Search
Close this search box.

[Opini] Mempertanyakan Komitmen Aceh dan Negara

Oleh: Wida Puspitosari*

Suarakita.org – Penahanan dua perempuan terduga lesbian di Aceh berinisial AS (18) dan N (19) beberapa tempo lalu menerbitkan kekecewaan berbagai pihak. Pasalnya, keduanya ditahan (secara bersyarat) dengan alasan melakukan tindakan seronok di ruang publik – yakni, berpelukan. Human Right Watch dalam situsnya melansir bahwa penahanan tersebut merupakan outrageous abuse, mengangkangi Hak Asasi Manusia dan ancaman bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejalan dengan itu, penanahan terhadap ‘yang terduga’ bukan sekali ini saja dilakukan oleh Polisi Syariah di Aceh. Beberapa waktu lalu, penahanan dua lekaki yang diduga gay juga turut menjadi sorotan internasional. Mau tak mau, peristiwa tersebut justru menampar wajah Indonesia di mata dunia, dimana ribuan kritik kemudian tertuju pada bangsa yang sejak 1998 lalu mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi ini. Betapa tak masuk akal, jika yang masih ‘terduga’ saja ditahan secara bersyarat dan tak punya hak mengajukan azas praduga tak bersalah — yang mana, hal ini dapat dikatakan pula sebagai pengingkaran terhadap hak-hak publik dalam mendapatkan perlakuan hukum yang berkeadilan.

Namun yang lebih memilukan adalah, peraturan daerah berbasis hukum syariah di Aceh ternyata tidak hanya berhenti pada pelarangan bertindak seronok di ruang publik dan menjalin hubungan sesama jenis. Peraturan ini ternyata juga berlaku pada 90.000 masyarakat Aceh non-Muslim (yang pada umumnya beragama Kristen dan Buddha) – juga pengunjung domestik dan asing yang tengah bertandang. Padahal, The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005, melindungi hak-hak privasi dan keluarga (artikel 17), kebebasan beragama (artikel 18) dan ekspresi (artikel 19). Perjanjian tersebut juga melarang diskriminasi yang berbasis pada jenis kelamin, agama dan lain-lain, sebagaimana orientasi seksual (artikel 2), bertindak kasar serta melakukan hukuman yang tidak manusiawi (artikel 7). Gerakan Aceh Merdeka, yang perjanjian perdamaiannya dilakukan di Helsinki pada tahun 2005 sebenarnya terikat pula oleh ICCPR (artikel 50) – dan akan mendukung penuh drafting ICCPR agar masuk sebagai peraturan daerah. Namun ironinya, pada tahun 2010, Kepala Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) justru menyampaikan pendapat (kepada media)[1] bahwa homoseksual dilarang di Aceh walaupun tak ada hukum daerah yang mengaturnya sama sekali.

 

Kultur Ketakutan di Aceh: Retorika Kalangan Ofisial

Perda Syariah yang digulirkan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh seolah menyihir segenap warganya untuk hidup di dalam rezim ketakutan. Dan ketakutan itu – sialnya dibiayai oleh pajak-pajak yang ditarik dari masyarakatnya sendiri. Hal ini merupakan kondisi ambivalensi dimana rasa takut yang telah merasuk dalam kognisi masing-masing individu menghalangi mereka untuk berefleksi kritis – apalagi, ketakutan itu dikibarkan di bawah dalil agama yang dilegitimasi oleh kekuatan aparatus. ICCRP dan perjanjian perdamaian di Helsinki tahun 2005 nampaknya bukan menjadi pertimbangan besar bagi ofisial daerah istimewa ini untuk mengobati kekecewaannya.

Diduga lesbian di Aceh sama posisinya sebagaimana terduga teroris. Mereka yang ‘diduga’ akan ditandai sebagai penebar teror yang patut mendapatkan hukuman cambuk 100 kali (jika memang terbukti) – dan sadisnya, hukuman tersebut dipertontonkan di khalayak umum, termasuk di dalamnya anak-anak.

