Oleh: Ardian Rudianto Hunta
Suarakita.org – Banyak orang yang sedang menjalankan resolusinya untuk tahun 2016. Ketika ditanya tentang resolusi, kebanyakan orang-orang akan spontan menjawab dengan “ingin lebih baik dalam segala hal”. Tak terkecuali kawan saya yang biasa disapa dengan nama Susan, beliau adalah salah satu dari kawan-kawan waria di Gorontalo yang sering mengalami stigma dan diskriminasi oleh masyarakat sekitarnya.
Susan lahir di Bolaangmongondow Selatan tahun 1985. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di Kec. Suwawa, Provinsi Gorontalo dan tinggal bersama tantenya. Susan terpaksa berhenti sekolah saat masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar karena keterbatasan dana dan Ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan tantenya yang selalu memaksa Susan untuk lebih “maskulin”. Akhirnya Susan memutuskan untuk keluar dari rumah dan mencari penghidupan di tempat lain secara mandiri.
“Aku keluar dari rumah cuma modal jari kaki 10, jari tangan 10, baju dibadan, keberanian dan tekad ingin sukses.” jelas Susan.
Tahun 1997 Susan memutuskan untuk tinggal di Kota Gorontalo, Ia memulai pekerjaan sebagai pencuci baju, dalam sehari Ia bisa mencuci baju dari 6 rumah warga dimulai dari jam 04:00am-08:00am.
“Aku dapet 60 perak untuk nyuci baju, karena belum cukup jadi aku cari tambahan kerja. Setelah nyuci baju Aku jualan somay sampe jam 4 sore , kemudian lanjut kerja di toko kue rumahan, malamnya Aku bawa celengan masjid ke pasar-pasar di Kota Gorontalo minta sumbangan. Tapi Aku setor ke Masjid cuma hari jum’at, selain itu untuk pribadi.” Susan menjelaskan sambil tertawa.
Tahun 2001 susan mencoba untuk bekerja di salon. “Cita-citaku dari kecil ya pengen punya salon sendiri, tapi Aku harus belajar dari awal. Caranya aku kerja di salon tidak minta upah tapi Aku cuma pengen diajari hal-hal dari awal seperti cuci rambut, gunting rambut sampe yang susah.”
Ternyata tidak mudah untuk seorang Susan mendapatkan ilmu walaupun sudah bekerja di salon. Di awal-awal Ia memulai kerja di salon, sang pemilik salon malah memanfaatkan Susan sebagai tukang bersih salon namun sang pemilik tidak mengajari apapun terkait salon selain itu Ia juga sulit mendapatkan makanan karena belum diizinkan pulang oleh pemilik salon, padahal Ia harus bekerja di tempat lain agar bisa mendapatkan uang dan makan.
Akhirnya sekitar tahun 2003, Susan memilih mencari kerja di tempat lain, kali ini Ia memutuskan untuk keluar Kota Gorontalo namun masih dalam Provinsi Gorontalo. Dimulai dari daerah Tilamuta, Marisa, Popayato tepatnya Padengo, sampai Pohuwato. Susan tetap tidak mengharapkan upah besar namun Ia ingin mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya sebelum bisa membangun salonnya sendiri.
Sekitar tahun 2006, Susan kembali mendapatkan tawaran kerja di Kota Gorontalo yaitu di salon Mami Gita. “Aku berhutang banyak sama Mami Gita, di salon Mami aku jadi lancar gunting rambut sampai ngelurusin rambut padahal dulu masih pake papan tipis bukan alat catok kaya sekarang. Mami selalu kasih Aku kesempatan praktek langsung, Ia arahin nanti kalau ada yang kurang Mami yang betulin. Kita juga disalon setara, makanan dan minuman selalu adil.” jelas Susan. Setelah kurang lebih 2 tahun bekerja dengan Mami Gita, Susan kembali pindah salon dengan harapan mendapatkan ilmu yang baru lagi.
