Oleh : Wida Puspitosari*
Suarakita.org- Ba’da magrib itu bapak mengajak saya pergi ke sebuah toko buku. Hal ini biasa dilakukannya sebagai hadiah langganan teruntuk putri-putrinya bila mendapat juara kelas. Pada usia yang masih 17 tahun, saya menemukan buku bersampul kuning dengan judul Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti. Buku ini mengisahkan 13 perempuan anggota Gerwani korban tragedi G 30 September 1965. Ketika sebanyak 203 halaman lekas tunai, terselip satu cerita yang membuat dada saya bergetar, tentang seorang perempuan bernama Mukinem.
***
Si kuda besi saya tancap kencang dari Solo menuju Klaten. Tatkala itu usia saya telah menginjak 20 tahun — menyandang gelar mahasiswi semester empat di sebuah kampus feodal di kota Solo. Ketika matahari tengah menjalar panas di atas kepala, keingintahuan tentang seorang Mukinem yang dikisahkan tinggal di Jatinom-Klaten kian meledak-ledak. Seakan hukum gravitasi bekerja di frekuensi saya, ia begitu menarik dalam-dalam. Sungguh, otak dan hati saya masih saja susah berjalin-kelindan. Kenapa tak dari dulu-dulu saya mencarinya?
Dengan hanya bermodalkan buku Kembang-Kembang Genjer, saya mendaratkan si kuda besi di kantor Kecamatan Jatinom. Saya percaya di daerah pedesaan begini akan mudah menemukan orang yang kita cari dengan hanya menyebut nama. Tidak seperti di kota, yang orang-orangnya tak lagi saling mengenal apalagi peduli pada siapa.
Ketika saya sebut Mukinem, salah seorang di sana tak mendapati dengan alasan nama Mukinem di sini banyak, lalu tanpa hati yang kikuk saya tangkas, “..dia dulu anggota Gerwani”. Ya, anggota Gerwani, organisasi perempuan paling progresif di jamannya!
“..oh Gerwani” jawab seorang berkepala plontos.
“..Mba sekarang coba cari yang namanya bu Sumiati (bu Betet), beliau tinggal tak jauh dari sini”
Tak lama kemudian saya pamitan, lekas menuju pemilik rumah yang disebutkan tadi.
Saya ketuk pintu dan mencuri pemandangan dalam rumah melalui jendela luar. Nampak seorang perempuan paruh baya datang keluar dan membukakan pintu lalu mempersilakan saya duduk. Wajahnya ayu — dan, saya yakin jika ia dulunya adalah kembang desa.
Laiknya orang Jawa, pembicaraan saya biarkan mengalir dengan banyak menggunakan basa-basi.
“..Saya dulu satu organisasi dengan beliau. Bu Mukinem memanglah kawan saya. Hari ini genap 7 harinya mba”.
Saya berharap saya sedang salah mendengar, tetapi tidak. Mukinem yang saya cari sudah tak lagi bernyawa apalagi bersuara. Ia kini terbujur tenang dalam alam yang tak bisa digapai manusia. Hati saya spontan terjungkal, apakah benar ini isyarat semesta semenjak tadi pagi? Ia begitu menarik kuat agar saya bertemu dengan Mukinem, barangkali bukan melalui raganya – tetapi melalui renungan serta ingatan-ingatan atasnya. Sebab, dengan mengingat, kita bisa merunuti jejak-jejak kehadiran yang lebih kekal.
Tak lama, bunga segera saya tabur di atas pusara perempuan bernama lengkap Maria Mukinem Suprapto – betapa nama yang indah dan ultim. Doa dipanjatkan di atas nisan berbentuk salib itu, doa yang jauh berbeda diucap dengan doa-doa yang biasa ibu Sumiati dan bu Mukinem ucap. Tapi apalah arti kata ucap, bila yang dituju hanya satu, Sang Hyang Maha Jati. Selepasnya saya dan ibu Sumiati memutuskan untuk mengikuti Doa Pemulihan dari gereja di kediaman Mukinem yang berjarak 100 meter dari pemakaman.
