Oleh: Nurdiyansah Dalidjo*
Suarakita.org – Adalah Yudi Firmansyah atau lebih dikenal dengan nama Yudi Brown, seorang musisi muda yang tak sekadar “menjadi musisi.” Yudi berani menjadi diri sendiri. Kehadirannya tidak hanya menegaskan kemampuan anak muda dalam bermusik melalui bentuk ekspresi, melainkan pula sebuah representasi.
***
Akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mengobrol secara personal dengan Yudi Brown setelah mengagumi aksi panggungnya dalam sebuah festival jazz di Jakarta beberapa waktu lalu. Di sebuah kafe, kami mengobrol banyak hal ditemani dengan tembakau dan sepasang kopi. Kali ini, ia muncul dengan pakaian kasual, rambut bercat pirang, serta kumis dan janggut kasar. Memperhatikan lebih detil, tentu saja selalu ada yang menarik. Sore itu, kuku tangannya bercat oranye terang.
“Gua suka make-up. Gua merasa nyaman dengan itu. Jadi ini bukan untuk sensasi!” tegasnya. Belakangan ia mengaku sedang menggemari bermain dengan pewarna kuku.
Buat saya, penegasan Yudi tentang dirinya menjadi jelas. Tidak ada hal yang ia sangkal dan tutupi. Tetapi berani menjadi diri sendiri bukanlah perkara mudah, apalagi genre musik yang ia pilih berada di luar arus utama industri musik populer di Indonesia.
Siapa Yudi Brown? Sebuah pertanyaan yang mungkin sulit juga saya ungkapkan di sini. Yudi menceritakan pada saya tentang kecintaannya terhadap musik sejak kecil. Lulus dari SMA, ia mulai bereksperimen dan gemar bermain beragam jenis musik dalam format organ tunggal di lingkungan sekitar rumah maupun berkreasi melalui band dengan teman sebaya. Keterampilannya bernyanyi dan bermusik adalah suatu pembelajaran sekaligus pengalaman yang betul-betul ia lakukan dengan penuh kesadaran dan kerja keras.
Bagi mereka yang gemar menyinggahi perhelatan berbagai festival jazz, mungkin sudah tak asing lagi dengan sosoknya. Dengan karakter yang melampaui suara penyanyi pria pada umumnya, penampilan yang unik di atas panggung, akan membuat siapa pun berpikir bahwa Yudi benar-benar musisi yang memberi kesan. Bukan hanya di pentas panggung hiburan tetapi juga pada pribadinya. Kini ia telah melahirkan dua album. Mini album terakhirnya yang berjudul Yudi Brown (2015) merupakan album solo pertamanya sekaligus kumpulan kisah pribadi yang ia tulis, gubah, dan produseri secara independen.
Heteronormativitas dalam Musik
Di atas panggung, Yudi seringkali muncul dengan make-up, kadang lengkap dengan lipstik. Ia mengajak kita bukan hanya untuk mendengar musik –melainkan pula “melihat” lebih dalam pada dunia musik– sebuah dunia yang sepatutnya menjadi ruang bermain untuk variasi bentuk ekspresi.
Saya berpikir pasti butuh kenekatan yang luar biasa untuk berani tampil seperti apa yang diinginkan oleh Yudi. Mungkin saya salah. Karena ia menyukai hal-hal tersebut dengan alasan yang sangat sederhana, yakni menjadi diri sendiri. “Awalnya gua suka dan itu buat gua senang, ya gua akan lakukan,” ungkapnya. Tetapi perkara tersebut tidak mudah sebab kenyataannya musik sebagai suatu komoditi atau bagian dari industri, bukanlah dunia yang selalu bebas nilai.
“Kata siapa musik tidak punya jenis kelamin?! Di musik pun ada (pengkotakan) gender kalau cowok begini dan kalau cewek begitu.”
Ada banyak tantangan yang dihadapi Yudi ketika tampil apa adanya menjadi sosok yang ia inginkan. Ia mengaku kerap mendapatkan sindiran, baik dari klien yang memintanya bernyanyi maupun dari teman sesama musisi.
“Lu kalau di atas panggung ngga usah terlalu ‘keliatan’ karena kodrat lu kan cowok!” kata Yudi menirukan ucapan mereka yang tak selalu enak untuk diungkap. “Jangan pakai dia, deh, dia kurang laki!” “Hey, Yudi, you are a man, so sing like a man!” Ada juga pelatih vokal terkenal yang bilang: “Cara menyanyi kamu feminin. Kalau cowok pelepasannya itu ‘lurus’ dan jangan banyak ‘bunga’ (improvisasi)!”
