Oleh: Teuku Ramzy Farrazy
Dekonstruksi kecantikan dalam Miss Universe? Bagaimana mungkin? Mungkin saja. Miss Universe 2015 yang ditayangkan langsung dari Planet Hollywood Resort & Casino, Las Vegas, Amerika Serikat pada 21 Desember 2015 lalu membawa sebuah cerita lain, yakni kecantikan yang diluar standar ‘ratu-ratuan’ seperti yang selama ini kita kenal.
Seperti diskusi yang saya hadiri di Suara Kita mengenai mitos kecantikan transgender oleh Jane Maryam beberapa waktu lalu. Diskusi yang berlangsung sangat menarik tersebut berakhir dengan solusi dekonstruksi konsep kecantikan, bahwasanya cantik tidaklah harus mengikuti standar atau patokan yang dibawa oleh kapitalisme kontemporer seperti yang kita temukan dalam Disney Princess atau Barbie.
Cantik itu tidak mesti putih, langsing, berambut panjang dan bertubuh tinggi semampai. Menurut Jane Maryam, cantik itu bukan kompetisi, bukan pula hierarki serta bukan pula standar yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Bercermin dari hal di atas, sudah tentu ajang ‘ratu-ratuan’ seperti Miss Universe, Miss Earth, Miss World dan segenap ajang lainnya menjadi tidak sesuai karena telah mempertontonkan sebuah kompetisi, hierarki dan kekerasan simbolik akan siapa yang lebih unggul, negara mana yang perempuannya lebih cantik, atau siapakah yang jauh lebih seksi dibandingkan kontestan lainnya. Lantas apa bedanya ajang tersebut dengan Perang Dunia II? Yang membedakan adalah, amunisi mereka berupa peralatan tata rias dan gaun malam.
Namun kali ini, Miss Universe 2015 menghadirkan sesuatu yang baru dan seolah melawan konsep di atas. Dua dari 80 kontestan yang bersaing memperebutkan mahkota seharga USD 300.000 – Austria dan Spanyol – dengan bangga membawa konsep yang tidak biasa dalam peragaan busana nasional masing-masing.
Dalam tradisi miss universe, setiap kontestan diharuskan untuk membawakan busana nasional masing- masing yang nantinya akan dinilai dan mendapatkan penghargaan tersendiri dalam kategori Best National Costume. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Paula Shugart (dikutip dari New York Post (12/20)) sebagai ketua organisasi Miss Universe 2015 bahwa,“contestants are able to wear traditional clothing or create something unique that represents an iconic item in their native home”.
Carla Barber dari Spanyol membawakan konsep dualisme dalam tubuh manusia, yang merepresentasikan unsur feminin dan maskulin secara bersamaan yang terwujud dalam citra kostum nasionalnya. Tampak dalam kostumnya ia berdandan separuh maskulin dan separuh feminine lengkap dengan kumis dan janggut sebagai symbol maskulinitas. Dalam budaya Spanyol, terdapat unsur maskulinitas dalam pertunjukan matador serta unsur feminin dalam tarian flamenco yang rancak. Keunikan yang ditonjolkan oleh Spanyol kali ini cukup mencuri perhatian khalayak.
Satu lagi kontestan yang cukup menyita perhatian adalah Amina Dagi, Miss Austria. Dagi berperan sebagai Conchita Wurst, seorang Transgender Austria pemenang kontes menyanyi Eurovision, lengkap dengan kumis dan brewok buatan. Sebagai Wurst, Dagi juga mengenakan gaun putih cantik berkilau dengan sarung tangan putih serta balutan pita pelangi — symbol khas pergerakan LGBTQ. Sungguh sebuah langkah yang berani untuk ukuran Miss Universe, sebuah ajang yang selama ini dilabeli sebagai panggung ‘kecantikan semu’ yang cenderung hierarkis dan kapitalistik. Citra perempuan cantik hasil polesan industri yang selama ini dijunjung tinggi pun runtuh perlahan dengan tampilnya kedua konstestan ‘berkumis’ dan ‘berjanggut’ tersebut. Bagi Dagi, Wurst adalah ikon Austria kontemporer yang telah mengharumkan nama bangsa.
Reaksi netizen terhadap langkah Austria tentunya terbelah, beberapa sangat mendukung, namun terdapat banyak pula yang kontra, dikarenakan kostum tersebut dianggap tidak mencerminkan warisan budaya Austria, negara yang terkenal sebagai lokasi syuting film legendaris The Sounds of Music tersebut. Tanggapan Dagi terhadap pro kontra tersebut cukup diplomatis. Ia mengatakan “Miss Universe Organization conveys the message of confidential beauty and being comfortable in your own skin. I want to share this message by appearing with my national costume at #missuniverse designed by @aviadarikherman.”. Baginya, miss universe bukan sekedar ajang pamer kecantikan. Mewakili Austria dalam Miss Universe adalah juga mewakili suara kelompok minoritas dan menyampaikan pesan akan toleransi dan kesetaraan. Dalam akun facebooknya, Dagi juga mengunggah tagar bertajuk ‘keberanian’ dan ‘penerimaan’.
