Search
Close this search box.

[Kisah] Khanis Suvianita: Pandangan Psikolog tentang Kaum LGBT

 

Oleh: Oriel Calosa* 

Suarakita.org – Khanis Suvianita S,Psi.MA salah satu narasumber sesi Seminar Kekristenan, Gender dan Seksualitas : Pergumulan dan Tantangannya di GKI Peterongan pada Sabtu (10/10) menuturkan kisahnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Kala itu sekitar Tahun 1991, ketika ia mencoba mengorganisir sebuah seminar yang bertema homoseksualitas dengan mengundang salah satu pembicaranya Bapak Dede Oetomo (Koordinator GAYa Nusantara). Banyak peserta mahasiwa yang datang karena tertarik dengan isunya dan ingin memahami tentang homoseksualitas. Ketika itu hadir pula beberapa orang gay bersama Pak Dede. Khanis dan kawan-kawan mengamati orang-orang gay itu dan ada yang bertanya, “Apa cirinya mereka ya?”. Lalu yang lain mengatakan, “Mereka cakep-cakep.”  Sedangkan yang lain berkomentar, “Kok ada yang tidak pakai kalung?”Serta masih banyak hal lain yang berkaitan dengan imajinasi tentang orang-orang gay pada saat itu.

Pada saat sesi tanya jawab dalam seminar, tidak sedikit orang yang bertanya mengapa orang bisa menjadi homoseksual, mengapa orang menjadi gay dan lesbian, lalu apakah ada perlakuan yang keliru dari orang tua dalam membesarkan anaknya sehingga mereka menjadi gay, dan seterusnya. Hampir semua pertanyaan itu bermuara pada keheranan tentang homoseksualitas – kok bisa-bisanya ada orang menjadi homoseks – pada saat itu.

Setelah kurang lebih 24 tahun lamanya, pertanyaan-pertanyaan serupa itu tetap ada dan ditanyakan saat memberikan kuliah, seminar dan atau lokakarya yang bertema tentang gender dan keragaman seksualitas. Juga ketika saya berada dalam ruang konseling sebagai psikolog.

“Pada saat itu saya belum begitu memahami apa itu homoseksualitas dan mengapa begitu banyak stigma yang melekat kepadanya. Serta mengapa persoalan-persoalan psikologis dan sosial seolah mengiringi keseharian mereka. Dan mengapa begitu banyak orang sulit menerima keberadaan orang-orang homoseksual. Sampai sekarang pun tarik menarik persoalan terkait penerimaan pengakuan terhadap keberadaan orang- orang LGBT di dalam masyarakat kita masih pro dan kontra, “ kata Khanis kepada penulis.

Untungnya pengetahuan tentang LGBT  ini semakin terbuka dan mudah diakses. Sebagian orang-orang LGBT khususnya dikalangan muda sekarang sudah mulai berani menyatakan identitas dan orientasi seksual mereka. Tentu saja tidak mudah  bagi orang LGBTI untuk menyatakan identitas dan orientasi seksualnya ketika identitas seksual ini masih dianggap menyimpang.

Sampai sekarang masih begitu banyak kekerasan, diskriminasi, stigmanisasi dan bahkan pembunuhan yang terjadi kepada orang-orang LGBT. Alasan yang melatarbelakanginya ada begitu banyak, mulai dari isu norma dan moral yang telah dilanggar (adat ketimuran yang dianggap tidak mengenal homoseksualitas, gaya hidup yang seolah terbawa-bawa barat), agama dengan beragam intepretasi teks, psikologi – abnormal, penyakit mental yang harus disembuhkan, kelainan jiwa – dan mempermalukan keluarga. Sehingga ada  berbagai macam bentuk pemaksaan-pemaksaan “Menjadi orang heteroseksual” kepada orang-orang LGBT.

Berangkat dari ketidaktahuan dan keprihatian inilah Khanis menekuni isu-isu LGBT hingga sekarang. Mendengarkan banyak kisah-kisah hidup yang beragam dan tidak bisa serta merta digeneralisasi kepada semua LGBT tentang mengapa orang memilih menjadi LGBT.

