Suarakita.org – Sebagai konsep, Kota HAM (Human Right Cities) bukan merupakan hal yang baru. Akan tetapi, pelembagaan atas konsep yang menitikberatkan pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia oleh pemerintah daerah mulai menjadi gerakan global selama satu dekade terakhir. Gerakan global ini mendapatkan pengakuan dan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengeluarkan Resolusi Dewan HAM PBB no. 24 tahun 2013, mengenai peran pemerintah daerah dalam penghormatan dan perlindungan HAM.
Dalam konteks Indonesia, INFID bersama dengan Komnas HAM dan Elsam, melakukan advokasi pelembagaan konsep Human Right Cities melalui rintisan kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan kewajiban HAM oleh pemerintah kabupaten atau kota sebagai unit pemerintahan yang paling dekat dengan warga, termasuk kelompok LGBT.
“UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan beberapa peraturan lain telah menjadi dasar hukum yang kuat bagi perwujudan konsep Human Right Cities yang kami terjemahkan sebagai kota/kabupaten Ramah HAM,” ungkap Mugiyanto selaku Senior Program Officer INFID untuk HAM dan Demokrasi.
Pada tataran perencanaan, menurut INFID, memastikan komitmen dari pemangku kepentingan, komite pengarah dan pelaku adaptif birokrasi sungguh menjadi bagian yang sangat penting. Di samping itu, pelibatan institusi lain yang bergerak di bidang hak asasi manusia, khususnya isu kesejahteraan sosial, perempuan dan anak, penyandang disabilitas beserta kelompok LGBT juga menjadi bagian yang integral dalam membangun kota/kabupaten ramah HAM.
Senada dengan hal diatas, jika dikaitkan dengan pentingnya Hak Asasi Kelompok LGBT dalam proses pembangunan kota/kabupaten ramah HAM, peninjauan ulang terhadap peraturan, kebijakan, program maupun prosedur yang berpotensi membatasi pelaksanaan HAM kelompok rentan ini wajib dilaksanakan, termasuk bagian ini adalah Rencana Tata Kota. (Wida Puspitosari)