Spanyol dan Austria pada akhirnya tidak membawa pulang gelar ‘busana nasional terbaik’ ataupun gelar juara Miss Universe.
Dekonstruksi Kecantikan dan Soft Diplomacy Pergerakan LGBTQ
Langkah Spanyol dan Austria yang cukup berani dalam sesi busana nasional (terlebih ketika Miss Austria mengenakan pita pelangi sekaligus membawa bendera Uni Eropa pada saat yang bersamaan) memang harus diapresiasi. Bukan hanya menghadirkan alternatif kecantikan baru kepada khalayak dunia (program ini mengklaim sebanyak satu milyar pemirsa televisi) di tengah budaya pop yang semakin tidak humanis, namun peristiwa ini juga penting bagi pergerakan LGBTQ.
Lebih jauh, langkah Austria sebenarnya merupakan sebuah political statement yang mendukung kesetaraan dan penghormatan terhadap keberagaman SOGI yang dirangkul dalam nilai-nilai humanisme dewasa ini. Walaupun dikritik, pernyataan politik dalam balutan busana nasional seperti ini adalah sebuah langkah yang tergolong sebagai soft diplomacy.
Soft diplomacy adalah konsep diplomasi non tradisional yang berkembang paska abad ke-XXI. Definisi dari soft diplomasi yaitu kemampuan suatu Negara untuk mencapai keinginannya melalui agenda kerjasama, kegiatan positif seperti atraksi, kebudayaan, nilai, kebijakan luar negeri dan sejenisnya yang tidak terkait dengan unsur pemaksaan atau kekerasan. Pemaksaan disini biasanya berupa embargo, kecaman atau kekuatan militer (Trunkos, 2013). Soft diplomaci cenderung menggunakan sumberdaya unggul yang dimiliki suatu negara, seperti penduduk. Dalam konteks sejarah Miss Universe terutama pada era perang dingin, kontestan yang mewakili masing-masing negara merupakan duta soft power yang dapat digunakan sebagai etalase untuk menunjukkan kekuatan negara tersebut. Pada perhelatan 2015 ini, Spanyol dan Austria secara jelas menunjukkan kekuatan pergerakan LGBTQ di tingkat internasional. Pesan yang disampaikan pun jelas: kesetaraan.
Bicara mengenai dekonstruksi kecantikan, Sebenarnya bukan hanya Spanyol dan Austria, Miss Curacao Kanisha Sluis yang dalam keseharian juga berpenampilan cukup bersahaja, memilih untuk bercita-cita menjadi analis kimia guna menemukan obat penyakit berat seperti kanker atau HIV/AIDS. Baginya, hal tersebut juga merupakan kecantikan tersendiri. Kontestan asal Indonesia Anindya Putri juga menunjukkan bahwasanya menjadi muslimah sekaligus kontestan miss Universe merupakan hal yang dapat berjalan beriringan, terlepas dari kecaman sang ayah ketika tahu bahwa ia akan mengenakan pakaian renang. Terdapat pula sebuah momen mengharukan dimana satu kontestan asal Slovenia diberikan tribute special untuk berjalan di atas panggung setelah dinyatakan tidak dapat mengikuti kompetisi, karena mengalami kelumpuhan sebelah pada bagian wajah sebelah kanan. Miss Universe 2015 dapat dikatakan sebagai ajang yang cukup memberi tempat bagi mereka yang dianggap tidak cantik dalam standar industri.
Semangat dekonstruksi kecantikan, sebuah kecantikan yang berwarna, yang didasari oleh semangat penerimaan terhadap tubuh, penghargaan terhadap orang lain dan kesetaraan seperti yang diungkapkan Jane Maryam pada diskusi Mitos Kecantikan pada Transgender, haruslah bebas dari unsur kompetisi, hierarki dan kekerasan. Kecantikan yang tidak menjadikan fisik sebagai tolak ukur atraktif suatu individu. Miss Universe 2015 yang dijuarai Miss Filipina Pia Alonzo Wurstbach sebenarnya masih sangat jauh dari cita-cita dekonstruksi kecantikan. Ajang ‘ratu-ratuan’ lainnya pun masih menjadi panggung yang tidak humanis sebab didikte oleh kepentingan industri hiburan dan kapitalisme. Namun langkah diplomatis yang ditunjukkan oleh Spanyol dan Austria dalam Miss Universe 2015 – meskipun tidak beroleh gelar satupun – dapat menjadi titik awal lahirnya dekonstruksi kecantikan sekaligus penerimaan lebih luas terhadap hak-hak LGBTQ.
Referensi:
http://nypost.com/2015/12/20/miss-universe-costumes-are-getting-out-of-hand/
Trunkos, Judit. 2013. What Is Soft Power Capability and How Does It Impact Foreign Policy. Carolina: University of South Carolina.