Search
Close this search box.

Media Menatap Isu LGBT

Suarakita.org- Minggu, 11 Oktober 2015 . Suara Kita bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta) mengadakan workshop untuk jurnalis dengan tema Media dan Isu LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) : Bagaiamana Kebijakan Media dan Regulasi Negara dalam Memandang LGBT. Workshop ini dilaksanakan di Kantor AJI Jakarta , yang terletak di daerah Kalibata, Jakarta Selatan.

Cukup banyak peserta yang hadir, tercatat di kertas absensi ada tiga puluh enam orang hadir memenuhi kursi worksop yang telah disediakan oleh panitia. Sebagian besar peserta yang hadir adalah repoter media di Indonesia seperti harian Kompas, TheJakartaPost.Com, Hidayatullah.Com, Rappler, Tribunnews, Remotivi, dan teman- teman mahasiswa dari UNPAD (Universitas Padjajaran), Universitas Paramadina, Dan Universitas Atmajaya. Sedangkan dari komunitas turut hadir Jurnal Perempuan, GWL –INA, LAPMI Ciputat, dan tidak ketinggalan teman-teman Suara Kita.

Workshop ini dibagi menjadi tiga sesi dengan difasilitasi oleh Luviana (Aktifis AJI Jakarta) dan Irham (sekretaris AJI Jakarta). Sebagai pembuka, Irham meminta semua peserta yang hadir pada saat itu untuk berdiri dan memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama dan institusi tempat ia bekerja. Acara dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Hartoyo (SuaraKita), Luviana , dan Heru Margianto (Kompas.Com).

Sebagai pembuka, Hartoyo memberikan penjelasan untuk apa sebenarnya workshop ini dibuat dan kenapa workshop ini harus diadakan. Namun sebelum menjawabnya, Ia memberikan Informasi mengenai situs SuaraKita.Org. Bahwasanya selama ini Suara Kita aktif melakukan kampanye melalui website SuaraKIta.Org seperti menerima semua bentuk tulisan baik dalam bentuk Opini, Cerpen, Puisi dan hasil-hasil liputan yang berhubungan dengan isu LGBT dan Kemanusiaan yang masuk ke meja redaksi Suara Kita.

Menjawab pertanyaan sebelumnya, menurut Hartoyo mengapa workshop ini perlu diadakan karena mirisnya melihat media-media yang memberitakan isu-isu LGBT dengan sangat bombastis namun minim pemahaman mengenai LGBT. Hartoyo juga mengapresiasi media seperti Hidayatullah yang pernah mewawancarainya dan menurut Hartoyo media-media Islam (Hidayatullah dan Republika) cukup sering dalam memberitakan isu-isu LGBT.

Selanjutnya menurut Hartoyo kenapa acara ini diadakan adalah meminta masukan dari teman- teman wartawan yang hadir terkait bagaimana cara agar reporter paham dalam meliput dan memberitakan isu-isu LGBT. Selain itu Hartoyo juga memberikan tawaran, apa yang dapat SuaraKIta berikan kepada teman-teman wartawan yang hadir pada workshop saat itu agar memberitakan isu-isu LGBT dengan baik dan benar.

Setelah Hartoyo selesai, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari Luviana mengenai pemetaan media di Indonesia dalam memberitakan LGBT, ia kemduian memaparkan hasil riset yang dilakukan oleh AJI Jakarta. Luviana juga berbicara mengenai bagaimana kondisi media di Indonesia saat ini, sampai pada bagaimana ruang redaksi yang sangat minim dan kurang mem berikan ruang dalam membahas isu-isu LGBT.

Sementara itu Heru Mardiyanto dari Kompas.com menjelaskan bahwasanya isu-isu LGBT sebenarnya menarik minat banyak audience. Misalnya pada saat isu pernikahan sesama jenis di Bali yang ramai diperbincangkan dan pada pada saat Amerika melegalkan pernikahan sesama jenis diseluruh negara bagian. Mardiyanto juga menambahkan bahwasanya setip media memilki nilai atau spiritualitas tersendiri yang dijalankan oleh para reporter. Dan cara pandang wartawan dan editor sangat mempengaruhi warna dalam pemberitaanya. Setelah pemaparan tiga narasumber, Irham mempersilahkan peserta Workshop untuk menanggapi dan bertanya dan mendapatkan tanggapan secara langsung dari tiga narasumber tersebut.