Khanis mengisahkan ketika berkeliling ke 11 kota di Indonesia untuk mengumpulkan data-data kekerasan yang terjadi pada orang-orang LGBT dan bertemu kelompok LGBT dikota-kota tersebut. Penolakan dan kekerasan datang dari kalangan keluarga, kelompok agama, penegak hukum dan masyarakat.

Pemaksaan harus menjadi orang heteroseks ini terjadi karena dilatarbelakangi dari ketidakmengertian atau keterbatasan pengetahuan tentang LGBT dan atau isu-isu moral agama. Sehingga sering berujung pada kekerasan dan berbagai trauma psikologi baru yang dialami oleh orang-orang LGBT. Selain kisah-kisah buruk, ada pula kisah keluarga, tokoh agama, masyarakat dan komunitas yang bisa memahami dan menerima orang-orang LGBT.

Berikut adalah makalah yang dibawakan oleh Khanis Suvianita S,Psi.MA (Dewan Penasehat GaYa Nusantara) dalam Seminar Kekristenan, Gender dan Seksualitas : Pergumulan dan Tantangannya di GKI Peterongan pada Sabtu (10/10).

 

Sejarah Awal Pergerakan LGBT

Kriminalisasi pada perilaku seks homoseksual berlangsung terus menerus antara abad 18 dan 19 di Eropa karena homoseksualitas dikategorikan sebagai kejahatan dan perbuatan dosa dan mereka yang melakukannya tidak dimasukkan dalam golongan manusia. Walaupun kecil, pembelaan terhadap orang homoseks  mulai bermunculan kala itu.

Istilah Homoseksual sendiri diperkenalkan oleh Karl Maria Kertbeny pada awal abad ke 19 untuk menjelaskan perilaku seksual dari tiga kategori perilaku seksual lain yaitu, monoseksualitas, heteroseksualitas dan heterogen (khusus kepada binatang).

Kemudian pada abad yang sama, tahun 1886, Richard Von Krafft-Ebing, seorang psikiatris dari Austria dalam bukunya Psycophatia Sexualis, the medical-forensic study of sexual abnormalities, menjelaskan tentang “Normal sexuality”, yang selanjutnya istilah ini banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku seksual.

Ebing, dalam penjelasannya tentang homoseksualitas mengatakan bahwa orang-orang  homoseksual mengalami penurunan fungsi otak yang berpengaruh pada orientasi seksualnya. Penjelasan Ebing ini kemudian diperkuat dengan hasil penelitian Magnus Hirscfeld dalam bukunya “Sappho and Socrates” yang menjelaskan bahwa orang-orang homoseks mengalami perkembangan otak yang berbeda pada saat kanak-kanak. Dia juga menjelaskan bahwa faktor eksternal dapat berpengaruh pada perkembangan otak orang homoseksual dan heteroseksual. Dia juga menolak pengkriminalisasian pada orang-orang homoseks di Jerman pada masa itu sampai Hitler berkuasa.

Pada abad ke 20 di Eropa penjelasan ini digunakan untuk membela LGBT, bahwa orientasi mereka bersifat bawaan.  Pada abad yang sama (1825 – 1895), Karl Heinreich Ulrichs, seorang aktivis gay berkembangsaan Jerman yang berjuang untuk membela orang-orang gay, memberikan penjelasan bahwa orang-orang homoseks adalah orang-orang yang memiliki jiwa feminin.

Menurutnya, bahwa laki-laki yang mencintai laki-laki adalah mereka yang berada pada state  transitional third sex and gender, “we make up third sex …. we are women in spirit”.  Jadi, ketertarikan terhadap sesama jenis karena persoalan perkembangan biologi dan tubuh yang secara mental berkembang dalam dua arah yang berbeda – laki-laki dan perempuan sekaligus. Ini seperti yang juga dikatakan oleh orang-orang transgender laki-laki yang terjebak di dalam tubuh perempuan atau sebaliknya. Ia menggantikan istilah sodomi dengan urning untuk laki-laki (gay) dan urningin untuk perempuan (lesbian) yang artinya mereka adalah keturunan Uranus. Sementara kaum hetero disebutnya dioning yaitu keturunan Aprodite (salah satu Dewa orang Yunani). Ia pun berjuang secara hukum untuk menolak pengkriminalisasian orang-orang homoseksual saat itu.

