Oleh: Rena Asyari
Suarakita.org – Suara jangkrik mulai memecah malam, dedaunan gemerisik ditiup angin kemarau. Ada udara yang menerobos masuk dari celah-celah pintu dan jendela menjadikan suhu kamar ini dingin.
Nyai Ontosoroh mulai menggigil. Setiap malam diawalinya dengan tangisan kecil. Malam baginya adalah penyerahan tubuh pada sang empunya uang, yakni suaminya. Melacurkan diri, begitulah Ontosoroh menamainya. Malam baginya seperti serigala yang sedang mengendap-ngendap kelaparan. Sejak dia menjadi Nyai, kehidupan hanya sebuah siklus tanpa makna. Tembang-tembang Centhini yang pernah ia baca tentang senggama yang indah seolah menjadi uraian kata tanpa isi.
Gelap dan pekat malam membuat Ontosoroh mahir memainkan peran. Berbagai topeng dicobanya. Dia mulai belajar mengenakan topeng ketika menginjak remaja. Dilihatnya orang- orang sekelilingnya juga begitu. Sepupunya, Rukmini senang sekali memakai konde dan gincu yang tebal, Rukmini berjualan di pasar. Pinggulnya megal-megol setiap kali berjalan apalagi ditambah dengan siulan laki-laki. Jika sore tiba, Rukmini mengurut-ngurut mengolesi betisnya dengan minyak kelapa. Gaya berjalan yang dibuat-buatnya agar menarik hati laki-laki membuat Rukmini pegal-pegal seharian. Harinah, budenya selalu lembut pada tetangga, gelar bu lurah yang disandangnya membuat ia harus selalu menjadi dewa penyelamat untuk warganya. Tak jarang, sepanjang malam Inah menggerutu kepada suaminya Sarkim. “beras habis, uang juga habis, semuanya kuberikan untuk wargamu”. Kalau kau tak ikhlas kenapa kau berikan itu pada mereka, ujar Sarkim. Oalah…mas, kau tak paham rupanya, aku berbuat begitu agar posisimu sebagai lurah aman, tak diambil orang. Empat belas tahun usia Ontosoroh kala itu, dia manggut- manggut dari balik pintu. Mencoba belajar tentang kepalsuan.
Pada mulanya Ontosoroh berharap baktinya kepada orangtua berbalaskan pahala dan pahala itu diterjemahkan dalam harapan untuk bahagia. Tapi nyatanya tidak sesederhana itu, terkadang penyerahan tubuhnya menghasilkan puisi. Seperti orang gila, dia bersenandung lirih dengan mata menatap langit-langit kamar secara nanar.
kamu lucuti satu persatu ssshhhh…katamu
mulutku bungkam tapi hatiku tidak
tanganku mengepal, mataku menatapmu nyalang
lalu aku pun merintih kesakitan dan kamu merasa menang aku mengerang kamu senang
aku menangis kamu tergelak aku menerawang kamu terpejam
tanganku pegal memegang daging tak bertulang
aku mual hendak muntah ketika semua berjejal di mulutku tak lebih kental dari ingus
tak lebih cair dari air
kuusap pahaku, cairan di mana-mana bercampur dengan air mata
hingga sukar kubedakan
mana benih mana hasil
Kadangkala Ontosoroh membayangkan persetubuhan bersama Rauf pemuda yang dicintainya. Rauf berkulit legam dan bekerja sebagai buruh panggul di pasar. Jika persetubuhan dengan Rauf, mata Ontosoroh kembang kempis, senyumnya pun menipis. Ontosoroh percaya, Rauf adalah satu-satunya yang membuat cinta tak mesti terluka.
Kaki-kaki kita menepi di bibir pantai Debur ombak membuyarkan lamunan Menyapu semua yang melekat padanya Basah… semua basah.
