Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org – Sebagai bagian dari LGBT, saya (penulis) tak jarang mendapatkan diri pada posisi ‘politis’ hanya agar diterima oleh orang-orang sekitar saya. Misalnya, “Oke kamu gay, tapi kamu harus tunjukin bahwa kamu bisa lebih sukses dibandingkan mereka (yang heteroseksual). Dengan begitu orang-orang akan segan sama kamu”. Terdengar biasa saja memang, namun terpikirkah kalian bahwa sebenarnya mereka telah melakukan double standard kepada kita?
Double standard sendiri memiliki arti peraturan atau prinsip yang diberlakukan secara tidak adil kepada seseorang atau terhadap suatu kelompok.[1] Sederhananya, kita dipaksa untuk mencapai 200% hanya untuk mendapatkan sebuah penerimaan masyarakat. Sedangkan orang-orang yang “mayoritas” tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan sebuah pengakuan yang setara. Kasarnya, dengan berdiri membatu saja mereka sudah mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekitarnya, ditambah lagi jika dirinya seseorang yang memegang peran besar di masyarakat seperti pemuka agama, atau orang yang disegani di lingkungannya.
Tidak hanya pada lingkungan pertemanan atau di luar rumah, double standard ini juga terjadi di lingkungan rumah dan dilakukan oleh orang-orang dekat atau keluarga. Orang tua, kepada anak mereka yang LGBT, biasanya menyuruh anaknya itu untuk lebih rajin beribadah, lebih rajin belajar, dan lain sebagainya. Sedangkan kepada anak mereka yang bukan LGBT mereka cenderung biasa saja.
Mengapa demikian? Sudah jelas bahwa LGBT masih dianggap sesuatu yang buruk. Ketidakpahaman orang-orang tentang isu LGBT membuat mereka beranggapan bahwa LGBT adalah sebuah kelompok yang tidak bisa sukses karena mereka LGBT. Padahal semua orang memiliki kesempatan untuk sukses dan kesempatan untuk gagal yang sama, terlepas apapun orientasi seksual maupun identitas gendernya. Justru yang membuat LGBT gagal dalam berkarir seringkali berasal dari faktor luar seperti penolakan mentah-mentah atau diskriminasi di tempat kerja.
Mengapa orang cenderung melakukan double standard? Sebuah artikel[2] menjelaskan alasan-alasan orang melakukan double standard kepada orang lain. Yang pertama, orang-orang membuat pengecualian. Contoh, “Dia gay, dia tidak seharusnya bekerja sebagai pejabat negara” dan lain sebagainya. Yang kedua, Emosi. Contoh, jika seseorang yang dihormati melakukan kesalahan, maka biasanya kesalahan tersebut akan dilupakan dengan cepat. Namun berbeda ketika orang yang dibenci melakukan kesalahan yang sama, maka kesalahan itu akan diingat terus menerus. Ketiga, keinginan untuk melakukan hal yang benar versi mereka. Biasanya orang-orang yang keras pendirian terhadap apa yang diyakininya benar, akan menganggap apapun yang diyakini oleh orang lain adalah sesuatu yang salah.
Dari artikel tersebut, cukup jelas bahwa double standard adalah sebuah diskriminasi. Hanya dikarenakan orientasi seksual seseorang atau identitas gendernya, orang itu diperlakukan secara berbeda. Seolah-olah orang tersebut diposisikan pada posisi yang “politis” itu tadi, antara memenuhi syarat/standard yang sudah dibuat, atau jika tidak, keberadaannya tidak akan diakui oleh masyarakat.
Sebenarnya double standard ini tidak hanya terjadi pada LGBT, namun juga terjadi kepada kelompok-kelompok marjinal lainnya. Seperti misalkan para penganut agama adat tradisi yang diperbolehkan melakukan ritual peribadatannya namun dilarang menggunakan pengeras suara. Apa lagi ketika kita membahas tentang jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Sering kali perempuan mendapatkan double standard ini ketika misalkan dirinya tidak memiliki anak dan dicap sebagai perempuan yang “selfish”, ketika memiliki tempat tinggal yang berantakan, atau juga ketika memiliki teman kencan yang lebih dari satu.[3]
Apapun alasannya, double standard adalah sebuah tindakan diskriminatif yang seringkali merugikan. Dan double standard pada LGBT adalah sesuatu yang lucu dan konyol. Dimana orang-orang masih menilai seseorang berdasarkan orintasi seksual dan identitas gendernya, bukan dari kemampuan kerja individu tersebut. Dan saya masih memimpikan ketika semua orang dinilai dan dihargai secara sama dan setara apapun dan bagaimanapun dirinya.
*Wisesa Wirayuda, Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Double_standard
[2] http://www.2knowmyself.com/why_do_people_have_double_standards
[3] http://www.huffingtonpost.com/2014/03/07/things-women-judged-for-double-standard_n_4911878.html