Situasi ini, abad 19, perdebatan dan tarik menarik ide tentang homoseksual sebagai perilaku seks yang tidak normal bila dibandingkan dengan perilaku seks heteroseksual terus diperkuat. Penelitian lebih banyak dilakukan oleh para psikiater dan menjelaskan bahwa kategori homoseksual sebagai penyakit mental. Penelitian dan pemeriksaan terhadap orang-orang homoseksual difokuskan pada : Neuroanatomy, Psychoendocrinology, and Genetics. Kemudian psikiatri juga melakukan penelitian bagaimana pengaruh lingkungan terhadap homoseksualitas. Ternyata hasil penelitian ini tidak mampu membuktikan pengaruh tersebut, “… . social and cultural causes—show “small effect size and are causally ambiguous.”.  Sampai dengan tahun 1940-an homoseksualitas dibicarakan dalam aspek-aspek persoalan psikologis seperti psikopatologi, paranoid dan gangguan kepribadian dan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian terhadap orang-orang homoseksual (dan atau LGBT) para psikiatri dan psikolog berusaha menyembuhkan “penyakit mental” ini.

Alfred Kinsey, seorang ahli serangga, pada 1948 melaporkan hasil penelitiannya tentang perilaku seksual pada Laki-laki, memperlihatkan bahwa homoseksualitas terjadi dengan berbagai latar belakang yang lintas kelas, pendidikan, wilayah dan keluarga. Dan Richard Isay, psikoanalis, mengatakan :

“ Kinsey and his co-workers for many years attempted to find patients who had been converted from homosexuality to heterosexuality during therapy, and were surprised that they could not find one whose sexual orientation had been changed. When they interviewed persons who claimed they had been homosexuals but were now functioning heterosexually, they found that all these men were simply suppressing homosexual behavior. . . and that they used homosexual fantasies to maintain potency when they attempted intercourse. One man claimed that, although he had once been actively homosexual, he had now “cut out all of that and don’t even think of men—except when I masturbate.”

Jadi menurut Kinsey walaupun seorang homoseksual berusaha menyembuhkan dirinya sebenarnya tidak pernah bisa sembuh, yang ada hanyalah mengelola fantasi homoseksual (merepres perilaku homoseksual) untuk berhubungan seks dengan pasangan lawan jenisnya. Dari pernyataan ini Kinsey pun mengakui bahwa homoseksual bukan sesuatu yang bisa disembuhkan.  Dari penelitian ini ia membuat sebuah skala yang dikenal dengan nama Skala Kinsey. Skala ini berupa angka dari 0 ( homoseksual ) sampai 6 (heteroseksual). Angka 3 merupakan biseksual.

Salah satu yang unik saat penelitian tersebut, Kinsey dan istrinya mencoba melakukan hubungan seksual dengan sesama untuk melakukan percobaan teori tersebut yang menghasilkan bahwa ada ketidaknyamanan yang muncul dan perasaan yang mengungkapkan bahwa apa yang dilakukanya itu bukan dirinya.

Perkembangan homoseksual tidak lepas dari sejarah seksualitas. Perlakuan dan pemahaman tentang seksualitas juga menjadi landasan bagaimana orang-orang memperlakukan orang homoseksual. Perlakuan ini tidak lepas dari pandangan dan kondisi politik, ideologi, agama, budaya, sosial, hukum dan ekonomi. Sepanjang pengalaman, berdiskusi dan mendengarkan pandangan-pandangan orang lain berbicara tentang LGBT, hal-hal yang disampaikan tentang LGBT tidak lepas dari tarik menarik antara pengetahuan dan keyakinan serta nilai-nilainya tentang LGBT. Sehingga penerimaan dan pengakuan terhadap orang-orang LGBT sangat beragam. Ada yang bisa menerima keadaan itu – bila terjadi pada orang lain- tetapi tidak bisa menerimanya bila terjadi di dalam lingkarannya sendiri, seperti bila ada anggota keluarganya yang LGBT. Ada juga yang langsung menolaknya dan tidak mau melihat kenyataan-kenyataan yang ada disekitarnya dan terus menyalahkan orang-orang LGBT. Penolakan kepada LGBT biasanya cenderung diikuti dengan sikap “menghukum” dan menstigma. Tidak sedikit pula yang homophobia (ketakutan yang berlebihan kepada homoseksualitas) dengan berbagai macam bentuk ekspresinya. Mulai dari kecurigaan sampai dengan memusuhi dan melakukan kekerasan.

