Oleh: Sugianto*
Suarakita.org — Namanya Rafi, usianya 35 tahun, pria pemilik usaha warung makan kecil-kecilan dengan pasangan gay-nya di sebuah kota di Sumatera Utara. Rafi dan pasangannya cukup ramah terhadap pengunjung yang mengunjungi warung miliknya . Warung yang dikelolanya cukup ramai, meski warung yang dikelolanya hanya sebuah warung kecil.
Menjadi gay ia rasakan sejak usia belasan ketika dirinya duduk di bangku sekolah dasar (SD), kala itu Rafi kecil sudah merasa jika dirinya adalah penyuka sesama jenis, hingga pernah melakukan hubungan sejenis dengan pria dewasa dengan usianya yang masih belia. Meski demikian, Rafi tidak pernah merasa dilecehkan oleh laki-laki dewasa yang pernah tidur bersamanya.
Di usia yang masih kanak-kanak, Rafi gemar bermain permainan anak perempuan (boneka, karet tali, bola bekhel dan permainan perempuan lainnya) dan sesekali juga masih sempat memainkan permainan anak laki-laki. Bullying sempat diperoleh dari teman-teman sebayanya ketika SD, namun itu tidak berlangsung lama karena dirinya tidak menghiraukan bully yang ditujukan buatnya kala itu.
Menginjak sekolah menengah pertama (SMP) perasaan suka terhadap sesama jenis dirasakan semakin kuat, dia memberanikan diri menjalin hubungan dengan laki-laki sebayanya – dimana hubungan itu menambah semangatnya dalam menuntut ilmu. Setelah masuk usia Sekolah Menengah Atas (SMA), Rafi mencoba menguji jati dirinya dengan menjadikan perempuan sebayanya menjadi pacar hetero-nya, namun di saat yang sama hubungan dengan sesama laki-laki masih tetap terjalin. Lama-kelamaan, jalinannya dengan perempuan tidak ditemukan kenyamanan. Rafi merasa tidak menjadi dirinya sendiri, kenyamanan justru ia rasakan ketika dirinya menjalin hubungan dengan sesama jenis.
Upaya untuk membangun hubungan dengan perempuan masih dilakukannya selepas SMA, tetapi upaya untuk merasakan kasih sayang dalam membangun hubungan itu tidak ia temukan. Ditahun 2012 di usianya yang ke 32 Tahun, Rafi tak lelah mencoba membangun hubungan dengan seorang perempuan. Bedanya, kali ini ia terbuka terhadap perempuan yang didekati – bahwa dirinya adalah gay dan ingin mencoba untuk mencintai perempuan. Kesepakatan antar keduanya terbangun dan akhirnya mereka sepakat untuk berpacaran.
Lagi-lagi hubungan dengan perempuan tersebut tidak berlangsung lama, dua bulan menjalanin hubungan berakhir kandas, karena pacar hetero-nya tidak berada disisi ketika masalah menerpa hidupnya. Perempuan itu hanya ada untuk Rafi di saat ia senang, namun dikala peroalan yang cukup menguras energi dan pikiran, perempuan itu tidak berada disampingnya. Akhirnya, Rafi merasa patah arang untuk mencoba membangun hubungan dengan perempuan.
“Saya berupaya untuk mencintai perempuan, tetapi ternyata hati ini tidak bisa dibohongi, saya tidak memiliki rasa dengan perempuan seperti rasa sayang saya terhadap sejenis” tutur Rafi.
Rafi termasuk beruntung, karena anak ke lima dari enam bersaudara ini tidak pernah mendapatkan tekanan dari keluarganya. Bahkan keluarganya tahu jika Rafi penyuka sesama jenis. Pesan ayahnya ketika masih hidup yang penting Rafi bisa menjaga kehormatan keluarga, apapun pilihan hidup yang dipilihnya.
Keluarga Rafi adalah keluarga yang demokratis dalam mendidik anak-anaknya, sehingga orang tua, kakak dan adik Rafi cukup menghargai apa yang menjadi pilihan hidupnya. Namun beban ibu Rafi (sebut saja namanya Saidah) muncul ketika norma di dalam lingakaran sosialnya belum bisa menerima keberadaan LGBT. Sehingga pihak keluarga tidak berani terbuka kepada masyarakat bahwa salah satu anggota keluarganya adalah penyuka sesama jenis.
Ibu Saidah kepada Suara Kita (6/10) mengungkapkan bahwa itu adalah kodrat yang tidak bisa ditolak, “Ya mau gimana lagi. Dipaksa bagaimanapun itulah keadaannya. Jika masyarakat mengetahui kondisi anak saya, biarlah waktu yang menjawabnya. Yang penting anak saya apapun pilihannya tidak membuat sesuatu yang merugikan orang lain” tegasnya.
Pernah suatu kali saat hari raya tahun 2010 ketika ayahnya (Sebut saja Budiman) masih hidup, Rafi ditanya didepan seluruh anggota keluarga oleh ayahnya sembari bercanda. “Semua anak-anak bapak sudah menikah, kapan Rafi menikah?”
Lalu dijawab oleh Rafi dengan gaya yang sama, “ Saya memang menikah, tapi tidak dengan perempuan, tetapi dengan laki-laki dan nikahnya nanti di Belanda.” Kata Rafi kala itu. Jawaban Rafi ini dibalas tawa oleh seluruh anggota keluarga, termasuk ayah dan ibu Rafi.
Rafi adalah sosok orang yang menjalani hidup tanpa beban, menurutnya hidup harus dijalani tanpa perlu dibuat-buat. Menjadi gay juga bukanlah sesusatu yang membuat dirinya harus merasa rendah diri, meski masyarakat banyak belum bisa menerima keberadaan LGBT. Sebagai minoritas, dirinya tidak mau direndahkan oleh siapapun, maka Rafi merasa perlu memiliki semangat untuk menghadapi cemoohan orang kepadanya.
Disaat dirinya bekerja di dunia hiburan, dia terbuka kepada semua koleganya jika dirinya seorang gay, dan sempat juga hal ini menjadi gunjingan yang tidak jarang dilecehkan oleh teman-temannya. Orang-orang yang merendahkan diri Rafi dihadapinya dan diajaknya bicara secara terbuka.
“Walau saya gay, bukan berarti saya mengumbar kehidupan sex kepada semua laki-laki. Saya juga memiliki martabat dan harga diri yang harus saya pegang. Kalau kalian masih merendahkan keberadaan saya, saya siap menghadapi kalian apapun resikonya.” Ungkap Rafi saat menceritakan bagaimana menghadapi orang-orang yang merendahkan dirinya.
Pada akhirnya kolega yang merendahkannya tidak lagi berani menggunjing Rafi, bahkan beberapa kini menjadi sahabat Rafi yang cukup akrab, walau Rafi tidak bekerja lagi di tempat hiburan itu lagi.
*Aktivis Gerakan Rakyat di Sumatera Utara