Oleh Akasa Dwipa*
Suarakita.org — Katamu, aku lahir dari pohon pisang. Tubuh telanjangku menggeliat di atas daun-daun berserakan. Sekujur tubuhku kudisan, berbau busuk seperti tai meleleh di comberan.
Matahari bersinar terang di balik daun yang bergoyang-goyang seperti sampan. Kau membawaku ke dalam rumah hanya karena mulut dan hidungku berwarna merah seperti kelopak mawar. Meski benda kecil di selangkanganku busuk bernanah, kau berteriak gembira. “Demi Tuhan, ini sebuah keajaiban!”
Tujuh perempuan dan satu laki-laki mengerubungiku seperti sekawanan lalat kebingungan. Mereka ragu menyentuh tubuhku yang kau letakkan di atas kandang ayam. Dan kau adalah perempuan yang dianugerahkan alam untuk menjadi ibuku tersayang.
“Percuma.” Komentar laki-laki kurus berwajah tirus. “Bayi haram itu hanya akan membawa wabah di keluarga kita. Lebih baik kau buang segera. Aku berjanji akan memberimu anak laki-laki yang seribu kali lebih tampan dari bayi busuk itu.”
“Semua anak yang kamu berikan tidak bisa membelah kayu ataupun membalik tanah di ladangku.” Ibu membelaku, berharap saat nanti tanganku akan tumbuh kekar. Namun enam perempuan yang lain, yang segera menjadi kakak-kakakku, saling memandang heran, tidak percaya bayi haram akan menjadi bagian dari mereka.
Sejak saat itu, ayah memanggilku Wabah. Meski ibu memberikan nama yang baik untukku, Surip, sebuah nama yang dimaksudkan agar aku selamat dari maut, namun keenam saudara perempuanku memanggilku Betti. Kadang Susi. Tidak jarang membentakku, Banci!
Kelak ketika aku mengangkat kapak di atas kepalaku kemudian mengayunkannya pada kayu di bawah kakiku, aku melihat wajah ayah dialiri darah. Kapakku meleset, lepas dari tanganku dan melesat, membuat garis horisontal persis di dahinya. Ayah menyumpah, meraih sebilah kayu, melemparkannya ke arahku. Aku berhasil menghindarinya dengan gerak kemayu, membuat kemarahan ayah semakin menggebu. Aku berlari seraya menarik rokku ke atas lutut.
“Wabah menjijikkan!” teriak ayah.
Dalam penglihatan ayah, aku memakai celana pendek biru, seragam sekolahku. Ia benar. Di mata batin dan jiwaku, aku memakai rok merah jambu berwiru-wiru, milik kakakku, yang sering menghantui tidurku. Berkali-kali aku memikirkan bagaimana mencuri dan memakainya. Ketika aku mendekati ibu yang sedang mengupas kulit kayu mindi agar cepat kering, ibu melemparkan pandangan tajam seperti kayu terbang dan persis menancap di dadaku. Kemudian ibu berujar, “bahkan kamu menunjukkan cara jalan yang membuat ibumu malu!”
Pada malam-malam gelisah di atas tikar, aku melihat wajah ibu merayap di langit-langit kamar. Wajahnya tampak tua, dipenuhi kerut-kerut kekecewaan, menghakimiku secara moral, mengintimidasiku sampai pada titik ketidakberdayaan. Namun begitu, aku tetap kukuh, takdir hidupku bukan untuk membalik tanah maupun membelah kayu. Bagaimanapun mereka meyakini fisikku diciptakan untuk itu, aku tidak pernah meminta siapa pun memasukkan jiwa yang tidak sesuai untuk tubuhku.
Pada pagi ketika matahari bersinar terang dan celana biruku hanya menjadi kenang-kenangan selama duduk menghadap papan tulis mendengarkan guru-guru yang membingungkan, aku berdiri di tengah ladang dengan cangkul di tangan. Angin berhembus memainkan rambutku, menari-nari di alis mataku, serasa digelitiki bulu. Berkali-kali aku menyibakkannya sama seperti kakakku menyibakkan rambutnya. Segenggam tanah kering tiba-tiba mendarat di wajahku. Aku melengking seperti lengkingan kakakku ketika terkejut melihat cacing di ladang.
Aku menjatuhkan cangkul dan tergeragap sadar. Ini bukan tempat dan duniaku. Tidak ada yang harus aku lakukan selain mencuri uang yang terikat di jarik ibuku. Kutinggalkan secarik kertas; Ibu, aku mengambil uangmu untuk mencari duniaku.
Aku tiba di tempat baru setelah gelisah di dalam dua bus berbeda yang aku tumpangi menurut perintah hati. Gedung-gedung berdiri menantang langit. Udara bertiup lebih panas dibandingkan udara yang menghembus ladangku. Aku nyaris pingsan karena bingung dan sengatan panas.
Debu-debu yang terhempas roda kendaraan seolah berbisik. “Apa yang akan kau lakukan di tempat asing ini?”
“Mencari kebebasan,” jawabku.
Aku berjalan hingga menemukan sungai panjang di tengah kota. Aku berdiri memandang airnya yang berwarna emas. Gelombang-gelombang kecilnya memantulkan sinar matahari. Di seberang sungai ada taman. Pedagang kaki lima ramai di bawah pohon yang daunnya menjuntai menyentuh permukaan air sungai.