Ketika berada dalam Doa Pemulihan itu saya seakan mendapati Mukinem hadir, dan tak dinyana azimat-azimat menyeruak getir: ada perjalanan hidup dan ketabahan yang panjang. Seorang perempuan pemanggul salib.
***
Sekitar 45-an tahun yang lalu dari kunjungan pertama saya di Jatinom, rumah tua depan Pabrik Gula Gondang Winangun Klaten tetap menyimpan kekelaman tersendiri. Di sana, Perempuan bernama Mukinem pernah diseret menuju kamar kecil nan gelap di sudut belakang rumah. Seluruh badannya memar bekas siksaan, telinganya perih tergigit — dadanya bersketsakan guratan tangan. Tangan yang tak sekedar menjamah, namun juga meremas dan memelintir putingnya hingga menimbulkan rasa sakit yang pahit.
Bila dilihat dari foto yang disodorkan pada saya, tanda garis-garis kecantikan masih terpatri di usianya yang telah senja. Ada mata yang berpijar, sorot yang membikin dada bergetar. Berjumpa di ruang dan waktu yang berbeda begini bukanlah masalah takut atau berani. Namun tentang sejauh apa anda bisa menggunakan pola pikir di luar akal sehat. Lalu anda akan dipaksa percaya bahwa sorot itu ternyata juga mengilustrasikan misteri tentang hilangnya nyawa orang lain bernama Sukarmo, kekasih Mukinem.
***
Leretan jalanan Yogyakarta-Klaten tahun 1960-an mungkin telah meninggalkan rajutan romantisme tersendiri di hati Mukinem yang kala itu berdaulat sebagai murid SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak). Begitu juga kekasihnya, Sukarmo adalah mahasiswa salah satu kampus di kota yang sama, Yogyakarta. Mereka biasa pulang bersama-sama dari Yogya ke Klaten dengan sepeda. Selesai lulus, Mukinem mengajar sebagai guru TK di desanya, dusun Manisrenggo, Prambanan. Sang kekasih tak lepas pula menemaninya dengan mengajar di sebuah SMP di desa yang sama. Namun terkadang lelaki kekasih Mukinem ini harus bolak-balik Yogya-Klaten untuk melanjutkan kuliahya.
Bila tragedi 1 Oktober 1965 di Pondok Gede-Jakarta tak terjadi, barangkali cerita romatik Mukinem-Sukarmo akan berakhir bahagia.
Dengan terbunuhnya enam jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat ternyata berdampak hingga ke seluruh pelosok nusantara, tak terkecuali Prambanan, tempat Mukinem mengajar. Ia ‘dipanggil’ ketika sedang menyapu di halaman. Ia tak pernah paham apa salahnya. Namun ia tak bisa menolak panggilan itu. Ia hanya meminta ijin pada sang ‘pemanggil’ untuk berpamitan dengan anak didiknya di TK tempat ia mengajar.
Tentu kita tahu sama tahu siapa yang disebut ‘pemanggil’? Ya, bapak tentara. Kemudian oleh bapak tentara Mukinem dibawa ke kantor kecamatan. Ditanya-tanya aktivitasnya termasuk soal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang menurut harian yang boleh beredar kala itu Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata dikabarkan telah mencungkil mata dan mengiris penis jenderal dalam upacara “Harum Bunga” di Lubang Buaya.
Bagi Mukinem ini merupakan kabar yang aneh. Gerwani yang ia geluti adalah sebuah organisasi perempuan paling progresif yang memperjuangkan hak-hak perempuan, menolak poligami dan memberikan pendidikan gratis untuk golongan miskin. Terutama TK Melati yang digagas hingga ke ranah daerah itu lebih diperuntukkan bagi ibu-ibu petani untuk menitipkan anak-anaknya agar tidak terlalu terbebani biaya pendidikan yang acap kali tak terjangkau. Sama sekali tak bisa dinalar oleh benaknya bahwa organisasi perempuan dengan misi mulia semacam ini tega mendorong kadernya untuk melaksanakan tindakan tak manusiawi itu.
