Oleh: Imam Ocean*
Aku menemukan tubuhnya berlumur darah tepat di depan pintu. Terkulai lemas memucat hangat. Aku panik. Siapa gerangan lelaki tampan yang nasibnya hampir direngkuh maut?
Suarakita.org – Malam itu, aku pulang dari kerja. Jam sebelas lebih lima aku masih di dalam kereta. Tersisa 2 orang saja mengisi gerbong. Sepertinya kami adalah penumpang terakhir. Atau masih ada lagi sisa penumpang yang tidak beruntung. Yang masih berharap ada satu lagi kereta yang lewat. Semoga.
Tumben malam itu tak ada kantuk melanda. Mata masih kuat siaga memandang ke luar jendela. Terkilas jelas kelap-kelip lampu jalanan dan kendaraan yang menghias gelapnya malam. Terselip kepikiran bagaimana tadi siang aku harus bergabung dengan para demonstran. Menyuarakan fakta terpinggirkan. Tentang eksistensi. Tentang penindasan. Tentang keserakahan. Tentang ketidakadilan. Tentang arti kesetaraan.
Ah sudahlah.
Terkadang aku harus jujur untuk melepas sejengkal masalah. Perlu ada ruang untuk sedikit hiburan. Hiburan mata hiburan hati. Hiburan mata hati. Aku hobi membaca. Membaca apa saja. Termasuk berita-berita di media sosial. Dari informasi tentang gaya hidup hingga pemberitaan kriminalitas yang dari dulu tetap sama muatannya.
Masih di malam itu, sambil jalan kaki menuju rumah, aku akan coba menceritakan beberapa kasus pembunuhan yang sampai sekarang masih belum terpecahkan. Sebuah pembunuhan yang rapi. Pembunuhan yang memiliki ketajaman intuisi untuk bisa menepis segala bukti. Aparat polisi susah beraksi mengendus para pelaku ini. Ya. Aku menyebutnya para pelaku. Karena tidak cuma satu. Mereka lebih dari satu. Dugaan awal, mereka bukan dalam satu bagian organisasi tertentu. Namun dalam setiap aksinya, selalu meninggalkan tanda pita putih dicelup darah. Dari kesemua korbannya, selalu adalah para kacung rakyat yang korupsi. Pejabat pemerintah yang lupa diri. Yang tidak segan-segan untuk menghijaukan darah hanya demi kepuasan diri. Dalam hitungan minggu, kasus pembunuhan pejabat bersih tanpa ada simbol pita putih dicelup darah selalu mengisi tajuk utama pemberitaan media. Namun berita itu dengan secepatnya tergantikan oleh berita baru terkait pembunuhan pejabat yang diduga kuat punya hubungan khusus dengan korban sebelumnya. Sekali lagi simbol pita putih telah berhasil menyelesaikan drama mingguan.
Jangan pernah bertanya polisi pekerjaannya apa. Semua yang mereka lakukan hanya lah settingan semata. Selama ini, semua hanya berdasar pada satu skenario besar. Akan tiba saatnya dimana polisi tinggal nama. Menyusul Majelis Pemberantasan Maksiat yang kini hanya tinggal sejarah. Lenyap oleh keserakahan. Hancur karena kemunafikan. Andil dari agama yang terjualbelikan.
Ah sudahlah.
Langkah gontai ini sudah mengantarkan aku pada sebuah kedai mi ayam pinggiran. Memang, membahas masalah negeri ini tidak pernah ada habisnya. Jadi, aku musti makan dulu. Kenyang malam ini harus terkabul. Hampir dari siang tadi, aku hanya melahap biskuit. Untuk menutup lapar. Sengaja dengan biskuit, bukan dengan yang lain. Karena biskuit memang yang paling murah, bukan makanan yang lain. Aku tidak akan menjelaskan dengan detail seperti apa rasa dan bentuknya biskuit itu, karena aku yakin kalian akan menyesal bila hidup di jamanku ini.
Ada sistem monopoli yang menakutkan sedang terjadi di negeri ini. Aku bisa apa? Kami bisa apa? Pertanyaan-pertanyaan ajaib itu sering aku dengar. Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban.
“Terus dimana Pemimpinnya?”
Ada.
Kalau yang kalian maksud adalah Presiden, aku menjawabnya ada. Karena sosok itu memang benar-benar ada. Dia ada. Secara nyata dia ada.
Lima belas tahun yang lalu, terjadi prahara. Sang Presiden menjadi sasaran tembak oleh seorang maniak. Pembunuh bayaran yang mendapat imbalan surga sebagai penebusnya. Banyak yang mengutuk aksi pemuda ingusan itu. Namun lebih banyak yang terketuk hatinya untuk saling serang dan menyerang demi kekuasaan yang mulai goyang. Sementara wakil Presiden hanya bisa terbaring lemah tak berdaya berjuang keras melawan kanker otaknya.