Melalui jembatan panjang berwarna merah, aku menuju taman. Di bawah pohon aku duduk mendekap tas yang berisi beberapa lembar pakaian. Haus dan lapar membuatku semakin gelisah. Uang curianku tinggal satu lembar, dan mengulurkannya pada penjual minuman. Aku melihat ibu ketika air melewati tenggorokan. Disusul wajah ayah dan kakak-kakakku. Mereka melayang-layang di bawah daun yang bergoyang-goyang.
“Ibu, doakan anak perempuanmu,” bisikku dalam hati sembari membayangkan tatapannya yang pernah sayang padaku. Alih-alih aku melihat matanya yang keruh disebabkan usia, sorot aneh tertuju ke arahku dari sepasang mata di pinggir sungai. Aku menghindarinya, berpura-pura tidak melihatnya, namun setiap kali aku mengalihkan pandangan ke arah sungai, mata itu selalu menghadangku.
Mata itu mendekatiku. Laki-laki tinggi besar berdiri di hadapanku, memandangiku tanpa berkata-kata, membuatku ketakutan. Dia menahan pundakku ketika aku hendak berdiri. Kemudian aku mendengar suaranya. Dia bertanya dari mana aku berasal.
“Dari kampung,” jawabku.
“Kamu lapar?”
Aku menggelengkan kepala.
Dia duduk di sampingku. Matanya yang semula menakutkan, kini mengeluarkan sorot aneh ketika memandang wajahku. Aku melihat gerak mulutnya ketika berbicara. Bentuk bibirnya aneh, seperti bengkak yang diakibatkan makanan pedas. Namun beberapa tahun kemudian, setelah ratusan kali aku menyaksikan jenis bibir yang seperti itu, aku tahu bengkak di bibirnya bukan karena makanan pedas. Tapi disebabkan oleh tuntutan psikologis yang konon dianggap menyimpang.
Aku menemukan duniaku, di sini, di sepanjang pinggir kali. Gerbang kehidupanku terbuka pertama kali ketika matahari menghilang dari langit di atas kota. Setelah cerita banyak dan berganti-ganti tema, laki-laki itu mengajakku ke bawah jembatan. Di kejauhan aku mendengar kehidupan kota dari suara-suara kendaraan. Aku berdiri bersandar pada tembok yang kemudian aku ketahui adalah tiang yang menyangga rel kereta api di atas kepalaku. Bintang di langit tahu ketika laki-laki itu menarik resleting celana biruku. Dengan mulutnya, laki-laki itu membuka pintu duniaku.
Begitu cepat kejadian itu berlangsung. Aku tidak mengerti setengah takjub mengetahui hal baru. Tapi aku bahagia. Kebebasan pertama dalam hidupku. Kebahagiaan menjadi sulit aku ungkapkan ketika laki-laki itu mengantarkanku kembali ke pinggir kali dan memberiku lembaran uang yang selama hidup belum pernah aku pegang. Entah naluri atau apa, kekhawatiran lenyap saat aku menyadari uang itu telah menjadi milikku.
Gelap taman tidak membuatku takut. Sesekali terdengar tawa dari gerombolan orang di bawah pohon. Ada yang menyendiri duduk di akar pohon. Tidak sedikit juga yang mondar-mandir dengan motornya. Beberapa kali lampu motor menyorot wajahku sebelum kemudian berhenti. Kali ini laki-laki gendut berdiri di hadapanku. Tanpa duduk, ia bicara, mengajakku ke bawah pohon yang lebih gelap. Meski gelap, aku melihat bibirnya bengkak dan lembek seperti bekicot. Aku semakin yakin, inilah duniaku.
Selama beberapa tahun, duniaku melimpahkan kebahagiaan. Aku hidup mandiri dan berkecukupan. Yang paling membuatku bahagia, aku hidup tidak di bawah perintah dan peraturan apa pun. Namun suatu hari, ketika aku bertambah tinggi dan mengenal setiap jengkal kotaku, aku tidak lagi berminat melayani bibir-bibir bekicot. Aku jijik terhadap mereka setelah menyadari bibirku telah berubah seperti mereka. Bahkan aku merasa perlu berperangai lebih dari semua laki-laki berbibir licin itu.
Aku mulai berani mengoleskan lipstik pada suatu petang ketika duduk di bawah pohon. Mengetahui bibirku begitu menarik dan wajahku berpotensi besar bisa disebut cantik, diam-diam aku membeli rok berwiru-wiru. Dalam kamar, aku mencobanya sambil mematut-matutkan diri di depan cermin. “Jika dipoles sedikit, tubuhku tidak kalah seksi dibanding dengan perempuan tulen,” aku membatin.
“Aku adalah perempuan sejati,” teriakku pada rembulan redup di atas kotaku.
Di pinggiran sungai, aku adalah perempuan paling bahagia, berjalan riang gembira seperti peri-peri centil yang keberadaannya hanya diakui oleh beberapa manusia. Aku akan terus mewarnai malam. Akan terus mendiami duniaku sampai ibuku tersayang memahami jiwaku bukanlah untuk membelah kayu dan membalik tanah.
*Menulis sejumlah karya berupa novel dan cerpen. “Kota Anjing” novel pertama, menjadi pemenang ketiga lomba novel Dewan Kesenian Jawa Tengah 2011. Cerpen “Pesan di Kuburan” diterbitkan dalam bentuk eBook dalam antologi cerpen “Kota Tanpa Wajah” bersama cerpenis Jogja Solo dan dijual secara online tahun 2013, dan beberapa cerpen lainnya terbit di majalah sastra Horison, majalah Esquire, koran Suara Merdeka, dan antologi cerpen Joglo yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah, 2006 dan 2008.