Suarakita.org – Akhir-akhir ini kita sering mendengar kabar mengenai isu kebiri yang digadang sebagai hukuman legal bagi pelaku kekerasan seksual. Beberapa kalangan menilai hukuman ini patut diterapkan dan tidak sedikit pula dari mereka yang menentang.
Sebagai tanggapan atas isu kebiri ini, Kamis (5/10) Departemen Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan seminar bertajuk “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual: Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” yang dihadiri oleh ratusan peserta dengan pembicara yang terdiri dari Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan), Susanto (KPAI), Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi UI), Pribudiarta Sitepu (KPP-PA) dan Edi Suharto (Kementerian Sosial).
Komnas perempuan mencatat bahwa dalam kurun lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual meningkat. Tahun 2010 tercatat 2645 kasus, tahun 2011 tercatat 4335 kasus, tahun 2012 tercatat 3937 kasus, 2013 tercatat 5629 kasus dan tahun 2004 tercatat 4458 kasus. Ini hanyalah data dari kasus yang dilaporkan, sementara kasus yang tidak dilaporkan akan selalu lebih besar.
Penanganan terhadap korban kejahatan seksual memang memerlukan penanganan yang multi dimensi dan tidak bisa hanya mengandalkan penanganan melalui penegakan hukum, terutama penegakan hukum pidana. Harus ada sistem yang sinergis dan preventif maupun penanggulangan yang efektif untuk mengatasi persoalan kejahatan seksual, khususnya terhadap anak.
Menurut Mariana, sebelum kita terlalu jauh memutuskan hukuman apa yang patut diterapkan kepada penjahat seksual, alangkah baiknya jika kita menempatkan masalah kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusian dan tidak dengan remeh-temeh mengkaitkannya sebagai masalah selangkangan; sebab, pemerkosaaan secara etimologis bermuasal dari fantasi seseorang untuk menaklukkan tubuh orang lain. Justru menurutnya, hukuman kebiri bukanlah hukuman yang tepat diterapkan karena akar dari masalah ini bercokol pada isi kepala si pelaku dan timpangnya relasi kuasa gender.
Mustofa menambahkan jika kejahatan seksual cenderung memperoleh perhatian yang lebih serius dibandingkan bentuk-bentuk kejahatan yang lain, baik terhadap kejahatan konvensional, maupun white-collar crime, termasuk kejahatan terhadap lingkungan hidup dan pelanggaran hak-hak asasi manusia serius.
Secara sosial, menurut Mustofa, kejahatan seksual sebetulnya berakar dari lemahnya kendali sosial di masyarakat, lemahnya penegakan nilai dan norma, lemahnya sosialisasi nilai-norma termasuk di dalamnya tingkah laku seksual. Kejahatan seksual akan menimbulkan kepanikan moral sehingga orang cenderung berpendapat bahwa pelaku kejahatan seksual harus dihukum seberat-beratnya, dan alat kejahatannya dibuat tidak berdaya melalui pengebirian. Namun pengebirian bertentangan dengan Standart Minimum Rules for the Treatment of Offenders karena tidak manusiawi dan kejam. Mustofa menegaskan “Bagaimana mungkin kita bisa menyelesaikan kasus kekerasan jika dilawan dengan kekerasan?” (Wida Puspitosari)