Dan yang terjadi adalah. Perang saudara dimana-mana. Pemberangusan manusia yang dianggap tidak berguna dilancarkan. Rakyat miskin menjadi korban. Silih berganti satu wilayah tertentu memilih untuk bersama-sama bunuh diri. Dengan alasan, sudah kehendak Tuhan. Ada pula yang beralasan, sesuai dengan tuntunan firman Tuhan, entah Tuhan yang mana. Tak jarang pula karena landasan keyakinan bahwa sudah saatnya mereka meninggalkan dunia fana. Dunia internasional pun dibuat kelabakan. Negeri ini hancur. Namun menyisakan kami.
Mungkin kalian tahu siapa kami. Kami yang tersisa adalah kelompok marjinal yang sudah sedari puluhan tahun selalu bersatu dalam perbedaan. Kami selalu bergandengan tangan. Menolak penindasan. Mencintai perdamaian. Kami lah yang dulu dihina. Dipersalahkan. Bahkan ditolak keberadaannya. Itu lah kami. Yang tersisa. Kerusuhan demi kerusuhan, semakin menguatkan kami. Kami yang terdiri dari berbagai lapisan elemen akhirnya sadar untuk segera membangun kembali negeri yang sudah bobrok. Sementara mereka yang hidup dengan benci, musnah perlahan tapi pasti.
Di dalam kekosongan, kami bahu membahu menciptakan dunia baru. Belajar dari partai-partai di masa lalu. Muncul pula cikal bakal pemerintahan yang sekarang. Bernama Partai Bhinneka Sejahtera. Sebuah partai yang lahir atas desakan nurani. Kami tumbuh menjadi besar. Begitu pula Partai Andalan. Yang terdiri dari sekumpulan pengusaha picik, pejabat busuk, hingga tokoh masyarakat yang haus kekayaan. Kalau diingat-ingat, memang menyebalkan.
Ah sudahlah.
Masih di malam itu, rupanya sudah terlalu banyak cerita yang kusampaikan. Takutnya kalian nanti bosan. Mungkin ada baiknya aku melanjutkan cerita soal pembunuhan yang tadi. Sepatutnya masih ada keseruan yang diciptakan oleh segelintir pahlawan instan. Membereskan cecunguk-cecunguk pemerintahan yang telah lalai dalam tugasnya. Hukum Negara tak lagi dijunjung. Menunggu Superman pun nampaknya sia-sia belaka.
Dan di ujung malam itu, tepat di halaman rumah, aku dibuat terperangah. Aku menemukan tubuhnya berlumur darah tepat di depan pintu. Terkulai lemas memucat hangat. Aku panik. Siapa gerangan lelaki tampan yang nasibnya hampir direngkuh maut?
Badanku gemetaran. Baru kali ini aku melihat lelaki bersimbah darah. Matanya terpejam setengah. Separuh sorot mencekik leherku kencang. Sekuat tenaga aku bernapas, setengah mati aku melangkah. Jelujur kaku memutih dingin aku memeluk tubuhnya. Kupapah pelan masuk ke rumah. Setelah sekitar tak satu pun saksi mata terlihat. Pintu kututup rapat.
…
Malam itu aku menjadi lelaki beruntung sekaligus tidak beruntung. Dikirim malaikat tampan tanpa sayap yang terluka, tergeletak begitu saja di depan pintu. Dan berakhir tanda tanya, “Siapakah dia sebenarnya?”
…
Sudah dua hari dia terkulai tak berdaya di atas ranjang. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang kering. Hanya sesekali batuk yang terdengar, itu pun seperti ditahan. Ada yang dirisaukannya. Sudah dua hari ini, aku meninggalkannya sendirian di rumah. Entah-mungkin-selama aku di kantor, dia berusaha untuk bangkit, mungkin hanya sekedar mengambil air minum di kulkas, atau bisa jadi merebus air panas untuk membuat kopi, atau malah dia merebus mi instan. Bisa jadi. Aku pun sudah meninggalkan nasi bungkus untuk dia, yang sengaja kutaruh di meja sebelah dia merebah badan. Mungkin dia ingin tahu, siapa aku. Atau malah bisa jadi dia sudah tahu siapa aku. Kenapa kemarin dia memilih roboh di depan pintu rumahku? Kenapa bukan rumah orang lain?
Pikiran-pikiran inilah yang selalu membuatku untuk pulang cepat. Dengan alasan badan meriang, kali ini aku bergegas pulang. Siapa kah dia gerangan?
…
Di depan rumah, mendadak jantungku berdebar tak karuan. Aku pulang. Bukan tidak sedang berkunjung ke rumah pacar yang ayahnya galak bin sangar.
