Search
Close this search box.

[KISAH] Nisha Ayub: Wajah Keberanian Transgender dari Malaysia

Oleh : Tunggal Pawestri*

Suarakita.org- Pada tanggal 10 Agustus 2015, Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang berkantor pusat di New York Amerika Serikat mengumumkan nama penerima penghargaan tahunan mereka ‘Alison Des Forges Award for Extraordinary Activism’.

Penerimanya adalah empat orang aktivis yang mempertaruhkan hidup mereka untuk membela hak asasi manusia. Dari situs HRW, Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW menyatakan bahwa penghargaan Alison Des Forges diberikan kepada orang-orang luar biasa yang bersemangat dan berani bekerja untuk kelompok yang paling rentan.

Penghargaan kepada pembela HAM sudah secara rutin diberikan oleh HRW kepada pembela HAM sejak tahun 1996. Awalnya penghargaan ini bernama ‘Human Rights Defender Award’, namun sejak tahun 2009, penghargaan ini dinamai Alison Des Forges, sesuai dengan nama salah satu perempuan aktivis HAM dari Amerika, penasehat senior HRW divisi Afrika, ahli mengenai persoalan konflik dan genosida di Rwanda yang wafat karena kecelakaan pada tahun 2009.

Tahun ini, salah satu penerima penghargaan Alison Des Forges adalah Nisha Ayub (36 tahun) dari Malaysia. Ia seorang transgender male to female (waria) yang gigih memerjuangan hak-hak kelompok transgender terutama saat kelompok ini menjadi target utama dari Hukum Shariah di Malaysia. Perlu diketahui, di Malaysia, selain hukum sipil, tiap Negara bagian memiliki hukum Shariah yang berbeda-beda dalam penerapan dan sanksi hukumnya. Namun, hampir semua negara bagian mengkriminalisasi transgender karena dianggap tidak berpenampilan sesuai dengan jenis kelamin mereka.

“Saya Mau Berjuang Untuk Hak-Hak Saya, Hak-Hak Transgender”

Nisha Ayub lahir dari keluarga Muslim yang taat di Melaka Malaysia. Saat saya menemuinya di sebuah lokakarya regional untuk Transgender yang di gagas oleh ISEAN HIVOS di Kuala Lumpur pada hari Sabtu (15/8), ia mengatakan bahwa ia termasuk beruntung karena lahir dan besar dari keluarga yang selalu mendukungnya. Ia mampu mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah, berpakaian sesuai dengan gender yang ia yakini, memperoleh pekerjaan dan menguasai tiga bahasa asing: Inggris, Mandarin dan Tamil.

Usianya masih 21 tahun ketika Nisha Ayub ditangkap oleh polisi. Saat itu ia sedang jalan-jalan bersama teman-temannya di Melaka, sebuah Negara bagian di Malaysia. Kebetulan hari itu ia sedang cuti dari pekerjaanya sebagai seorang front desk di sebuah Hotel di Melaka. Nisha mengatakan bahwa ia tidak tahu sama sekali jika menggunakan pakaian perempuan dapat membuatnya di penjara.

Selama tiga bulan ia mendekam di penjara, penjara laki-laki. Di dalam penjara inilah ia mengalami kekerasan. Identitas gendernya dirampas oleh Negara. Pelbagai macam kekerasan ia alami dan yang terburuk adalah saat ia mengalami kekerasan seksual.

Matanya berkaca-kaca saat ia mengatakan bahwa “I got my first sex experience in prison, can you imagine? I was raped” (Saya mendapatkan pengalaman seksual pertama saya di penjara, bisa kamu bayangkan? Saya diperkosa). Peristiwa inilah yang kemudian mengubah hidup Nisha. Ia mengeraskan hatinya untuk melawan situasi seperti ini, ia tak sudi melihat transgender lainnya mengalami hal serupa

Sekeluar dari penjara, Nisha kuatir perusahaan-perusahaan tidak lagi mau menerimanya bekerja di Melaka maka Nisha memutuskan untuk pindah ke Kuala Lumpur. Berbagai pekerjaan ia lakoni hingga sampai pada tahun 2006 ia memutuskan bergabung dengan Pink Triangle Foundation, sebuah organisasi yang fokus pada isu HIV, kesehatan seksual dan banyak bekerja dengan pendekatan kesehatan terutama untuk pengguna jarum suntik, pekerja seks dan transgender. Di situlah ia mengenal inspiratornya, Sulastri Arifin, seorang transgender yang penuh pengetahuan mengenai hukum dan hak asasi manusia.