Selama Susan berpindah-pindah tempat, tentu Ia banyak sekali mengalami stigma dan diskriminasi terkait dengan identitasnya sebagai seorang waria. Susan menjelaskan “Aduh,, udah seperti celana tua kalo bicara tentang diskriminasi. Aku sudah terbiasa mengalami cemoohan, diteriaki warga, dihina tapi Aku punya prinsip. Jangan ada yang berani sentuh badanku, Aku akan berani maju kalo Aku ga salah apapun.”
Peristiwa yang sangat memilukan pernah dialami Susan tahun 2007. Pada saat itu ada sekelompok orang yang tak dikenal mendatangi Susan dan mengganggunya ketika sedang menunggu bentor (baca: transportasi umum). Ketika Susan menghindar sekelompok orang itu malah memukulnya, namun Susan memilih untuk menjauh dan melaporkannya ke kantor polisi terdekat. “Aku kira gampang, lapor terus polisi datengin orang-orang itu. Ga taunya malah ribet. Aku malah diketawain, Polisi ga cepat menanggapi laporan aku, ya orang-orang yang mukul Aku keburu pergi. Jadi Aku milih pergi dan semenjak itu, Aku udah ga percaya lagi sama polisi dan memilih menyelesaikan masalahku sendiri.” Jelas Susan.
Tahun 2015 Susan kembali mengalami kekerasan, kali ini lebih memprihatinkan dan lebih parah, kejadian ini terjadi pada hari sabtu, 19 Desember 2015, sekitar pukul 12.30 WITA.
Susan yang pada hari itu hanya ingin pergi kerumah salah satu temannya untuk beristirahat, terpaksa harus melewati salah satu gedung Sekolah Menengah Kejuaran di Kota Gorontalo tepatnya di Jl. Bali yang pada saat itu sedang mengadakan kegiatan “Gerak Jalan Sehat”. Situasi diluar dan didalam sekolah sangat amat ramai karena disertai dengan peresmian gedung baru.
Ketika Susan melewati sekolah itu, para siswa yang ada di sekolah tersebut langsung meneriaki Susan dengan cemoohan, namun ia masih diam dan terus mencari warung untuk membeli keperluannya. Setelah mendapatkan barang yang ia cari, Susan langsung menaiki bentor untuk menuju rumah temannya. Susan mengira, supir bentor akan mengantar ia melalui jalan lain yang tidak melewati sekolah tersebut, namun sang supir memilih jalan pintas dan harus melewati sekolah tersebut.
Ketika melewati sekolah tersebut untuk yang kedua kalinya, para siswa yang berada diluar sekolah kembali meneriaki Susan namun kali ini disertai lemparan batu kearahnya. Seketika ada sebuah batu yang mengenai bagian paha Susan, sontak Susan yang sedari tadi mencoba sabar, tidak bisa lagi menerima perlakuan semena-mena dari para siswa itu. Susan memutuskan untuk berhenti dan masuk ke sekolah serta mengambil sebuah batu untuk dilempar kearah salah satu kelas. Setelah Susan melempar batu, para siswa langsung mengeroyok Susan.
“Kalo berani maju sendiri-sendiri, jangan main keroyokan! Kalo laki-laki jangan keroyokan!” teriak Susan.
Dan perkelahian pun tidak dapat dihindari, Susan dengan tangan kosong mencoba terus melawan serangan siswa-siswa yang ada di sekolah tersebut. Yang lebih mengenaskan adalah ada guru yang juga ikut mengeroyok Susan. Lalu datang seorang guru perempuan yang menghentikan pengeroyokan tersebut.
“Kok kamu sampe bisa begini?” Tanya guru tersebut.
“Saya sudah bilang, tadi saya cuma lewat, baru mereka teriak-teriak, saya tidak masalah kalau mereka teriak-teriak, sudah biasa. Tapi yang buat saya kesal mereka lempar batu kearah saya, silahkan tanya abang bentor.” balas Susan.
“Betul ini?” guru itu malah balik bertanya kepada para siswa.
