Oleh: Nadya Karima Melati
Suarakita.org — Beberapa waktu yang lalu kita cukup dikagetkan oleh ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menyatakan bahwa kementriannya akan melaksanakan program kedisiplinan ala militer yang diberi nama Bela Negara. Pelatihan ini ditujukkan kepada seluruh warga negara Indonesia baik perempuan ataupun laki-laki berusia dibawah 50 tahun. Program Bela Negara ini menargetkan 100 juta peserta dalam kurun waktu 10 tahun. Program yang cukup fantastis bukan? Ketika program ini dilontarkan oleh bapak menteri, berbagai pertanyaan dan pendapat kemudian muncul di berbagai lapisan masyarakat. Seperti apakah kewajiban Bela Negara yang dimaksud? Darimana anggarannya? Dan apa hubungan Bela Negara dan banci?
Memahami Konsep Bela Negara
Kewajiban Bela Negara pada dasarnya dicantumkan dalam Pasal 27 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”, namun bagaimana definisi Bela Negara yang dimaksud? Apakah Bela Negara harus selalu identik dengan kegiatan yang berbau kemiliteran? Jakie Hogan (1999) dalam The Construction of Gendered National Identities in The Television Advertisements of Japan and Australia meneruskan diskursus tentang nasionalisme yang tergenderkan. Konsep Bela Negara di Indonesia bisa diartikan secara fisik dan non-fisik. Secara non fisik bisa dengan meningkatkan rasa cinta tanah air dengan berprestasi di berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, kerja sosial untuk masyarakat, ataupun menghasikan karya yang mampu mengharumkan nama bangsa. Sedangkan Bela Negara dalam pengertian fisik bisa berarti angkat senjata demi mempertahankan negara dari ancaman serangan. Sayangnya, program Bela Negara yang di pahami oleh masyarakat umum kita adalah Bela Negara yang nomor dua.
Tidak heran, mungkin karena pengalaman sejarah kita dipimpin dalam rezim otoriter dan militeristik selama 32 tahun yang memproduksi doktrin bahwa nasionalisme adalah maskulin sedangkan pahlawan nasional yang diakui pada umumnya adalah tentara yang masih bercokol kuat di benak kita — sehingga, terjadi pemujaan berlebihan terhadap laki-laki yang bersikap jantan dan menilai rendah laki-laki yang berkarakter feminin. Mungkin beberapa dari kita masih ingat ada satu program televisi Be A Man yang menyajikan reality show dengan slogan “dari kaleng jadi baja” yang memberikan pelatihan militer pada para waria dengan harapan bisa kembali pada ‘kodrat’nya menjadi laki-laki jantan. Melalui reality show tersebut kita bisa melihat betapa rendahnya masyarakat kita menilai laki-laki yang berkarakter feminin, yang selalu dianggap menyimpang.
Bela Negara dan Imaji Banci
Cerpen Kompas pada hari Minggu tanggal 25 Oktober 2015 menampilkan cerpen karya Putu Wijaya yang berjudul Jenggo, dalam cerpen tersebut, mengisahkan keluarga Jenggo, Man Jenggo, si bapak yang menginginkan anak semata wayangnya Wayan Jenggo bisa bercita-cita dan menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Man Jenggo menginginkan Wayan menjadi ABRI karena Wayan sebagai laki-laki dianggap terlalu keperempuanan alias banci. Singkat cerita, Man Jenggo berdiskusi dengan pak RT dan ternyata Wayan tertekan dengan kemauan sang bapak yang mendefinisikan ‘pahlawan’ terlalu sempit dan maskulin sehingga Wayan mengancam bunuh diri.
Cerpen tersebut adalah bukti gambaran umum pemikiran masyarakat kita tentang konsep Bela Negara dan Maskulinitas. Hal ini tertuang juga dalam salah satu artikel di selasar.com** yang menyetujui program Bela Negara karena bangsa ini dianggap telah mengalami krisis maskulinitas yang ditandai dengan keberadaan laki-laki yang berprilaku feminin. Pemikiran tersebut tentu saja sangat sempit dan menjadikan konsep Bela Negara menjadi sesuatu yang eksklusif dan terbatas pada laki-laki, lebih khususnya laki-laki yang bergender maskulin. Dengan pemahaman Bela Negara dan pahlawan yang bersikap maskulin, membuat kita semua lupa bahwa gender feminin juga berkontribusi luar biasa terhadap tanah air. Dianggapnya para laki-laki karakter feminin tidak pernah berkontribusi terhadap bangsa ini. Jika kita melihat pemahaman yang lebih luas tentang konsep Bela Negara bahwa ia sebetulnya tidak melulu bersifat militer. Kita akan temui para laki-laki berkarakter feminin yang mengharumkan nama Indonesia di ranah Internasional — sebut saja Tex Saverio yang rancangan gaun pengantinnya digunakan Jennifer Lawrence dalam Hunger Games: Catching Fires dan Lady Gaga. Dan jika kita melirik ke dalam negri ada Hamzah HS alias Raminten, yang melalui usahanya (Mirota Batik, Mirota Toko Sovenir, House of Raminten) telah memberi lapangan pekerjaan bagi banyak orang di Yogyakarta melalui restoran, toko souvenir, hingga batik.
Negara Seharusnya Membela
Ketika Bela Negara ala kedisplinan militer menjadi kewajiban nantinya — lantas, dimana negara yang berkewajiban untuk memberikan rasa aman, memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi seluruh warganya? Padahal negara kita sedang mengalami darurat kekerasan seksual terhadap anak melalui pemberitaan tentang kasus-kasus kekerasan dan penelantaran anak yang dianggap akan selesai melalui hukuman kebiri. Ini merupakan bukti bahwa negara tidak memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap anak. Belum lagi masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia, dan yang dilupakan — bahwa Indonesia telah mencetak ‘prestasi’ sebagai negara yang memiliki angka tertinggi pernikahan anak se-Asia Tenggara. Apa kabar dengan nasib LGBT yang tidak memiliki hak untuk saling mencintai, bebas berekspresi dan mendapat pekerjaan yang diinginkan? Hal tersebut masih jauh dari harapan. Konsep dan Program Negara menurut saya memang wajib untuk ditinjau ulang karena maknanya terlalu sempit dan seakan-akan meminggirkan peran gender feminin dan justru memiliki potensi untuk mendiskriminasi laki-laki yang tidak bergender maskulin.
*Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia dan Kordinator Fasilitas dan Keuangan untuk SGRC UI
**artikel di selasar.com dapat dilihat pada link berikut: https://www.selasar.com/budaya/bela-negara-dan-maskulinitas-bangsa