Memasuki sesi ke-2 , Haikal dari Remotivi memberikan pemaparannya mengenai bagaimana regulasi media terhadap isu-isu LGBT dan isu perempuan. Ia juga menjelaskan kondisi KPI (Komisi Penyiaran Indoensia) saat ini yang sangat politis sekali. Haikal juga menyoroti mengenai kondisi KPI saat ini yang lebih berfungsi sebagai mediator dari pada sebagai sebuah lembaga yang berfungsi sebagai Regulator.

Padahal secara Undang-Undang KPI berfungsi sebagai Regulator. Dalam berbagai kasus terhadap kelompok minoritas (LGBT) dan Perempuan, KPI lebih mengambil peran sebagai mediator ketimbang sebagai regulator, KPI tidak mengambil posisi sebagai mediator daripada pengambil keputusan. Dan bagaimana reporter-reporter di Indonesia mengalami bias pandang dominan,serta absennya regulasi yang berperspektif pada pada kelompok marginal, sekalipun ada hanya pada tataran normatif sedangkan turunannya sangat kontradiktif. Dan terakhir menurut Haikal adalah bagaimana LGBT dalam pemberitaan dan tayangan dapat compatible (cocok – red) dengan upaya melindungi anak, karena ketika melakukan advokasi terhadap isu-isu LGBT kita akan mendapatkan pertanyaan tersebut.

Dalam sesi kedua ini Hartoyo kembali membagikan pengalaman mengenai bagaimana SuaraKita melakukan advokasi pada saat terjadi pemblokiran terhadap situs www.ourvoice.or.id dan protes terhadap acara Indonesian Idol yang dewan jurinya membuli peserta laki-laki yang kemayu. Advokasi yang dilakukan oleh Suara KIta pada saat itu cukup membuahkan hasil, tegas Hartoyo. Ada provider (telkomsel) yang tadinya memblokir situs Suara Kita akhirnya membuka pemblokiran tersebut. Untuk kasus Indonesian Idol, Tim dari Indonesian Idol yang dipanggil oleh KOMNAS HAM akhirnya   melakukan permintaan maaf dan membuat perjanjian tertulis bahwasanya hal tersebut tidak akan terulang lagi.

Sekalipun mereka tidak mau melakukan konfrensi pers kepada publik terkait permintaan maaf tersebut, namun surat perjanjian yang telah mereka tandatangani memberikan gambaran kesuksesan terhadap advokasi yang dilakukan. Acara kemudian dilanjutkan dengan meminta tanggapan dan pertanyaan dari peserta worksop.

Dina (Mahasiswi S3 Universitas Indonesia) yang memang pernah bekerja di KPI pada saat awal-awal KPI terbentuk menjelaskan kondisi mengapa pada saat ini kondisi KPI lebih berfungsi sebagai lembaga mediator dari pada sebagai sebuah lembaga Regulator. Menurutnya KPI pernah digugat oleh RCTI terkait , kemudian diakukan Judicila Review dan KPI pada saat itu kalah. Sehingga hal itulah yang dapat menjelskan kondisi KPI saat ini.

Sesi terakhir atau sesi ke-3 dibuka pukul 14.00 WIB. Pada sesi ini peserta worksop diminta untuk membahas permasalahan-permasalahan yang muncul yang sudah dirangkum dari sesi 1 dan sesi 2. Persoalan-persoalan yang sudah dipetakan seperti; bagaimana Editorial Policy yang masih menjadi pagar; belum banyaknya jurnalis yang mempunya etika jurnalistik terhadap LGBT; KPI yang masih berperan sebagai mediator ketimbang regulator.

Sedangkan solusi-solusi yang ditawarkan adalah wartawan harus benar-benar memahami etika jurnalistik, kelompok LGBT akan lebih banyak mengkampanyekan isu-isu LGBT karena jumlah audiennya yang cukup tinggi, isu-isu LGBT dikaitkan dengan isu-isu kebangsaan dan ekonomi, memproduksi berita LGBT dan menyiarkannya. Beberapa keputusan yang kemudian diputuskan pada hari itu adalah memberikan pemahaman tentang isu seksualitas kepada wartawan dan bagaiman materi ini dapat menjadi kurikulum di kampus-kampus jurnalistik.

Sedangkan bagaimana berstrategi karena ketika isu LGBT dinaikkan di media ini membuat masyarakat berpikir bahwa ada usaha melakukan menejerumuskan anak menjadi LGBT. Tantangan ini yang masih harus terus dipikirkan, dan menurut Hartoyo salah satu usaha untuk itu adalah dengan memberikan fakta-fakta bahwasanya banyak anak di lingkungan sekolah yang mengalami bulliying karena ekpresi gender yang berbeda, dan menurut Hartoyo hal ini pasti akan mendapatkan perhatian dari para orang tua. (Eddy)