 

Pandangan Psikologi Klinis.

Psikologi klinis pada awalnya melihat homoseksualitas sebagai patologi – abnormal, mental illness dan dosa. Pandangan ini berfokus pada tahap-tahap perkembangan dan memeriksanya apakah dalam tahapan itu terjadi penyimpangan-penyimpangan atau tidak. Berbagai pengalaman seksual masa kecil di tracking seperti memberi jejak trauma yang dianggap akan mengubah orientasi seksual seseorang. Lalu perkembangan gender role pun di tracking untuk memastikan bahwa laki-laki tetap dengan maskulinitas-nya dan perempuan tetap dengan femininitas-nya.  Pemeriksaan ini pada akhirnya diarahkan untuk menemukan hal-hal yang patologis sehingga terapi diarahkan pada “penyembuhan” untuk menjadikanya heteroseksual sebagai patologis yang dianggap “Normal”.

Pandangan psikologi klinis ini lebih dipengaruhi oleh Freud tentang pandangannya terhadap homoseksualitas. Freud melihat gay terjadi karena pola asuh dan traumatis terhadap kekerasan dari sang ayah. Keadaan ini dianggap anak laki-laki gagal mendapat figure ayah yang bisa diindentifikasinya sebagai figure laki-laki. Sehingga si anak laki-laki akan cenderung bersikap narsis dan mencintai dirinya sendiri. Lalu hubungan ayah dan ibu cenderung buruk dan ayah melihat si anak laki-laki sebagai saingannya dalam memiliki istrinya.

Para pengikut Freud yang melihat deviasi seksual ini sebagai patologis dan sakit. Walaupun sebenarnya Freud tidak pernah menyebut homosexualitas sebagai abnormalitas dan penyakit. Dalam sebuah suratnya pada tahun 1935, yang ditujukan kepada ibu, surat ini diberi judul “Letter to an American Mother”, menjelaskan bahwa homosexualitas, “ is nothing to be shamed of, no vice, no degradation, it cannot be classified as an illness “. Di dalam surat ini Freud juga menjelaskan bahwa ada banyak contoh orang-orang besar yang juga gay seperti Plato, Michael Angelo, dan Leonardo da Vinci.  Pada tahun 1910, Freud pun sudah menjelaskan tentang pandangan homoseksualitas yang dianggap abnormal itu karena, “heterosexuality was the guiding telos of development and ultimately the only “correct decision””.

Dalam berbagai kritik yang ditujukan kepada pandangan psikoanalisis yang melihat homoseksualitas sebagai abnormal dan dosa adalah karena pengetahuan ini juga diikuti dengan ideologi antihomoseksual. Pandangan ini dipengaruhi oleh konteks sejarah Eropa pada saat itu – intelektual yang tradisional, religius dan moralis – dalam memahami homoseksualitas. Selain itu di Eropa Barat pada awal kebangkitan christian era bersikap tidak toleran kepada orang homoseksual. Dan pandangan ini dilihat lebih bersifat dogmatik. Saat itupun tidak banyak penelitian-penelitian yang mengarah pada memahami homoseksualitas tapi penelitian-penelitian lebih diarahkan pada bagaimana menyembuhkan orang homoseksual, sehingga fokus penelitian sendiri sudah memposisikan homoseksualitas sebagai kategori abnormal, penyakit mental yang harus dan bisa disembuhkan.

Freud bahkan juga menegaskan bahwa psikoterapi yang ditujukan kepada orang homoseksual sebaiknya tidak dibayangkan akan bisa disembuhkan karena hal ini dipengaruhi oleh konteks keadaan zaman itu. Dan kritik juga ditujukan pada pandangan ini adalah soal bias budaya. pandangan psikoanalisis yang melihat orang homoseksual seolah universal dan cenderung esensialis. Padahal dalam beberapa budaya di dunia perilaku homoseksual dilihat sebagai hal yang biasa – dan hal ini sebenarnya bisa kita temukan sebelumnya dalam budaya-budaya nusantara -. Sayangnya pandangan dan pemahaman tentang LGBT ini bergeser karena pengaruh gerakan antihomoseksual dan homophobia.