Yang menjadi masalah bukanlah perihal terbukti atau tidak terbukti. Perda Syariah yang dijalin-kelindankan dengan kekuatan aparat betul-betul memberikan konsekuensi horor sampai pada iklim sosial sekalipun. Hal ini secara gamblang menegaskan pada kita, bahwa ideologi apa saja yang telah berkawin-campur dengan ‘aparatisme’ akan menciptakan rezim kekerasan dan ketakutan yang akut. Di mana resiko jangka panjang yang akan dicetak oleh Aceh bukan lagi persoalan remeh-temeh tetapi terbentuknya generasi berkultur ketakutan dan pembenci.

Konsekuensi lanjut yang patut direfleksikan ialah bahwa politik ketakutan akan membentuk ruang-ruang kuasa yang ekslusif, mengabaikan hak-hak publik dan menelanjangi keadilan. Nobert Elias dalam The Civilizing Process Vol. 2: State Formation and Civilization menyebutkan bahwa ketakutan yang teratur diproduksi oleh struktur sosial atau negara akan merambah pada fungsi psikologis manusia. Alih-alih menciptakan karakter yang beradab, atmosfer kengerian justru akan terus menginternalisasi kesadaran individu untuk membentuk kultur ketakutan itu sendiri – apalagi jika dilakukan secara kolektif. Dan kondisi semacam ini kini telah terejawantah oleh rupa ofisial Aceh beberapa tahun terakhir – membangun rezim ketakutan melalui perkawinan agama dan ‘aparatisme’.

 

Komitmen Aceh dan Negara Terhadap ICCPR dan Perjanjian Helsinki Tahun 2005

Jika ada frasa yang menyebutkan: yang baik menurut publik bukan berarti baik untuk masyarakat Aceh. Demikianlah, tulisan ini akan mencoba untuk menegasi bahwa Perda Syariah yang dilegalkan di Aceh belum tentu baik untuk semua lapisan masyarakat Aceh. Sebab, tidak semua masyarakat Aceh adalah Muslim, mereka beragam – mereka terbagi dalam beberapa diferensiasi.

ICCPR yang telah disepakati – yang semestinya diterjemahkan melalui peraturan daerah masihlah jauh panggang dari api. Padahal, Aceh terikat penuh oleh perjanjian tersebut. Jikalau Asas dan Ruang Lingkup Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat pasal 2 menyinggung azas legalitas, keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia – maka, inkonsistensi yang patut dipertanyakan adalah: kepada siapa azas ini berlaku? akankah pasal 2 tersebut hanya berhenti sebagai teks semata?

Di sisi lain, trauma Aceh terhadap peran negara masa pemerintahan Orde Baru mau tak mau mendorong Daerah Istimewa ini betul-betul terlepas (dalam konteks kedaulatan) dari azas-azas umum negara demokrasi, dan memilih menentukan peraturannya sendiri dengan melegalkan perda syariah.

Kendati demikian, perjanjian perdamaian di Helsinki yang ditandatangani pada tahun 2005 sudah sepatutnya menjadi nota kesepahaman untuk bersama-sama menyadari kekurangan di masa lalu demi iklim sosial dan politik yang berkeadilan. Negara harus menjadi inisiator sekaligus fasilitator bagi masyarakat Aceh untuk mau mendayung perahu bersama, mengarungi samudera masa depan untuk menuju cita-cita yang luhur bernama keadilan sosial. Peran masyarakat sipil, organisasi mahasiswa dan kelompok karismatik tidak boleh diabaikan sama sekali. Sebab, merekalah yang akan menjaga pilar konstitusional di Aceh. ICCPR dan perjanjian perdamaian Helsinki sepatutnya telah menjadi cermin bagi kita; bahwa 4000-an jiwa yang tewas akibat konflik selama 30 tahun itu adalah bagian dari eksistensi Indonesia. Oleh sebab itu, merajut kembali mimpi untuk bersatu (dalam bingkai bernegara) bukanlah hal yang tak mungkin, selama kita masih berada di dalam satu jiwa: Merah Putih.

*Penulis adalah kontributor dan peneliti di Suarakita.org

[1] Sumber: https://www.hrw.org/news/2015/10/02/indonesia-suspected-lesbians-detained