Burung hilir mudik mengangkasa
Menatap cemburu pada dua makhluk yang digulung ombak Terhempas air dan mata terpejam
Kaki kita saling melekat Tubuh kita tanpa sekat
Debur ombak membuat kita terhenyak Lalu kita sama-sama tersentak
Basah… semua basah.
Suatu ketika suaminya tak sengaja menemukan catatan Ontosoroh tentang Rauf di buku hariannya. Mukanya merah. Marah. dipanggilnya Ontosoroh. Suaranya menggelegar mengalahkan ringkik kuda yang ada di kandang belakang rumah, beberapa pekerja di rumahnya segera undur diri. Mereka paham akan situasi, bukan sekali dua kali majikannya semarah itu. Tuan memang biasa begitu, apalagi kalau dalam keadaan mabuk. Begitu kata mereka.
Ontosoroh mendekat, raut mukanya pasrah tapi tegas. Dia geraikan rambutnya yang biasanya tergulung rapih. Dia pakai gincu berwarna merah norak, dia pakai segala perhiasan, dia pakai baju terbaiknya, dia kenakan selop tinggi. Suaminya kaget, Ontosoroh di hadapannya menjelma seperti pelacur.
“Kenapa kamu berdandan seperti ini, kita tak hendak ke pesta” Ontosoroh tersenyum sinis, “bukankah ini yang kamu inginkan?”
Suaminya hanya mampu menggeleng, dalam hatinya dia menyadari bahwa dia telah menikahi perempuan yang cerdas.
Ontosoroh tak mau berpasrah diri. Rauf menjadi kekuatan dirinya. Dia telah tahu bahwa Rauf adalah pelabuhan terakhir tempat dia merangkum segenap cerita. Ontosoroh mengingat pertemuan terakhirnya dengan Rauf enam bulan lalu. Kala itu Rintik hujan baru saja reda, menyisakan air di atap genting yang turun tetes demi tetes melalui talang air, teras dan daun- daun menjadi basah, seperti bibirnya yang juga masih basah setelah meminum kopi dengan tegukan terakhir tadi. “Seminggu lagi aku pergi ke Malaysia, bekerja di pasar tak lagi cukup. Aku ingin mencoba peruntungan di negeri Orang” Ujar Rauf. Ontosoroh bimbang, dia merasa
akan kehilangan cinta. Jarak dan ruang selalu mampu menjadi pembatas. Ontosoroh merencanakan dirinya untuk minggat, Rauf berjanji akan menunggunya di pelabuhan untuk segera berlayar bersama.
Ontosoroh ingat, malam ini Rauf tengah menunggunya, tapi dia belum menemukan cara untuk minggat. “Ontosoroh aku mencintaimu, aku punya harta berlimpah, puluhan ekor kuda, tanah berhektar-hektar. Semuanya akan kuwariskan jika kau punya keturunan dariku. Pernikahan kita telah enam bulan. Beragam cara telah kulakukan agar kau bisa hamil, tapi kau sendiri tak ada usaha Ontosoroh. Aku ini sudah tua. Sebentar lagi tubuhku akan habis di makan cacing, engkau masih muda, cantik dan cerdas. Ketika menjadi jandaku engkau masih akan laku, kau bodoh kalau kau meninggalkan aku hanya untuk laki-laki melarat itu. Sabarlah sedikit, tunggu aku sampai mati”.
Hati ontosoroh mulai melunak, dia menarik lengan suaminya untuk segera melakukan percumbuan. Dia menginginkan anak. Dia menginginkan harta.
Ontosoroh menggila di ranjang, topeng mulai dia kenakan. Dilihatnya suaminya puas. Semoga benih tertanam di rahimnya, bayangan dia akan menjadi kaya raya berkeliaran di kepalanya. Ya.. dia akan menjadi janda dari tuan Mellema.
Cerita ini mengambil fragmen dari buku Bumi Manusia – Tetralogi Pulau Buru Karya Pramodya Ananta Toer.