasan jelas dan acap kali bias, sungguh membikin hati yang tegak menjadi tersungkur.

Bagi seorangEmmanuel Levinas (1906-1995), Filsuf keturunan Yahudi asal Prancis yang kehilangan hampir semua keluarga besarnya di tangan Nazi, ingatan akan peristiwa Holocaust ini bagaikan tumor yang tak tersembuhkan. Waktu boleh berlalu, namun ingatan akan hal itu selalu memantik kepedihan dan vertigo yang sama parahnya. Waktu tak akan senantiasa berdaya menyembuhkan, apalagi untuk tragedi semacam ini.

Lantas pertanyaan yang muncul ialah: mengapa manusia tega membantai sesamanya demi ideologi dan ajaran tertentu? Mengapa manusia lain begitu dipandang rendah dan dianggap sebagai sang liyan (the other)? Apakah sesungguhnya dasar keberlainan (otherness) ini? Hal-hal inilah yang antara lain berkecamuk dalam diri Levinas. Melalui karya seminalnya, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, ia menyebutlkan jika cermin yang ada dalam diri kita (ego) sebetulnya terletak pada perjumpaan kita dengan orang lain (the other). Dalam kajiannya mengenai filsafat etik, ada tiga hal penting yang menandai hubungan antara ego dan ‘yang lain’, yaitu totalitas, yang tak terhingga dan eksterioritas[1]. Totalitas menurut Levinas mempunyai impresi yang kurang baik. Menurutnya seluruh pemikiran Barat (termasuk Partai Sosialis Jerman) selama ini cenderung membangun suatu keseluruhan yang menjadikan ego sebagai pusatnya, menjadi yang paling beradab.

Totalitas kemudian dihantam oleh ‘yang tak terhingga’. Dengan istilah ini Levinas ingin menunjukkan sebuah realitas yang tak dapat direduksi ke dalam diri seseorang (sebagai ego) dan pengetahuannya. ‘Yang tak terhingga’ itu adalah ‘orang lain’, the other, yang lain dariapada kita, yang berbeda dengan kita dan tentunya bukan kita. Totalitas yang kita dirikan pada saat yang sama akan ambruk ketika kita berjumpa dengan ‘orang lain’. Inilah yang dimaksud dengan ekterioritas, yakni bahwa ada ‘yang beda’ di luar kita, yang bukan bagian dari interioritas diri kita. ‘Yang tak terhingga’ megajak kita untuk keluar dari diri kita dan menghormati keberadaannya. Untuk menyatakan pengalaman ini Levinas sengaja menggunakan istilah khas filsafat etiknya: Wajah. Artinya, perjumpaan kita dengan ‘yang tak berhingga’ terjadi melalui penampakan Wajah. Yang dimaksud Wajah bukanlah sesuatu yang secara empirik kita lihat, yang terdiri atas mata, dagu, hidung. Wajah bukanlah raut muka, tetapi penunjuk bahwa ada orang lain yang kelainannya berbeda dengan dari kita. Wajah itu ada, nampak pada kita, telanjang, apa adanya, tidak menunjukkan apa-apa bahwa ada ‘orang lain’ di hadapan kita, yang beda dari kita dan menggugah kita untuk berselaras dengannya. Jadi, Wajah tidak mengacu pada kualitas fisik dari orang lain yang kita jumpai, melainkan suatu fenomena khas yang tak akan pernah terselami oleh diri kita.

Dengan demikian, renungan kita akan Wajah menjadikan ‘orang lain’ di hadapan kita benar-benar unik (sui generis[2]) dan tidak dapat direduksi oleh kita. ‘Orang lain’ bukanlah bagian dari totalitas yang kita dirikan. Ia mempunyai eksterioritasnya sendiri, yang terlepas dari jangkauan kita. Ia mentransendensi keberadaaan dirinya dan melampaui kuasa kita terhadapnya. Agar dapat menjumpainya, kita mesti keluar dari imanensi kita. Ia membuka sudut pandang yang tak terhingga bagi diri kita. Menjadikan totalitas kita tak berarti apa-apa di hadapan transendensinya. Jadi, ‘orang lain’ bukan alter-ego bagi kita – ia bukan ‘aku yang lain’, ego yang memekarkan diri dalam bentuk yang lain. ‘Yang lain sebagai yang lain, tulis Levinas, bukan hanya sebuah alter-ego. Ia adalah sesuatu yang bukan kita[3]. Jadi, perjumpaan dengan ‘yang lain’ selayaknya mampu menumbuhkan empati, karena kita bisa melihat dari jarak dekat bukan semata naluri ‘kebinatangan’ sebagai warisan evolusi kita, tapi juga kelembutan nurani yang tumbuh karena dialektika pikir dan batin kita. Dan Hitler lalai untuk memahami konteks ini. Hitler bisa dikatakan gagal total dalam mengafirmasi ‘yang lain’.

Akhirnya, karena manusia lain adalah jejak yang-tak-terbatas, kematiannya mestinya selalu menimbulkan ‘lubang yang menganga’ dalam diri kita. Jangankan enam juta kematian, satu kematian pun mestinya sudah dilihat sebagai sebuah kehilangan (loss) yang kita pun wajib bertanggung jawab atasnya. Dari sinilah relasi etis akan dapat terpotret pada diri kita. Kendati demikian, kita boleh mengangkat topi untuk Jerman atas sikap poltiknya di era sekarang ini. Rupanya, kesadaran akan hilangnya nyawa orang-orang yang tertuduh gay, yang dulu pernah duduk di kursi ‘pesakitan’, yang dianggap liyan, yang mati dibunuh tanpa sempat pamit pada orang-orang yang mereka cintai ialah entitas yang membangun eksistensi pergerakan kesetaraan di negara ini. Dan melalui cermin inilah seorang Angela Merkel secara tegas dan berani, mengakui kejahatan negara dan meminta maaf, atas nama sejarah.

 

 

Referensi:

Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Perancis. Jakarta: Gramedia, cet III

Derrida, Jaques. 1976. Of Gramatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak. Baltimore: The John Hopkins University Press, revisi.

____________. 1978. Writing and Difference, terjemahan dan anotasi Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press.

Durkheim, Emile. 1982. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press.

Levinas, Emmanuel. 1969. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis. Pittsburg: Dequesne University Press.

[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Perancis, (Jakarta: Gramedia, cet III 2001), hal. 287

[2] Istilah yang digunakan Emile Durkheim saat mengkonsepkan Fakta Sosial dalam buku The Rule of Sociological Method.

[3] J. Derrida, Writing and Difference. (Chicago: The university of Chicago Press, terj dan anotasi Alan Bass, 1978) hal. 125