 

Awal Pergeseran Pandangan Terhadap LGBT

Tahun 1956, Evelyn Hooker, psikolog yang meneliti orang-orang gay. Pada masa itu, umumnya orang gay masih dianggap penyakit dan masih harus berobat ke psikiatris untuk disembuhkan. Penelitian Hooker ini menjadi pioner untuk melihat dan membuktikan bahwa orang gay saat itu tidak patologis. Ia meneliti 2 kelompok – gay dan straight – dengan menggunakan salah satu alat yang disebut Rosrschach Inkblot Test ( test RO – alat pemeriksaan ini biasa digunakan untuk memastikan apakah orang mempunyai sakit mental atau tidak seringkali disebut dengan tes visual dengan memberikan gambar abstrak -Tes Bercak Tinta- dan meminta klien menggambarkankanya sesuai dengan fantasinya). Dan hasil test tersebut diberikan kepada ahli untuk memeriksa dan menemukan orang-orang yang gay. Hasilnya, mereka tidak bisa menemukan hasil test RO yang menyatakan ada orang gay. Dilanjutkan oleh June Hopkins pada tahun 1960 juga meneliti kelompok perempuan lesbian dan perempuan yang tidak lesbian, dan tanda dari yang menunjukkan lesbian dan alat test itu juga tidak terbukti.

Dimulai tahun 1970-an penelitian terkait dengan psikologi dalam memahami orang homoseksual tidak lagi berfokus pada patologis tetapi lebih mengafirmasi keberadaan LGBT. Karena itu, penelitian yang dilakukan adalah melihat bagaimana orang LGBT dengan beragam tema penelitian yang ditujukan untuk lebih memahami dan menerima LGBT, bukan dengan tujuan menghakim dalam ideologi heteronormatif. Penelitian tidak lagi dengan setting psikiatris dan patologis “penyembuhan” tetapi lebih ditujukan pada memahami dan meningkatkan kesejahteraan orang-orang LGBT.  Penelitian ini, seperti tentang identitas : bagaimana  mengembangkan identitas gay dan lebian (keluar dari homophobia yang sudah diinternalisasi), makna menjadi gay dan lesbian. Lalu tema-tema Relasi, homophobia dan anti diskriminasi pada gay dan lesbian, LGBT parenting, Lifespan development, keragaman etnik dan budaya,  pilihan fleksibilitas identitas seksual, dll.

Penelitian yang mengafirmasi LGBT ini juga membawa pengaruh pada perbaikan keadaan psikologis, sosial, ekonomi, hukum, politik dan spiritual orang-orang LGBTIQ. Gerakan-gerakan politik LGBT mulai terjadi dimana-mana, sejak peristiwa Stone Wall 1969 yang berdampak pada gay liberation.  Begitu pula pengetahuan yang menguatkan keberadaan LGBTIQ ini mendorong keberanian untuk mulai membela hak-hak mereka.

Kemudian tahun 1973, APA (American Psychiatric Association)  kategori homoseksual dikeluarkan dari kategori abnormal dalam DSM III.

 

LGBT: Periode HIV

Tahun 1980-an , kasus HIV mulai ditemukan. kasus-kasus awal ditemukan pada orang-orang gay. Penyakit yang awalnya dianggap sebagai “kutukan” kepada orang gay ini kemudian membuat dunia semakin membuka mata dan bersikap terbuka kepada gay. Apalagi  HIV kemudian bukan lagi menulari orang homoseks saja tetapi juga orang-orang  waria, heteroseks dan bahkan anak bayi yang baru dilahirkan pun bisa terinfeksi HIV. Dari isu “kutukan”, “akibat dosa” berubah menjadi memahami homoseksualitas dengan kaca mata keragaman. Dan bukan lagi melihat homoseksualitas sebagai kelompok yang spesifik berdiri sendiri tetapi melihatnya sebagai bagian dari masyarakat dan warga dunia.