Mukinem menolak menjawab lebih jauh dari yang ditudingkan oleh sang interogator. Di hari itu juga ia dibiarkan kembali pulang ke rumah. Namun tak disangka bahwa ‘pemanggilannya’ kali ini berdampak pada hilangnya pekerjaan sebagai guru TK yang ia cintai, alias dipecat secara paksa. Tapi beruntunglah, Mukinem bukanlah perempuan yang tak kuat. Selepas kehilangan status menjadi guru TK ia beralih profesi sebagai penjaja sayur keliling dengan mengayuh sepeda yang dimilikinya. Buatnya, berdampingan dengan kekasih yang berada di sampingnya adalah lebih dari cukup ketimbang menyesali tuduhan yang tak berdasar.
***
Sebagaimana masa terlah berlalu, namun tragedi tetap membutuhkan tumbal, seorang murid SMP dimana sang kekasih mengajar mendatanginya. Dengan suara lirih ia memberitahu bilamana Sukarmo telah diambil paksa dari kosannya di Yogyakarta. Aktivitasnya di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) menjadi alibi penangkapan tersebut.
Sejumlah laki-laki dengan mesiu menggiring Sukarmo dan beberapa kawanannya. Mereka dilempar di atas truk, berjejal dan tak tau hendak dibawa kemana. Isyarat ini bukan kutukan, namun kurang lebih akan memberikan bukti yang lumayan akurat. Tembak dan akhirnya tamat!
Manifesto masa muda Mukinem rupanya benar-benar berakhir. Raga dan hatinya tergolek lemas. Pelaminan hanyalah ilusi yang jauh berupa fatamorgana. Enam tahun menjadi sepasang roma, kini bermuara pada sia. Sabtu Kliwon, tepat di hari wetonnya, ia menjumpai pusara belahan jiwa. Pusara yang tak nyata, namun cukup menjungkirbalikkan rasa.
Namun, tak beruntung hanyalah soal kata, negeri ini masih kekurangan tumbal. Dua tahun pasca pemanggilan pertamanya – saat menyongket di rumahnya yang sederhana, Mukinem kembali didatangi tentara. ‘Dipanggil’, lagi.
Bersama dengan tentara tersebut ia kayuh sepedanya. Tak pernah disadarinya bahwa kali ini Mukinem mencapai jarak yang jauh belasan kilometer dari kampungnya, menuju Parbrik Gula Gondang Winangun.
Sesampainya di lokasi, ia diseret menuju kamar kecil di sebuah rumah tua depan pabrik itu. Apa yang terjadi tentu kita sudah tahu. Ya interogasi. Tidak! Tidak hanya interogasi. Kali ini ia juga dipukul, ditendang dengan sepatu lars tentara hingga giginya copot, ditelanjangi lalu disetrum. Dan adegan seperti ini pun berulang tak hanya sekali. Hingga pada akhirnya Mukinem tak mampu menyadari ia sudah mati atau belum – di dunia atau di barzah, pingsan. Sasmita yang ia miliki kadang muncul dan kadang hilang. Tapi sang penjaga mengira ia telah benar-benar mati. Begitu.
Namun saat Mukinem mencoba menggerakkan tubuhnya, penjaga dengan sigap mendapati bahwa ia masih hidup. Sekiranya puas belum juga tuntas dengan keadaan tersebut, ia menggelandang Mukinem ke bak bekas tempat garam dan membiarkannya di dalam selama tiga hari tiga malam tanpa makan dan minum. Di dalam bak itu tubuhnya diekrubungi kutu. Ia menggaruk-garuk hingga tak sadar bajunya tersobek. Rupanya ia tak paham bila kemudian sepenuhnya telah telanjang.
Ironisnya, parodi penjungkir-balikan derajat manusia bernama Mukinem belumlah usai. Dia diseret lagi menuju kamar sempitnya. Sendiri. Beberapa hari kemudian ia digelandang ke dalam ruangan yang lebih besar yang berada di bagian depan rumah. Di sana sudah terdapat 80 lelaki yang ditahan dengan tuduhan yang sama: simpatisan dan aktivis PKI. Mereka pada umumnya menyandang gelar sebagai anggota Pemuda Rakyat (PR), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Barisan Tani Indonesia (BTI) – yang padahal semua organisasi di atas sekali pun tak pernah menjadi underbow PKI.