Bismillah…
Aku memasuki rumah dengan rasa was-was tiada terkira. Mencoba untuk biasa tidak terjadi apa-apa. Kususuri ruang demi ruang hingga berakhir di dalam kamar. Aku melihat dia tertidur dalam kulai lelap. Bungkusan sisa nasi berhamburan di lantai. Sialan. Dalam hati aku menyumpahi. Tanpa suara aku bereskan segala kerusuhan yang sudah dibuatnya. Dalam tidurnya, aku merasakan lelah. Rasa lelah di wajahnya. Lelaki itu mengendus dalam tidurnya. Ya. Dia memang lelah kurasa.
…
Seminggu dia sudah meniduri ranjangku. Bau keringatnya sudah tidak asing di hidung. Tanpa parfum, hanya Pheromone. Tanpa senyum, hanya tatapan kosong. Seminggu, ranjangku dipenuhi bau keringat kecutnya. Tubuhnya kini menghangat. Tidak seperti seminggu yang lalu.
Seminggu lalu, aku memeluknya dalam dingin yang memucat. Kini dia terbaring dengan sepi yang mengikat. Di matanya, aku mungkin hanya sekelebat bayang sengak. Tak sudi sekejab matanya menatap. Diriku yang seharusnya punya kuasa utuh. Matanya angkuh. Atau mungkin kah dia sebenarnya malu. Untuk tahu siapakah aku.
Seminggu sudah, diantara kami tidak ada satu tanya. Tidak ada.
…
Dua minggu dan dia menghilang tanpa ada ucap apapun. Tidak ada. Dia menghilang begitu saja. Hanya meninggalkan pertanyaan.
…
Dan sejak saat itu, aku mencoba melupakan dia.
…
Hari berganti hari, waktu terus berjalan tanpa permisi.
…
Tepat di hari yang ke-30, aku menemukan dia lagi. Di depan pintu, bersimbah darah. Aku tidak panik seperti yang dulu-dulu. Namun saat kutahu bahwa ada luka tembak di perut sebelah kirinya, aku ngilu. Siapa dia sebenarnya.
…
Dengan berani diri, aku menginterogasi. Salah satunya pertanyaan mengapa selalu melibatkan aku di dalam situasi ini. Tidak kah untuk ukuran orang yang tidak tahu apa-apa, akan selalu punya timbul penasaran bila ada sesuatu yang disembunyikan. Semisal, “kau orangnya siapa?”
Dan dia lebih memilih untuk menjawabnya dengan senyuman yang membuatku terhanyut. Lelaki ini maut. Hampir selalu membuatku semaput. Kalau sudah begitu, aku memilih pura-pura mengkerut. Biar dia sadar, bahwa aku punya batas sabar.
Tetiba dia berisyarat, menarik lenganku kuat-kuat. Sambil sekarat, dia berbisik lamat-lamat, “Saya butuh kamu!”
Dan saat itu lah kami saling memagut.
…
Ada rasa yang tak kurasa. Indah. Sisa-sisa kenikmatan yang kami rasakan tidak pernah lepas dari jiwa. Masih ada hembusan nafas yang merengkuh relung. Kami sama-sama sadar, bahwa kesendirian yang bertemu dengan kesepian adalah sendu. Aku dan dia pun masuk dalam pusara gejolak kalbu yang utuh namun palsu.
…
Dia menghilang. Lagi.
…
Dan sejak saat itu, aku terus mengkhawatirkan keadaannya.
…
Pagi itu, kami berdua tengah duduk santai di sofa. Dia cermat menonton siaran berita di televisi. Karena sering ditemui tajuk berita yang tidak semestinya. Demi rating siaran, judul-judul penuh sensasi di acara tv berseliweran. Dan yang tidak pernah berubah adalah media informasi yang selalu memberitakan banyak berita yang selalu dikait-kaitkan dengan orientasi seksual. Pembunuhan dengan korban lawan jenis makin marak. Entah itu berencana, atau pembunuhan yang tidak direncanakan.
Seandainya mereka bukan dari golongan minoritas, mungkin berita pembunuhan pun tak perlu disangkut-pautkan dengan orintasi seksual seseorang. Kenapa disaat mayoritas melakukan tindak kriminal, tidak ada kehebohan. Apabila diantara mereka, yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama jenis menjadi pelaku kejahatan, tidak ada judul bombastis. Biasa.
“Sepertinya ada yang salah di dunia ini!”
Nampak lelaki tampan yang kini hidup bersamaku mendengar apa yang telah menjadi gumam. Dia menciumku dalam. Aku pelan menampik.
Simbol pita putih masih ada ratusan di genggaman.
Gresik, 10 Februari 2016
*Penulis sekarang bermukim di kota kelahirannya, Gresik. Tetap aktif menulis dan menggemari film dari berbagai genre. Pernah aktif di beberapa organisasi di Jakarta yang bergerak di isu LGBT dan HAM. Tulisan-tulisan lainnya bisa dijumpai di www.imamocean.wordpress.com