Oleh: Hartoyo, Direktur Suara Kita
Suarakita.org – Gabungan organisasi mahasiswa melayangkan surat terbuka terhadap Lingkar Study Ciputat (LSC). Surat terbuka yang dilayangkan oleh gabungan organisasi mahasiswa tersebut bermula dari sebuah aksi protes yang dilakukan oleh Lingkar Study Ciputat (LSC) didepan gedung DPR RI beberapa waktu yang lalu dan dianggap melecehkan perempuan.
Salah satu elemen mahasiswa yakni Korps HMI-wati cabang Ciputat (KOHATI-Ciputat) menyatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh LSC sangat diskriminatif dan melecehkan perempuan.
“Kami menyayangkan penggunaan simbol-simbol yang diskriminatif dan subordinat sebagai alat untuk mengkritik dan menuntut keadilan”, demikian pernyataan KOHATI-Ciputat seperti tertulis dalam surat terbuka mereka di media sosial.
Sebelumnya kelompok LSC memang telah melakukan aksi protes (10/9) terhadap pemerintahan Jokowi-JK dengan menggunakan pakaian dalam yang biasa digunakan oleh perempuan, dalam hal ini BRA/BH. Beberapa orang (laki-laki) yang terlibat dalam aksi tersebut bertelanjang dada tanpa baju dan hanya menggunakan BRA/BH dengan menggunakan topeng berwajah Jokowi dan JK.
Simbol BRA/BH yang biasa digunakan oleh perempuan maupun waria dalam aksi protes tersebut adalah bentuk protes LSC terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang dianggap lemah, lamban dan tidak becus memimpin. Di pihak lain, KOHATI-Ciputat melihat bahwa cara pandang itu sangat bias gender karena meyakini bahwa perempuan sebagai pihak yang lemah, lamban dan tidak becus.
Dalam surat terbuka tersebut, KOHATI-Ciputat dan jaringannya menuntut LSC untuk; 1. Mengklarifikasi mengapa menggunakan simbol pakaian dalam perempuan, 2. Meminta maaf kepada publik atas penggunaan simbol perempuan, 3. Berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Aksi yang dilakukan oleh LSC juga mendapatkan protes keras di media sosial (facebook) oleh salah satu aktivis buruh migran, Wahyu Susilo yang menyampaikan protes keras terhadap aksi yang dilakukan LSC dalam sebuah status facebooknya. “Para mahasiswa ini pasti tidak dilahirkan dari rahim perempuan (yang jadi obyek penghinaan mereka) dan besar dari air susu ibu-nya. Para mahasiswa ini lahir dari pantat penggorengan dan besar dari air comberan”, kata Wahyu.
Menurut pengamatan penulis, selama ini memang masih banyak ditemui aksi atau demontrasi yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun masyarakat sipil menggunakan simbol-simbol feminin untuk menyatakan ketidakberesan kebijakan. Biasanya menggunakan BH atau pakaian dalam yang digunakan oleh perempuan. Bahkan ada warna tertentu yang disimbolkan, seperti celana dalam dan BH warna hitam sebagai simbol pengecut atau “pelacur”.
Sebenarnya jika dilihat lebih jauh, aksi yang dilakukan oleh kelompok LSC bukan sebatas “keperempuanan” saja yang dilecehkan tetapi lebih jauh sedang merendahkan sebuah simbol feminin. Ketika BH yang digunakan oleh orang yang berpenis dalam hal ini laki-laki, sering diartikan bahwa laki-laki itu feminin, kemayu, yang biasa dalam masyarakat disebut sebagai banci atau bencong.
Tentu saja identitas banci atau bencong yang disimbolkan tersebut tidak bermakna positif tetapi bermakna merendahkan, pengecut, menyimpang bahkan penyakit. Menurut penulis, itulah sebenarnya yang sedang digambarkan oleh LSC bahwa feminin adalah sebuah makna yang bermasalah, baik melekat pada manusia bervagina (perempuan) apalagi pada manusia berpenis (laki-laki).
Kembali pada aksi LSC, Jokowi dan JK sebagai manusia yang identitasnya laki-laki telah dianggap lemah dan tak berani sebagai pemimpin, maka cukup dilekatkan pada tubuhnya dengan pakaian feminin, dalam hal ini BH. Secara tidak langsung, para pendemo itu sedang menyimbolkan bahwa Jokowi dan JK bukan laki-laki maskulin dan bukan laki-laki pemberani sebagai pemimpin. Tapi manusia berpenis yang feminin, yang masyarakat menyebutnya sebagai banci atau bencong. Sebuah identitas yang dikonstruksikan dan dimaknai oleh masyarakat dan negara sebagai identitas yang tak berguna, tak sempurna, menyimpang, tak berani dan pengecut.
Kata banci memang sering dimaknai sebagai simbol sesuatu yang salah dan tak berguna. Misalnya sering orang menggunakan kata “banci” untuk menjelaskan atau mengungkapkan sebuah kebijakan yang buruk atau bermasalah dengan sebutan, “kebijakan banci”.
Ironisnya, seorang aktivis perempuan dalam sebuah wawancara di film dokumenter Pertaruhan menggunakan kata “banci” ini untuk menjelaskan kebijakan kesehatan reproduksi di Indonesia yang bermasalah. Ketika saya (penulis) dalam acara nonton bersama mengkritik pernyataan itu sebagai ungkapan yang bias gender, justru ada aktivis lain yang membela bahwa sang aktivis perempuan tersebut tak bermaksud merendahkan kelompok lain walaupun menggunakan kata “banci”.
Mungkin benar bahwa aktivis perempuan di film Pertaruhan dan kelompok LSC tersebut tak bermaksud merendahkan simbol feminin, ketika ingin mengungkapkan dan menjelaskan sesuatu yang buruk atau bermasalah. Tetapi faktanya kata dan makna “banci, bencong dan feminin” sadar atau tidak sadar telah mengakar begitu kuat dalam pikiran kita sebagai sesuatu yang bermasalah.
Jean Baurillard dan Jacques Derrida, dua tokoh pemikiran postmodernis yang fokus pada masalah simbol menyatakan bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. Menurut pendapat tersebut, berarti bahwa simbol BRA/BH dan laki-laki feminin mempunyai makna. Sehingga bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa kelompok LSC dan aktivis perempuan yang ada dalam film Pertaruhan itu telah memberi makna terhadap simbol BRA/BH yang dipakai oleh laki-laki sebagai sesuatu yang lemah atau tidak beres.
Demikian pula, ketika kita mendengar kata banci atau bencong maka secara langsung atau refleks otak kita menghantarkan pesan “bermasalah”. Sehingga pesan itulah yang kemudian tertuang dalam aksi-aksi kita, baik dalam bersikap, berucap maupun bertindak. Seperti yang dilakukan oleh kelompok LSC dan aktivis perempuan yang ada dalam film Pertaruhan tersebut. Walaupun Derrida juga menyampaikan bahwa sebuah simbol atau tanda bisa dimaknai beragam oleh seseorang, baik bermakna positif, netral maupun negatif.