Suarakita.org – Jum’at (11/12), dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia, Suara Kita mengadakan pemutaran film Bulu Mata dan diskusi publik. Dua rangkaian kegiatan ini bertempat di Pusat Kebudayaan Perancis (IFI), Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Pada diskusi kali ini, Suara Kita mengundang Dra. Hj. Rosmawardani, S.H., M.H., (Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh), Muhamman Nurkhoiron (Komisioner Komnas HAM), Khariroh Ali (Komisioner Komnas Perempuan) dan Transgender asal Bireuen Aceh, Citra Divo.
Citra Divo merupakan salah satu pemeran dalam film dokumenter Bulu Mata garapan Suara Kita dan Rumah Dokumenter. Bulu Mata adalah film yang mengisahkan kehidupan waria Aceh. Film ini membahas bagaimana kelompok waria Aceh mencari nafkah, bersosialiasasi dengan masyarakat sekitar, menjelaskan keunikan diri kepada keluarga, berjuang untuk mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) dan bagaimana kelompok tersebut bernegosiasi dengan penerapan syariat Islam di sana.
Oktober lalu, Pemerintah Provinsi Aceh mengesahkan Qanun Jinayah. Sebuah kode hukum pidana yang berbasis tradisi Islam masa lalu. Dalam Qanun ini terdapat pasal dilematis bagi komunitas LGBT. Pasal tersebut mengatur hukuman pidana terhadap perilaku liwath dan musahaqah.
Menurut Qanun Nomor 6 tahun 2014, liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak. Sedangkan musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak. Berdasarkan pengakuan Citra, meskipun definisi Qanun tersebut sangat teknis dalam menyoroti perilaku seksual, namun ia sering dijadikan dalil ataupun pembenaran untuk memidanakan kelompok LGBT secara semena-mena.
Dalam diskusi film ini, Citra berkisah banyak. Ia adalah pemilik salon Citra Divo, sebuah salon di Bireuen Aceh yang mempekerjakan komunitas waria. Citra mengungkapkan bahwa kelompok waria kerap diperlakukan secara diskriminatif oleh aparat. Perlakuan diskriminatif tersebut berupa razia semena-mena hingga mekanisme izin usaha yang dipersulit, “Untuk buka usaha (salon – red) aja mesti memenuhi syarat yang enggak masuk akal”, ungkap Citra. Lebih lanjut Citra menjelaskan, untuk membuka salon, kelompok waria harus mendapat izin dari dinas sosial, dinas kesehatan, kelurahan dan dari majelis ulama. (Radi)