Search
Close this search box.
3d-rendering-of-a-cross-sitting-1
(Sumber: www.reasonwithme.com)

Oleh : Juswantori Ichwan

Suarakita.org- Saya sangat terkejut membaca posting tentang “Isu LGBT Dalam Perspektif Gereja” tertanggal 3 September 2015. Saya baru dapat merespon sekarang, karena saya baru membaca posting tersebut setelah seorang teman mengirimkan link ke alamat posting tersebut baru-baru ini. Ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi sehubungan dengan tulisan tersebut.

1. Tulisan ini dibuat oleh Sdr. Oriel, aktifis LGBT di Semarang yang kami libatkan dalam rangka persiapan seminar LGBT di gereja. Beliau mewakili suara dari kelompok LGBT. Apa yang ia tulis dalam posting berasal dari pembicaraan informal di akhir sebuah rapat persiapan, bukan dalam “forum diskusi”. Jadi, foto yang diunggah adalah foto rapat persiapan seminar, bukan forum diskusi. Penulis memuat posting ini tanpa sepengetahuan saya, sehingga tulisannya bukan merupakan hasil wawancara atau sejenisnya. Saya yakin penulis tidak memilki maksud buruk apapun, namun tanpa disadari tulisannya telah memuat informasi yang keliru.

2. Dalam pembicaraan informal di rapat itu, saya menjelaskan berbagai posisi gereja-gereja Barat terhadap isu LGBT, mulai dari yang menolak sampai menerima. Saya jelaskan juga bahwa di sana ada ritual pernikahan sejenis dan berbagai alternatifnya. Penjelasan ini rupanya disalah mengerti, seolah-olah saya dan gereja saya sedang mengupayakan adanya ritual semacam itu. Hal ini sama sekali tidak benar, karena apa yang terjadi di gereja-gereja Barat tidak bisa disamakan dan diterapkan begitu saja di gereja-gereja di Indonesia. Kami memahami pernikahan sebagai relasi antara laki-laki dan perempuan dan kami tidak akan mengubah definisi tentang pernikahan. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pemberkatan pernikahan sejenis di gereja. Apalagi hal itu juga akan melanggar hukum pernikahan di Indonesia.

3. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa saya sedang mengambil studi doktoral yang terkait dengan LGBT. Saya memang sedang mendalami isu-isu seputar kelompok masyarakat yang termarginalisasi, salah satunya LGBT. Namun tidak benar jika dikatakan studi itu bertujuan untuk membuat ritual pernikahan bagi LGBT. Saya sedang mendalami liturgi pastoral yang bertujuan mengupayakan agar ibadah dapat bersifat pastoral. Artinya, ibadah dapat bermakna bagi setiap yang hadir, termasuk LGBT. Oleh sebab itu kami mengajak umat untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap siapapun yang datang beribadah, termasuk LGBT, supaya setiap orang dapat menemukan sebuah “rumah bersama” dimana mereka bisa saling mengasihi dan menguatkan, bukan saling menghakimi. Kami tidak ingin gereja bersikap negatif (menolak atau mendeskreditkan) LGBT. Namun hal ini TIDAK berarti kami akan menjalankan ritual pernikahan sejenis! Kedua hal ini sama sekali berbeda.

Demikian konfirmasi saya. Kiranya tanggapan / keberatan saya ini dapat dipublish agar pembaca dapat mengetahui fakta yang sebenarnya. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih.