Suarakita.org – Melestarikan Lingkungan adalah tanggung jawab setiap individu manusia di bumi. Ekosistem harus dijaga demi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Kerusakan lingkungan berakibat hancurnya kehidupan dan datangnya bencana (banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya) akan rutin menjadi persoalan yang tidak bisa dibiarkan. Itulah makna penting, yang ingin dibagikan oleh sosok Anto di hari Gerakan Sejuta Pohon, yang diperingati setiap tanggal 10 Januari.
Karena kesadaran itulah, Anto demikian panggilan akrabnya terpanggil membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan. Anto di lahirkan di sebuah desa di Jawa Timur pada bulan Mei 1974. Karena aktifitasnya memperjuangkan hak-hak rakyat, khususnya petani tak jarang ia harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit (palm oil) di Sumatera Utara (Sumut) yang merasa terusik kepentingan modalnya. Dalam menjalankan aktivitasnya mengeruk keuntungan dari perkebunan kelapa sawit, banyak praktek penyerobotan tanah-tanah warga yang dialihkan sebagai lahan tanaman sawit. Benturan kepentinganpun tak terelakkan antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang melibatkan aparat keamanan, ormas-ormas tertentu, preman dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Anto berusaha selalu berada dipihak masyarakat yang hak-haknya terampas.
Anto menilai tanaman kelapa sawit selain merusak lingkungan juga berpotensi merusak mental masyarakat. Tiga tahun pasca penanaman, sawit baru menghasilkan (tanaman sawit berproduksi). Sementara pola kerja petani hanya dua kali sebulan, itupun yang mengerjakan biasanya orang lain (buruh tani). Para petani sawit akan bersantai menunggu hasil tanpa dilatih daya kreatifitas mengolah lahan. Ketika harga sawit anjlok dan tidak ada harganya, para petani sawit banyak yang frustasi. Alih fungsi dari tanaman sawit ke tanaman holtikultura akan semakin sulit sebab tanah yang tandus dan daya kreatif petaninya hilang setelah dimanjakan sawit selama berpuluh tahun. Hal ini yang menjadi alasan mengapa Anto tidak sepakat dengan pola tanaman kelapa sawit yang dikembangkan oleh perusahaan sawit besar.
Berbagai teror seringkali dihadapi ketika harus berseberangan kepentingan dengan pihak perusahaan sawit. Bahkan iming-iming nilai uang dan berbagai kemudahan fasilitas hidup tidak jarang ditawarkan kepadanya, namun Anto berusaha tak bergeming atau mundur dalam mendampingi masyarakat. Tepatnya, pada tahun 2012, ketika itu ia mendampingi para petani yang melakukan demonstrasi dengan cara mogok makan dan jahit mulut di depan DPRD Sumatera Utara selama lebih kurang satu bulan. Ada seseorang yang mewakili pihak perusahaan HTI (Hutan Tanaman Indutri) menemuinya secara diam-diam dan menawarkan uang senilai 1 Milyar rupiah. Pihak perusahaan meminta Anto agar tidak mendampingi petani lagi dan meredam tuntutan warga terhadap perusahaan sawit. Jumlah yang tidak sedikit nilainya memang namun terpaksa ia tolak.
“Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan ada resikonya masing-masing. Ketika saya memilih hidup bersama orang-orang tersingkir dan orang-orang miskin, maka saya harus siap untuk segala resiko yang ada, termasuk kesulitan hidup. Bukan menjadikan kesulitan mereka dijadikan nilai tawar ekonomi demi kepentingan pribadi. Bagi saya seorang perampok lebih terhormat daripada seorang yang berlagak suci seolah berada di pihak orang-orang miskin tetapi menjadikan kemiskinan sebagai alat tawar demi kepentingan pribadinya,” ungkap Anto.
Intrik juga tidak terlepas menjadi santapan Anto yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) ini. Anto yang kebetulan seorang Gay harus menerima intrik dari pihak-pihak yang berseberangan. Isu Gay dijadikan intrik untuk menjauhkan masyarakat yang didampinginya. Memang masyarakat sempat terkecoh, ada yang meninggalkannya, dan bahkan mencemooh keberadaannya. Namun ia menghadapinya dengan santai, dan terus beraktifitas seperti biasa. Jika ada yang bertanya Anto mengakui memang benar bahwa dirinya adalah seorang Gay, bahkan ketika masyarakat mau menjauhi ia mempersilahkan. Lambat laun masyarakat yang tadinya menjauhi, pelan-pelan kembali akrab dan tidak berjarak lagi.
Berkat kesungguhan dan ketulusannya mendampingi para petani, akhirnya mereka tidak melihat identitas seksualnya, tetapi melihat apa yang dikerjakannya. Awalnya masyarakat memang ‘shok’ ketika mengetahui Anto seorang Gay. Gay masih dianggap sesuatu yang tabu dan aneh oleh masyarakat, meski sebenarnya disekeliling mereka banyak terdapat kelompok homoseksual yang masih menutup diri karena stigma buruk.
“Menjadi Gay itu adalah kenyataan, dan bukanlah sebuah aib, karena kita lahir tidak bisa memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual. Ajaran moral yang ditanamkan kepada saya sejak saya kecil adalah ketika seseorang tidak melakukan eksploitasi sekecil apapun, kepada siapapun. Itu moral tertinggi menurut saya.” Lanjut Anto.
Pertanyaan-pertanyaan kapan nikah masih sering dilontarkan orang-orang disekelilingnya, Anto menjawab dengan tegas bahwa dirinya tidak akan menikah. Menurutnya pernikahan mengikat kedua pasangan untuk berkomitmen, harus dilandasi saling keterbukaan dan kejujuran terhadap pasangannya. Itu syarat langgengnya sebuah pernikahan. Dirinya tidak mau jika pernikahan hanya digunakan sebagai status belaka, dia menilai hal itu sama dengan mempermainkan lembaga pernikahan. Pernikahan yang digunakan hanya sekedar menutupi status, akan melukai salah satu pihak dan seringkali pihak perempuanlah yang menjadi korban. Hal ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Tahun 1998, Anto turut aktif dalam gerakan reformasi di Jakarta dan sempat beredar isu bahwa dia menjadi target penculikan. Namun Anto sangat berterima kasih karena jiwanya selamat atas bantuan Almarhum Munir. Anto mempunyai mimpi yang sederhana ketika bergerak dan berjuang bersama masyarakat yakni ingin menciptakan kesetaraan bagi umat manusia.
Selepas menyelesaikan Sekolah Dasar, Anto meninggalkan kampung halaman dan merantau ke berbagai kota di Pulau Jawa, dan kini 13 tahun sudah ia tinggal di Sumatera Utara. Dalam perjalanan hidup selama merantau, ia menempa dirinya dengan berbagai persoalan sosial di masyarakat. Keputusan menjadi seorang aktivis sosial yang penuh dengan tantangan diambilnya dengan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Selain bergerak di bidang lingkungan, Anto juga aktif dalam mengadvokasi persoalan kesehatan masyarakat, perburuhan, petani, kebudayaan dan berbagai persoalan sosial lainnya. Baginya hidup adalah pengabdian, ia tengah belajar menjadi ‘manusia’ seperti kata bijak yang disampaikan oleh Multatuli “Tugas utama manusia adalah menjadi manusia”. Sederhana, tetapi ternyata sulit dalam implementasinya, jika hal ini tidak dilakukan secara bersama-sama. (Siti Rubaidah)