Dan siswa-siswa langsung membela diri dengan mengatakan tidak. Sontak Susan emosi karena salah satu guru tersebut bukannya melerai atau membantu mengobati, malah bertanya dan menyalahkan Susan, kemudian Susan menampar guru tersebut dan para siswa serta guru-guru lain mengambil tali untuk mengikat Susan dan kembali mengeroyoknya.
Tidak berapa lama, tali tersebut berhasil dilepas Susan dan kemudian datang aparat kepolisian. Namun yang polisi lakukan hanyalah bertanya dan mengambil beberapa foto Susan yang sudah terlanjur babak belur. Pihak sekolah menyuruh Susan untuk pulang dan tidak ada tindakan untuk mengobati dan memulihkan kondisi Susan. Karena Susan sudah sangat kesal, maka ia memutuskan untuk pulang dan berisitirahat disalah satu rumah temannya.
Setelah ia merasa baikan, Susan memilih untuk bangkit dan kembali ke salonnya tempat ia bekerja. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia membuka salon dan bekerja seperti hari-hari biasa. Ia masih menerima jasa gunting rambut bahkan pijat relaksasi disaat tubuhnya sedang lemah.
“Kalau Aku tidak kerja, Aku mau makan apa hari ini? Lagipula Aku masih bisa mengatasi rasa sakit nanti juga sembuh! Sakit itu ga boleh dimanja, nanti makin jadi. Dari dulu Aku sudah terbiasa untuk terus bangkit selagi mampu.”
Pada malam harinya, setelah Susan sudah pulang kerumah, pihak sekolah datang ke salonnya untuk mengajak melakukan visum. Namun karena Susan tidak ada ditempat, maka pihak sekolah pun memutuskan untuk pergi tanpa bertanya alamat rumah Susan kepada masyarakat sekitar.
“Tadi malam ada yang naik motor, bilang dari sekolah mau pisum.” jelas salah satu tetangga.
Esoknya dan sampai tulisan ini dibuat, pihak sekolah tidak lagi datang ke salon atau rumah Susan. Pihak kepolisian pun tidak mengambil langkah apapun.
“Aku trauma berurusan dengan polisi, rumah sakit, malah jadi kita yang repot. Bukannya ditolong malah nambah masalah.” jelas Susan.
“Aku memutuskan untuk tidak membawa kasus ini ke hukum karena sudah trauma berurusan dengan pihak berwajib, lagipula suamiku menyarankan untuk tidak menindak lanjuti kasus ini. Jadi sudah kuputuskan untuk tidak meneruskan kasus ini sampai pihak berwajib.” Susan menjelaskan keputusannya dengan tegas.
Dengan pengalaman hidup yang sangat berat dan tidak mudah, sampai sekarang Susan masih terus mengejar cita-citanya untuk mempunyai usaha salon yang lebih sukses dan profesional.
“Harus kuat untuk bertahan hidup, pantang mundur apapun yang terjadi, aku bukan perempuan yang lemah, yang penting Aku tidak pernah menyakiti orang lain, Aku fokus cari makan dan mengembangkan usaha salonku, ya mudah-mudahan bisa membantu kawan-kawan waria lain dengan membuka lapangan pekerjaan. Istilahnya dilempar batu, balas dengan kapas semoga orang-orang yang sudah menyakitiku dapet karma dan tidak mengulangi hal yang serupa kesiapapun.” jelas Susan.
Perjuangan Susan tidak sia-sia, ditahun 2014 Susan berhasil membangun salonnya sendiri yang terletak Kota Gorontalo, ketika ditanya tentang harapan di tahun 2016 Susan yang sedang menggunting rambut pelanggannya dengan semangat menjelaskan “2016, Aku mau salonku lebih maju, alat-alat bisa lebih lengkap dan tempat bisa lebih luas dari sekarang sekalian makin banyak pelanggan tetap, dan semoga stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami kawan-kawan waria dan lainnya bisa hilang minimal berkurang karena kita juga kan manusia ga ada bedanya.”