Suarakita.org- Akhir pekan ketiga Januari 2016, isu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) menjadi sorotan publik. Hal ini bermula ketika sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang menamakan diri sebagai Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) menawarkan konseling kepada LGBT muda yang masih berjuang memahami diri dan seksualitasnya. Mengetahui hal ini, pihak Humas UI dengan sigap menyatakan bahwa SGRC UI bukanlah organisasi resmi UI dan melarang SGRC UI menggunakan nama ataupun logo UI.
UI bukanlah universitas pertama yang menunjukkan sikap “anti” terhadap isu dan keberadaan individu LGBT di kalangan universitas. Menurut catatan Suara Kita, pada 2015 ada Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya dan Universitas Lampung yang menunjukkan sikap serupa, yakni melarang segala bentuk kegiatan (seminar, diskusi, dll) yang bertemakan isu LGBT.
Merespon ini, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Muhammad Nasir dalam wawancara dengan media menyatakan, “Kelompok LGBT tidak boleh dibiarkan berkembang dan diberi ruang segala aktivitasnya. Apalagi, komunitas LGBT disinyalir masuk ke kampus dengan kelompok kajian atau diskusi ilmiah”. (http://www.antaranews.com/ berita/541624/ kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek)
Pernyataan di atas tidak hanya bernada homofobik dan penuh buruk sangka tetapi juga menandakan bahwa Menristek Dikti belum memahami isu LGBT dalam konteks kajian ilmiah.
LGBT sebagai sebuah subjek sudah menjadi kajian di banyak fakultas humaniora baik di kampus dunia maupun di Indonesia, baik itu di tingkat jenjang S1, S2 maupun S3. Bahkan di banyak kampus ternama di tingkat international sudah didirikan sebuah kajian khusus untuk isu LGBT.
Dalam ranah akademik, kajian LGBT sudah jauh dibahas bidang dalam keilmuan antropologi gender, sosiologi gender, psikologi sosial, kajian ilmu filsafat, sejarah maupun kajian-kajian ilmu budaya. Bahkan sekarang ini kajian LGBT sudah dikhususkan atau dispesialisaikan dalam kajian bernama Queer Studies, sehingga Menristek sebagai pimpinan kelembagaan perguruan tinggi mestinya memahami pemetaan dan situasi kajian ilmiah tentang isu seksualitas itu di nasional maupun dunia.
Dalam kajian psikologi, LGBT bukan lagi dianggap sebagai penyimpangan seksual, tetapi sebagai keberagaman seksualitas manusia, yang ditandai dengan dikeluarkannya homoseksualitas sebagai gangguan jiwa dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM IV) oleh American Psychiatric Association (APA). Penganuliran homoseksualitas bukan penyakit pun diikuti pula oleh Departemen Kesehatan RI dengan menghapus homoseksual sebagai gangguan jiwa pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) tahun 1993. Semestinya Menristek Dikti sebagai pimpinan lembaga kajian ilmiah dan perguruan tinggi memahami perkembangan terbaru pengetahuan seperti itu.
Suara Kita menyadari bahwa isu LGBT adalah isu yang relatif baru, sumber informasi ilmiah yang ada pun jarang berbahasa Indonesia. Suara Kita telah mengorganisir orang muda untuk menjadi relawan dalam menerjemahkan jurnal ilmiah gender dan seksualitas berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Tujuannya, agar publik khususnya mahasiswa mendapat informasi yang baru terkait isu keberagaman seksualitas, yang semestinya dapat dilakukan oleh pemerintah seperti Kemenristek.
Untuk itu, Suara Kita sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT menyatakan sikap sebagai berikut:
- Suara Kita menyayangkan komentar Muhammad Nasir di media sebagai Menristek Dikti karena tidak mencerminkan sikap ilmiah. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi adalah lembaga yang fokus pada kajian dan riset, tentu ketika bertindak dan bersikap harus berbasis data dan pengetahuan, bukan semata-mata pada asumsi apalagi prasangka pada suatu hal.
- Suara Kita meminta Menristek Dikti untuk lebih berbasis data dan pengetahuan dalam memberikan pendapat, bukan pada asumsi maupun prasangka buruk pada kelompok tertentu, misalnya kelompok LGBT.
- Suara Kita meminta Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk mengevaluasi semua pembantunya, khususnya menteri-menteri yang tidak mendukung penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia yang tertuang pada semangat Nawacita.
Demikianlah siaran pers ini kami perbuat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Atas nama
Perkumpulan Suara Kita
Teguh Iman Affandi
Anggota Dewan Pengurus
Mobile : 081297592969