Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – Pemilukada serentak pertama kali dalam sejarah Indonesia digelar. 9 Desember 2015 digelar Pemilu Kepala Daerah serentak di 263 provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sebagai sebuah terobosan baru dari sistem pemilu yang ingin menjawab persoalan efisiensi dana dan penyelenggaraan pemilu, ternyata masih banyak menyisakan persoalan.
Undang-Undang Pemilu yang mengatur pilkada serentak masih digodok. Tahun 2016 nanti wacananya baru akan diganti. Sri Budi Eko Wardani dari Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Universitas Indonesia menyatakan, “Sejak Reformasi kita sudah mengalami 3 (tiga) kali pemilu, dan pengalaman pemilu kita selalu by accident. Tiba-tiba keputusan MK berubah, UU Pemilunya berubah, sistemnya juga berubah-ubah. Semua berjalan dengan tiba-tiba dan seperti tidak terencana dengan baik.”
Bagaimana masyarakat menyikapi pilkada serentak ? Tentunya pertanyaan ini menarik –terkait pernyataan Mbak Dani, dalam sebuah acara peluncuran buku dan talk show yang digelar Kalyanamitra di Hotel Harris Tebet—yang menyatakan bahwa salah satu masalah elektoral kita adalah meningkatnya apatisme masyarakat terhadap politik.
Menyoal apatisme masyarakat terhadap politik yang makin meningkat, Mbak Dani menuturkan, sebenarnya kalau kita melihat dari hasil survey, masyarakat pemilih kita sudah “rasional”, antusiasme mereka tinggi tetapi rata-rata realita partisipasinya selalu 75 % ke bawah. Lebih lanjut dia menuturkan, bahwa potensi partisipasi mereka 80 % tapi realitasnya partisipasi masyarakat hanya sekitar 70 %.
Untuk memberikan kesempatan kepada warga negara menyalurkan hak konstitusionalnya, tanggal 9 Desember 2015 dinyatakan sebagai hari libur bersama. Semua lembaga/instansi baik pemerintah maupun swasta meliburkan pegawai dan karyawannya. Hal ini dimaksudkan agar setiap warga negara bisa berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan cara mendatangi TPS masing-masing untuk memberikan suaranya. Faktanya, tak sedikit orang yang melewatkan hari pemilihan umum begitu saja.
Beberapa orang di Jakarta yang dihubungi oleh Suara Kita menyatakan tidak pulang kampung untuk mencoblos, karena merasa tidak berkepentingan memberikan suaranya. Salah satu orang dengan logat Jawanya menyatakan: “Iya libur pilkada, tapi kulo mboten arep nyoblos,” selorohnya. (Iya libur pilkada, tapi saya tidak akan mencoblos – red).
Di lain sisi, apatisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu juga dipicu oleh peran negara dan masyarakat sipil lainnya yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas seperti kaum LGBT. Salah seorang teman LGBT Bandung ketika ditanya apakah ikut pemilu menjawab, “Engga Mbak, aku gak ada KTP. Aku kan gak terdaftar di Kartu Keluarga manapun. Jadi aku kesulitan mau buat KTP.”
Anto, seorang gay yang mempunyai kewargaan di Medan memilih untuk tidak memilih. Walaupun memiliki hak pilih dalam pilkada serentak ini, tetapi dia mempunyai sikap untuk abstain karena menganggap selama ini pilkada hanya bersifat seremonial dan rutinitas saja. “Sebagai LGBT saya tidak merasa hak-hak kaum LGBT diakomodir oleh calon-calon yang tengah bertanding dalam pilkada. Mereka masih anti dengan LGBT, ” lanjut Anto.
Fenomena di Bandung lain lagi. Berbeda dengan penuturan Anto yang cukup politis, beberapa teman teman LGBT Bandung yang ikut pemilu mengaku tidak tahu apa visi misi kandidatnya, “Ikut nyoblos cari kandidat yang ganteng aja.”