HIV juga tidak lagi dipahami secara spefisik milik orang-orang gay dengan pendekatan biologis medis tetapi juga melihat dari persoalan keadilan sosial, hukum,  hak asasi, politik, ekonomi, pendidikan, agama dan budaya. Jadi persoalan HIV ini juga mendorong keberanian orang-orang untuk secara bersama-sama dengan orang-orang LGBTI bergerak dan saling memahami secara bersama-sama dalam gerakan kemanusian.

 

LGBT dan Sejarah Indonesia

Budaya nusantara mengenal LGBTI dengan beragam sebutan lokal seperti wandu, banci, tomboi (Jawa), warok dan gemblakan (di Ponorogo), Bissu, calalai, calabai, panter, lines  (Bugis, Makasar), dan lain-lain. Pada awalnya keberadaan mereka secara terbuka diterima oleh masyarakat dan tidak dimusuhi. Keadaan ini bergeser mengikuti sejarah Indonesia.  Sejarah kolonial Hindia Belanda yang konservatif –viktorian – mempengaruhi bagaimana orang-orang LGBTI ini dilihat dan dikategorikan. Selain itu sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia pun turut serta mempengaruhi posisi orang-orang LGBTI di dalam masyarakat. Bila pada budaya-budaya tertentu memberikan ruang yang cukup prestisius kepada Bissu dan lainnya maka dengan perubahan waktu dan berkembangnya berbagai ideologi lain, maka posisi-posisi inipun turut bergeser.

Bila dulu orang terbuka dan menerima keberadaan LGBT dengan beragam bentuk, sekarang justru orang cenderung memperlakukannya sebagai “satu kelompok kategori” yang sama. Seolah orang LGBT adalah satu kelompok homogen yang sakit mental dan harus disembuhkan dan ditobatkan karena mereka adalah kumpulan orang yang “berdosa”. Padahal situasi psikologis orang-orang LGBT tidak bisa disamakan dan digeneralisir.

Memang self stigma masih ada terjadi pada orang-orang LGBTIQ tetapi hal ini tidak bisa secara “buta” dianalisis dengan sederhana sebagai ego distonic homoseksuality. Secara psikologis dan lintas budaya, kita perlu memahami bagaimana proses internalisasi homophobia terjadi pada orang-orang LGBTIQ dan bagaimana hal ini juga bisa menimbulkan trauma yang bersifat kronis. Trauma ini bisa terjadi langsung dan atau vicarious traumatization (trauma karena terpapar cerita dan melihat orang lain yang trauma) kepada orang-orang LGBTIQ yang biasa dikelilingi dengan pengalaman kekerasan, diskriminasi, stigma, dan bahkan pembunuhan. Ragam efek trauma ini bisa bermacam-macam, mulai dari meyakini “ilusi positif”[1] dengan menghukum diri sendiri, seperti “aku LGBTI – buruk, dosa (self stigma) sehingga pantas mendapat hukuman (membiarkan diri mengalami berbagai kekerasan) dan sulit untuk membela diri (melihat diri secara positif).  Jadi memahami persoalan LGBTIQ yang menstigma diri sendiri mesti dilihat bukan dari soal psikologis saja, tetapi konteks situasi dan kondisinya (budaya dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya) menjadi sangat penting untuk dianalisis juga. Bagaimanapun kondisi psikologis seseorang –siapapun mereka – sangat kontekstual. Apalagi Indonesia memiliki berbagai macam bentuk keragaman seperti kelas, agama, budaya, gender, pendidik, dll.

Pada akhirnya, perkembangan homoseksualitas di Indonesia tidak lepas dari gerakan homoseksual di berbagai level baik ditingkat global, regional, nasional dan lokal. Juga gerakan ini beririsan dengan isu lainnya seperti politik, hukum, budaya, sosial dan agama.

 

*Penulis adalah koordinator Sobat Semarang, sebuah organisasi LGBT di Kota Semarang.

 

 

Catatan Kaki:

[1] Berceli David, Tension And Trauma Release Exercises, Metode Revolusioner untuk Pemulihan dari Stress dan Trauma, Sinotif Publising, Jakarta, 2015