Yudi mengaku kalau ia pun pernah berada pada situasi yang kurang job sebagai musisi hanya karena menunjukkan suatu performa yang berbeda atau bisa dibilang “tidak wajar.” Tetapi di sisi lain, ada juga pandangan bias ketika klien memintanya manggung untuk menyemarakkan suasana dengan bebancian.
Hal semacam itu pula yang mendorongnya untuk memilih bermusik pada jalur independen. “Kalau major label ya cowok harus cowok karena (idealnya) yang nyukain cewek!”
Musik dan Kebebasan Berekspresi
Tetapi musik adalah pilihan. Begitu yang ia katakan pada saya tentang bagaimana musik sebenarnya tidak memiliki jenis kelamin atau gender. Sebagai musisi, ia mungkin dituntut untuk memiliki ciri khas dalam penampilan. Namun Yudi tak ingin hanya dikenal sebagai musisi gay atau queer musician yang mencari sensasi.
“Penampilan gua di atas panggung karena gua merasa nyaman!” Sedangkan alasan lain yang menurutnya penting untuk lebih terbuka tentang orientasi seksual maupun identitas dan ekspresi gender, adalah karena ia tidak menginginkan rekan-rekannya berbicara tentang dirinya di “belakang.” Yudi akan sangat jujur dan responsif bagi siapa pun yang bertanya tentang hal tersebut secara langsung. Ia membawa topik seksualitas yang terkadang masih dianggap tabu dan menjadi ranah privat ke atas panggung musik (ranah publik). Pada titik inilah Yudi tak sekadar bermain-main terhadap kebebasan berekspresi sebagai individu, melainkan juga representasi bagi kelompok LGBT dalam musik. Mungkin tidak sedikit membuat daftar nama musisi gay di Indonesia, tetapi sangat jarang – untuk menyebutnya hampir tidak ada – musisi gay yang berani menampilkan keunikan diri apa adanya di atas pentas atau di depan penonton yang menegaskan keragaman seksualitas.
Respon negatif memang seringkali dilontarkan padanya, tetapi bukan berarti hal itu berlaku selamanya. Musik sekaligus memberikannya pengalaman dan pembelajaran terkait dengan proses coming in dan coming out. Melalui musik bergenre jazz, Yudi menemukan dirinya dan kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Jazz membuka peluang bagi karakternya dalam bernyanyi yang lebih bebas dan playful. Di kalangan para musisi pun Yudi menemukan banyak kawan yang seperti dirinya dan supportif terhadapnya. Kini dengan santai ia bisa bilang bahwa ia lebih nyaman dan berani: “Hi, I am gay and OK!”
Baru-baru ini, Yudi juga tampil di acara Ramadan Jazz Festival. Ia mengaku sempat khawatir karena ada tendensi agama pada pentas musik yang diselenggarakan di pelataran Masjid Cut Meutia ketika bulan Ramadan. Tetapi ia memilih tetap tampil sebagai dirinya sendiri dan mendapatkan sambutan yang hangat dari penikmat musik yang datang. Hal yang sama juga terjadi ketika ia diundang pada Kenduri Cinta bersama Cak Nun.
“Cak Nun bilang manusia ada sisi feminin dan maskulin, jangan diributkan karena kita sebagai ciptaan Tuhan. Maka gua bilang (pada pentas Kenduri Cinta) kalau saya hadir sebagai manusia. Bukan sebagai banci atau cowok yang kecewek-cewekan.”
Bagi Yudi, bermusik dengan menjadi diri sendiri adalah memang penuh perjuangan. Berbagai hal tidak selalu mudah. Tetapi ia mengaku bahwa musiklah yang membuatnya senang dan bisa bebas berekspresi. Bagi saya, tentu saja Yudi lebih dari sekadar menjadi diri sendiri sebagai musisi yang tampil apa adanya, melainkan pula memberikan keterwakilan sosok LGBT untuk unjuk diri dalam kualitas bermusik. Karena dari hal sederhanadalam berekspresi, ia telah menebar inspirasi bagi siapa pun untuk berani tampil menjadi diri sendiri.
Ketika hidup dan pilihan seperti lagu, Yudi tak pernah takut untuk menuliskan lagu tentang dirinya. Menyanyikan lagu seperti yang ia inginkan sebagai suatu pilihan. Dan menunjukkan bahwa ia bisa melakukannya.
You can do
Anything you want to
Since this is your song
You may sing it
Sweet and nice
You’re the one who walks on
Your own path
You’re free to decide
What’s best for your life
Just write down your song
(Petikan lagu berjudul Write Down Your Song oleh Yudi Brown dalam album Yudi Brown)
*Nurdiyansah Dalidjo adalah peneliti dan penulis. Buku terakhirnya berjudul Porn(O) Tour merupakan kumpulan travel writing yang mengangkat isu #TourismEthics. Nurdiyansah berkicau melalui Twitter di @nurdiyansah.