Oleh: Wisesa Wirayuda
Suarakita.org – Suara aplikasi pencari cintaku akhirnya berbunyi lagi. Sudah dua hari tidak ada yang menyapaku disana. Aneh. Padahal aku sudah gunakan foto yang paling keren. Foto yang menampakkan diri selepas fitnes. Foto yang penuh dengan peluh perjuangan melawan stigma. Ya, aku hampir tak ada yang menyapa karena aku positif HIV.
Kubuka pesan yang baru masuk. Aku sudah siap dengan apapun yang akan dikatakan oleh lawan bicaraku. “Hi!” dia bilang. Tanda seru yang ia berikan seolah dia benar-benar sedang menyapaku. Aku balas dengan kata “Hi” lagi. Dan aku bersiap kalau dia akan menanyakan status HIV-ku. Seperti orang-orang biasa lakukan. Seperti, “Kamu positif?”, atau “Waaah, sorry bro, aku delete dari list temanku ya”. Tanpa adanya hujan dan angin, mereka tiba-tiba saja menghapusku dari handphone mereka.
“Sibuk ya? Balasnya agak lama hehehe” katanya. Seseorang dengan nama ID Rama_20.
“Ah, engga, lagi bengong aja kok.” Jawabku.
“Bengong mikirin apa? Mantan? Udah, mantan tuh untuk dibuang jauh-jauh ahahahaha”
“Engga kok, bukan mantan.” Aku kehabisan akal untuk membalas pesannya itu. Aku dalam situasi dimana aku sedang tak ingin bercanda.
“Aku tahu kok kamu sedang mikirin apa.”
“Masa? Apa emang?”
“Aku kan?” lagi-lagi dia bercanda dan aku tidak ingin membalasnya. Beberapa menit kemudian aku tidak membalas pesannya, sampai dia mengirimiku pesan lagi. “Maaf kalau aku banyak bercanda. Aku tahu kok, kamu sedang mikirin status HIV-mu khan? Makanya aku cari topik obrolan yang lain. Lagipula, kenapa kamu harus murung?”
“Entahlah, rasanya orang-orang mulai menjauhiku. Bahkan kamulah orang pertama setelah dua hari tak ada yang mengirimiku pesan.”
“Jadi? Kenapa kamu berfokus pada orang-orang yang pergi meninggalkanmu? Kenapa kamu tidak berfokus pada orang-orang sekitar yang masih peduli padamu?”
“Kamu ada benarnya juga.” Aku kembali menghentikan kegiatan mengetikku. Aku bahkan tidak tahu apakah obrolan ini harus dilanjutkan atau tidak.
Aku letakan telepon genggam di sebelah kepala. Tak kupedulikan bunyi pesan-pesan dari Rama_20 itu. Aku tahu dia mencoba menghiburku saat ini, hanya saja nampak tak adil bagiku. Ketika aku harus berjuang dengan semua ini, sendirian, dan dengan mudahnya seseorang yang baru saja kukenal mengatakan “Kenapa kamu tidak berfokus pada orang-orang sekitarmu yang masih peduli padamu?”
Sial, sekarang kalimat yang ia katakan itu terus menerus bergentayangan di kepalaku. Bersamaan dengan bunyi pesan yang masuk lagi. Pesan dari Rama_20. Mungkin sekarang dia pikir aku sedang depresi dan ingin bunuh diri. Jadi dia merasa bertanggung jawab telah mengatakan kalimat itu.
Mungkin sudah sekitar sepuluh pesan yang dia kirim, aku belum berniat untuk membukanya. Tiba-tiba saja aku teringat Bona. Ah, ternyata benar kata Rama_20, aku sedang memikirkan mantanku itu. Mantan yang langsung meninggalkan ketika ia mengetahui status HIV-ku. Kalimat “Aku takut,” yang keluar dari bibirnya menunjukkan bahwa sekarang dia mulai jijik padaku. Dari caranya memandangku, seolah aku ini bukanlah seseorang yang pernah mengisi hidupnya lima tahun ke belakang. Dan caranya berjalan meninggalkan, membuatku merasa sendirian. Bahkan ia tak menoleh sedikitpun.
Bunyi pesan masuk membuyarkan kenanganku dengan mantan kekasih. Masih dari Rama_20, dan akhirnya aku menyerah. Aku raih telepon genggam dan melihat disana ada belasan pesan yang belum terbaca.
“Hallo?”, “Apa aku menyinggungmu?”, “Aku mohon maaf jika kata-kataku menyinggungmu.”, “Hallo?” lagi. “Ayo kita bahas yang lain saja, aku tidak mau menghabiskan waktu untuk bermuram durja seperti ini, ayolah!”. “Bagaimana kalau aku traktir kau makan?”, “Sedang sibuk ya?”, “Baiklah, akan kutunggu sampai kau membalas pesanku ini”. Selang beberapa belas menit dari pesan sebelumnya, “Astaga, kau seperti anak kecil saja. Ayolah, bersemangat!”, “Baiklah, aku pergi saja kalau begitu. Tapi tawaran traktir makan masih berlaku kok. Jadi balas saja pesan ini kapanpun kau mau.”
Aku segera saja membalas pesannya, “Apa artinya 20 di ID-mu itu?”
“Hah! Akhirnya si pemurung ini membalas pesanku ini ahaahha.”
“Bisakah kau jawab saja pertanyaanku tanpa menertawaiku?”
“Astaga, selera humormu buruk sekali. 20 itu umurku.”
“Tak mungkin.” Kataku segera mengetiknya.
“Tentu mungkin. Milikmu apa maksudnya? Kevin91T?”
“Ah… itu tahun lahirku. Dan T itu maksudnya… ya kau tahu sendiri lah…”
“Tidak, aku tidah tahu.”
“Kau menyebalkan.”
“Ahahahaha.” Obrolan hening sesaat, dan dia kembali memulai obrolan, “Jadi bagaimana? Terima tawaranku untuk traktir makan?”
“Seorang anak berumur 20 mentraktirku makan? Tak usah, kau simpan saja uang jajanmu itu.”
“Sekarang kaulah yang menyebalkan. Baiklah kalau begitu, kita bayar sendiri-sendiri saja. Bagaimana?”
“Kau serius? Aku lagi malas keluar rumah.”
“Kalau begitu aku yang ke apartemenmu.”
“Mana kau tahu dimana apartemenku?” kataku dengan emoticon yang menggambarkan diri sedang bingung.
“Biografimu. Haduuuuuh……”
“Ah iya aku lupa. Ehehe”
“Nah, begitu dong, tertawa. Ahahaha”
“Itu kan hanya ketikan saja, mana kau tahu aku tertawa atau tidak.”
“Aku yakin kau memang sedang tertawa.”
Pesannya yang terakhir itu membuatku tersenyum lebar. Anak berumur 20 tahun ini ternyata lebih dewasa dari umurnya yang hanya berupa angka. Aku seharusnya bisa lebih dewasa daripadanya. Tidak, aku harus lebih bisa menghargai hidupku sendiri. Itulah yang Rama_20 coba ajarkan padaku. Untuk tidak menghabiskan waktu yang berharga dengan terus bermuram sedih di tempatku. Mengajarkan untuk fokus kepada orang-orang yang masih setia mendukungku. Mengajarkan untuk terus tertawa, bahkan menertawai kebodohanku sendiri.
Rama_20, aku yakin, jika ada banyak manusia unik sepertimu, dunia ini akan terasa bahagia. Dunia ini tidak terasa hitam dan gelap gulita lagi. Dan mungkin, Rama_20, aku juga bisa menemukan cinta yang sudah lama pergi dari dirimu.