Tapi apapun namanya, organisasi ‘yang dianggap’ memang kala itu didudukkan sebagai pesakitan. Di kamar yang berisi 80 lelaki itu, Mukinem dilempar dan diutus berlagak sebagai pelacur. Ia disuruh memeluk dan menciumi para lelaki itu, sebuah drama yang kemudian diqadimkan dalam cetakan foto dan disebar di seluruh pelosok Klaten. Pesan dari foto ini sangatlah gamblang: lihat si Perempuan Sundal! Ya, persis yang kala itu oleh Orde Baru dituduhkan pada Gerwani, organisasi perempuan pelacur.
Pascadegradasi moral yang tak manusiawi itu, penyiksaan terhadap Mukinem belumlah purna. Beberapa waktu kemudian, Mukinem diseret dari kamarnya menuju ruang ‘penyiksaan’. Ia kembali ditelanjangi, ditendang, dipukul, disetrum dan diklarifikasi agamanya ketika ia memanjatkan doa kala tragedi penyiksaan dimulai. Ketika menangkas bahwa ia beragama Kristen, bapak-bapak penyiksa itu kemudian merentangkan kedua tangan dan memojokkannya ke tembok, seperti drama Natal yang dilakukan tentara Romawi tatkala menyalib Isa.
Lantas mereka menggigit telinganya, memukul dan meremas serta memlintir puting payudaranya. Sedihnya, yang ditendang dan dipukul kali ini bukanlah hal remeh-temeh, ia bagi saya adalah inti kelembagaan perempuan, krematori kasih dimana kehidupan bermula: rahim.
Benturan yang keras terhadap rahim Mukinem betul-betul berdampak anfal teruntuk hidupnya. Selama empat bulan Mukinem mengalami menstruasi yang terus-menerus, ya pendarahan hebat yang tak jarang mengakibatkan tamat hidup kita.
Namun, bukanlah rahim namanya bila tak dinamakan ruang yang kokoh dalam ayat di salah satu kitab suci itu. Mukinem tetap berdiri dengan rahimnya, malah delapan puluh laki-laki yang ditahan bersama ia itulah yang kemudian membuatkan pembalut dari kain atau kaos mereka.
Selanjutnya Mukinem dibuang ke penjara Klaten selama beberapa tahun, kemudian Bulu (Semarang) dan berakhir di Plantungan hingga tahun 1979 – tanpa ada pembela, pengacara atau bahkan pengadilan resmi.
Mukinem telah kehilangan segala-galanya. Akan tetapi, memiliki ibu pertiwi bernama Indonesia tak pernah sekalipun ia sesali. Tiada dendam sama sekali, Baginya, ibu pertiwi adalah pengejawantahan rahim yang senantiasa memberikan keselerasaran ilahi tanpa batas. Sebagaimana yang telah terbaca dalam 99 nama besar-Nya, bahwa yang banyak disebut adalah Maha Kasih — Ar-Rahim salah satunya. Ya, rahim adalah penaung kasih, cinta yang banyak memberi tanpa merasa kehilangan; cinta yang sedalam-dalamnya.
Kini, separuh abad sudah tragedi pahit ini menaruh memori kelam bagi korban 65. Mereka adalah liyan yang tak tak secuilpun dipertimbangkan sebagai pembangun eksistensi Indonesia. Hidupnya dikangkangi, hak asasi manusianya dikhianati. Hingga saat ini, negara sekalipun belum pernah meminta maaf. Mukinem adalah potret kecil dimana resiko nyawa tak seberharga ideologi. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa orang-orang yang ‘mengkerdilkan’ ideologi komunis kala itu mungkin saja sedang dalam sasmita batin yang naif. Ah, atau bisa jadi mereka saja yang tak siap pada ideologi, lantas ketakutan dan menghujat, ya.. kita adalah produsen hujatan terbesar di dunia yang tak memper mencipta pemahaman atas keselarasan makna yang agung. Kita melarat makna. Dan kemelaratan ini tak boleh menjangkit.
Oh ibu pertiwi, ajari kami untuk menangkap maksud tertinggi kehidupan dengan kerahimanmu.
*Penulis adalah editor website Suara Kita.