Search
Close this search box.

Mitos Kecantikan Transgender

Suarakita.org – Jumat , 20 November 2015 diperingati sebagai hari transgender dunia. Tepat pada tanggal tersebut, RAKit (Rumah Aman Kita) bekerjasama dengan Suara Kita mengadakan soft opening pemutaran film “Bulu Mata”, sebuah film dolumenter yang diproduksi secara mandiri oleh Suara Kita. Selain pemutaran film “Bulu Mata”, juga diadakan diskusi dengan tema “Mitos Kecantikan Pada Transgender” yang diadakan setelah pemutaran film. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi kali ini adalah Jannah Maryam Ramdhani, S. Psi dan ia juga seorang penulis novel “Menikah” yang terbit pada tahun 2015. Acara digelar di Sekretariat Suara Kita dengan dihadiri sekitar dua puluh orang peserta, beberapa diantaranya teman-teman mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Nasional dan Sahabat Suara Kita yang kerap hadir ketika diskusi diadakan.

Tepat pukul 15.30 WIB film “Bulu Mata” pun mulai diputar. Sekilas tentang film “Bulu Mata”, film dokumenter karya Suara Kita ini berkisah tentang perjuangan teman- teman waria untuk tetap bertahan hidup di Aceh. Aceh sebuah provinsi bagian dari Republik Indonesia dengan segala problematikanya seperti PERDA Syariah serta bagaimana mereka saling menguatkan satu sama lain untuk tetap bertahan hidup disana, membentuk komunitas dan beragam alasan dari mereka untuk tetap berada di Aceh. Film ini berdurasi sekitar satu jam lebih yang hampir sebagain besar mengambil setting di salon.

Film ini sengaja diputar sebagai pembuka sebelum Jane memaparkan presentasinya yang bertemakan mitos kecantikan pada transgender. Jane memulai pemaparan materinya dengan menjelaskan bagaimana budaya mengenai kecantikan di beberapa daerah yang sangat beraneka ragam. Setiap wilayah di muka bumi ini memilki standard kecantikannya masing- masing. Di China misalnya, perempuan dengan bentuk kaki mungil yang hampir lancip lah yang dianggap sebegai perempuan paling cantik. Sementara itu di Indonesia kita dapat melihat dalam kebudayaan masyarakat Dayak, standard perempuan cantik adalah perempuan dengan bentuk telinga panjang yang berisi anting paling banyak. Semakin banyak anting yang ia miliki dan memilki bentuk telinga yang paling menjuntai ke bawahlah yang dinilai sebagai perempuan paling cantik, tegas Jane.

Selain itu Jane juga menjelaskan bahwasanya mitos kecantikan pada transgender sangatlah erat hubungannya dengan pemahaman teman- teman transgender terkait dengan ketubuhan. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya transgender selalu berusaha tampil semaksimal mungkin untuk terlihat cantik layaknya perempuan. Mereka akan melakukan apa saja, mulai dari suntik silicon, selalu memasang bulu mata, pewarna bibir, terang Jane. Naomi Wolf seorang feminist Amerika melalui bukunya yang berjudul The Beauty Myth memberikan saran bagaimana mendobrak dan mendekonstruksi mitos-mitos kecantikan tersebut melalai cara sederhana. “Simple sih menurut saya namun yang agak susah adalah prakteknya”, tambah Jane. Dengan meningkatkan self awarness , yaitu tidak perlu ada kompetisi-kompetisi ( non-competitive) kecantikan untuk mencari siapa yang paling cantik seperti yang marak diadakan, karena secara tidak langsung hal ini mengajarkan kekerasan kepada. Kekerasan dalam hal ini adalah kekerasan ( non-violent) secara psikis serta bagaimana kapitalis berkontribusi besar dalam membentuk image mengenai kecantikan. Serta menghilangkan bentuk hirarki (non- hierarchical) dalam dunia kecantikan.

Pertanyaan pertama datang dari Ramzi seorang mahasiswa Universitas Nasional yang mananyakan bagaimana dengan teman- teman transgender yang bekerja sebagai pekerja seks yang memang dituntut harus selalu tampil cantik. Robert kemudian melanjutkan pertanyaan Ramzi mengenai kapan seorang transgender, laki-laki , atau perempuan merasa dirinya cantik sebagai ekspresi sadarnya atau apakah dia masuk ke dalam kerangkeng atau konstruksi sosial yang ada. Robert juga mempertanyakan mengenai preferensi –preferensi yang disebutkan di sosial media Gay seperti Gridr apakah memang merupakan murni preferensi atau sebuah konstruksi . Jane menjawab bahwasanya hal tersebut murni atas dasar preferensi mereka pribadi ketika misalnya seorang trangender yang memilki salon justru malah tidak menerima pegawai seorang waria. Menjawab pertanyaan Robert menurut Jane seseorang memperlakukan hal itu untuk menutupi jati dirinya yang sebenarnya karena masih ada dilema di dalam dirinya . Jane juga memberikan contoh nyata misalnya ketika teman-teman waria yang sudah melakukan operasi penegasan kelamin, mereka tidak mau lagi bergaul dengan transgender lain yang memang belum melakukan operasi penegasan kelamin. Menangapi pertanyaan Ramzi menurut Jane hal ini dilakukan karena adanya standard kecantikan yang memang sudah dibentuk oleh industri kecantikan yang membuat para perempuan berkompetisi memenuhi standard tersebut untuk tampil paling cantik.

Pertanyaan lainnya datang dari Firman yang menanyakan apakah selera atau preferensi mayoritaslah yang kemudian menjadikan transgender ini masuk ke dalam kungkungan kecantikan tersebut. Menurut Jane, hal ini ada pengaruhnya dari pornografi dan setiap orang dalam dirinya memilki fantasi seks terliar yang ditambah dengan pengaruh media massa. Tegar mahasiswa Universitas Indonesia berpendapat bahwasanya penindasan terhadap mitos kecantikan terjadi ketika orang lain masuk dan menilai diri kita bahwa kita tidak cantik dan kita mengamininya. Sementara itu Hartoyo (Suara Kita) berpendapat bahwa ruang-ruang ( perlombaan kecantikan) ini sebagai ruang wacana atau ruang pertarungan, namun dalam hal ini sangat disayangkan sekali ketika para pemilik modal masuk ke dalam ruang- ruang kecantikan tersebut dan memanfaatkannya. Hal inilah yang ditolak oleh para feminist karena disitulah penindasan terjadi. Eddy