Search
Close this search box.

Eksistensi Budaya Berbasis LGBT di Indonesia

Oleh: Oriel Calosa

Suarakita.org – “Saya Bingung kalau disuruh berbicara tentang Transgender,” Itulah awal perkataan dari DR. Lono Lastoro Simatupang Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Antropologi, Universitas Gajah Mada (UGM), dalam rangkaian kegiatan Transgender Day of Remembrance dengan tajuk “Road Show Kebudayaan Memperkuat Eksistensi Tarian Lengger Lanang Banyumas.” yang diadakan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Jumat 21 Nopember 2015.

Kembali Dr. Lono mengungkapkan karena begitu kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh kawan-kawan Transgender di Indonesia dalam berjuang untuk memperoleh hak-haknya. “Dulu, Saya bertemu dengan Bu Shinta itu sampai dibuatkan kamus komunitas Waria untuk bisa memahami Komunitas Waria yang terkadang hanya meminta satu yang sangat simple. Kemarin ada yang bertanya kepada saya bagaimana kita bersikap, ya cukup kalau diajak salaman ya salaman saja itu saja sudah menunjukkan betapa Waria bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat.” Ungkap Dr. Lono.

“Masih beruntung sekarang Waria bisa mengisi di Kampus. Dulu, untuk bermasyarakat saja mereka hanya berkutat pada satu ruangan saja tapi sekarang sudah menunjukkan sisi positif dan proses mengaktualisasikan diri komunitas Waria yang dulu saya impikan sudah terjadi saat ini” Kata Dr. Lono melengkapi prespektif penerimaan masyarakat dalam menanggapi fenomena Waria sebagai bagian dari tatanan masyarakat sosial.

Ibu Shinta mengisahkan betapa masyarakat Indonesia terdahulu sebelum idiologio-idiologi asing alias para pendatang menggrogoti budaya-budaya yang begitu kayanya di Indonesia yang sangat kental dengan Transgenderisme seperti di Bone dimana diakui lima gender mulai dari Bissu yang bahkan dianggap sebagai Pendeta di Tatanan masyarakat disana dan begitu di hormatinya Waria dan diberi kedudukan yang sangat mulia di lingkungan masyarakat.IMG_20151121_153457

Atau di Jawa Timur dengan Gemblaknya dimana keluarga yang memiliki anak yang sedikit terlihat cantik dengan sukarelanya menyerahkan kepada para Warok untuk di “Gemblak” bahkan mereka berani untuk menyebutkan maharnya dan masyarakat sangat bangga ketika sang anak di jadikan Gemblak atau di Riau yang memiliki budaya untuk membangunkan mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan dengan pesta iring-iringan pernikahan dimana kedua pasangan pengantin adalah lelaki dan salah satunya didandan layaknya perempuan dan masyarakat sangat antusias dalam mengikuti kegiatan tersebut.

Diceritakan, dalam budaya Jawa Tengah sendiri terdapat Lengger Lanang dimana Bu Dariah yang seorang “waria” dijadikan mediasi dalam setiap kegiatan-kegiatan ritual. Dibedah oleh Yasmin yang saat kegiatan tersebut menarikan Lengger Lanang bahwa proses yang terjadi pada Ibu Dariah sama seperti proses Bissu dalam masyarakat Bone, dimana konon diceritakan Bu Dariah bertapa selama 40 hari dan dalam pertapaanya beliau mendapatkan wangsit dan saat pulang sudah dapat menarikan Lengger dan beliau mengajak beberapa warga untuk menabuhi beliau dalam menarikan Lengger Lanang. Saat ini, Ibu Dariah dianggap dan dihormati sebagai maestro Lengger Lanang.

Secara historis, kata Lengger Lanang sendiri diungkapkan dalam sebuah idiom “Dipikir ‘leng’ (Vagina –red.) ternyata memiliki ‘Jengger’ (Tembolok leher -red.)” namun sejarah mengungkapkan bahwa konon tarian ini sudah sangat lama dimiliki oleh masyarakat Banyumas sebelum akhirnya digunakan oleh PKI sebagai media kampanye layaknya Dangdut pada jaman ini. Dahulu justru digunakan Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Agama Islam. Setidaknya, begitulah ungkapan Bu Rini pengurus Pesantren Waria menambahkan.

Kegiatan diskusi ini makin seru karena bukan hanya mengajak Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga namun juga mengajak Himpunan Mahasiswa Banyumas yang ada di Jogjakarta untuk dapat mengenalkan kembali sejarah budaya Indonesia yang sangat beragam dan sangat Bhineka.