Nisha bertekad untuk belajar banyak dan mengabdikan diri untuk komunitas. Maka ia memulai kerja sebagai petugas penjangkauan atau staf lapangan, bekerja secara sukarela sampai kemudian ia diangkat menjadi program manager untuk Transgender di Pink Triangle. Nisha terus belajar dan mengikuti semua pelatihan yang disediakan oleh lembaganya. Ia mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menjadi paralegal dan mulai secara khusus memerhatikan kasus-kasus terkait HAM dan hak-hak hukum Transgender.

Nisha menjelaskan mengenai aktivitas organisasinya. (Foto : Tunggal Pawestri)
Nisha menjelaskan mengenai aktivitas organisasinya.
(Foto : Tunggal Pawestri)

Hingga pada tahun 2012, Nisha bersama Thilaga Sulathireh, seorang perempuan, pengacara muda yang mendukung hak-hak LGBT menjadi kuasa hukum tiga orang Transgender untuk melakukan judicial review atas Hukum Shariah di Negeri Sembilan, salah satu Negara bagian di Malaysia. Ini menjadi kasus hukum terberat dan terbesar yang pernah ia kerjakan. Mereka meminta agar Pengadilan Tinggi mencabut pasal yang terkait dengan kriminalisasi Transgender atas penampilan dan ekspresi gender mereka karena tidak sesuai dengan Konstitusi Federal. Mereka kalah pada saat itu namun mereka mengajukan banding. Lewat kasus inilah Nisha Ayub dan beberapa pengacara mulai berkonsolidasi dan membentuk kelompok Justice for Sisters. Meski belum banyak pengacara yang bersedia secara sukarela mendukung dan memperjuangkan hak-hak hukum Transgender, namun Nisha merasa makin percaya diri bahwa ke depan di luar sana ada banyak orang yang bersedia membantu kelompok Transgender

Proses banding yang dilakukan oleh Nisha dan rekan-rekan pengacaranya memakan waktu dua tahun. Baru pada November 2014, Mahkamah Konstitusi akhirnya memenangkan banding yang diajukan oleh Nisha dan rekan-rekannya. Hukum shariah yang mengkriminalisasi Transgender di Negeri Sembilan dianggap tidak sesuai dengan konstitusi.

Kendati Nisha dan rekan-rekannya telah memenangkan kasus ini, kelompok relijius konservatif tidak menerima begitu saja. Justru mereka kian meradang karena kelompok Transgender telah menggoyang kuasa mereka. Maka pada awal tahun ini kelompok relijius tersebut menggugat kembali Mahkamah Konstitusi dengan membawa argumentasi yang berbeda. Pada sidang pertama di bulan Juli kemarin, MK menolak gugatan mereka. Perlawanan dari kelompok relijius konservatif ini nampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Sebagai aktivis, ada saat dimana Nisha merasa frustasi dan letih dengan kerja-kerjanya, namun Nisha memutuskan untuk terus bekerja, berjuang. Tantangan terbesarnya saat ini adalah menjaga semangat diri sendiri karena ibunya yang tinggal seorang diri sedang menderita Kanker. Satu sisi ia harus terus aktif bekerja untuk komunitas, sisi yang lain ia harus menjaga ibunya yang sakit. Penggalangan dana untuk terus menghidupkan SEED (Social and An Enabling Environment Development) organisasi yang ia dirikan di tahun 2013 juga menjadi pekerjaan berat yang ia harus lakukan. Terlebih kian sulit untuk mendapatkan dukungan pendanaan untuk organisasi semenjak Malaysia sudah dianggap sebagai Negara yang sudah maju secara ekonomi.

Saat saya bertanya kepada Nisha mengenai arti penghargaan dari HRW, Nisha berkata pelan dan matanya sedikit berkaca “penghargaan terbesar yang sesungguhnya saya dapatkan adalah saat kawan-kawan di komunitas mengucapkan terima kasih atas upaya dan kerja-kerja saya”. Nisha melanjutkan “penting bagi saya untuk mengetahui bahwa apa yang saya lakukan adalah betul yang diinginkan oleh komunitas dan berguna bagi komunitas.”

Serupa dengan mimpi banyak rekan-rekannya di Malaysia dan juga seluruh dunia, Nisha berharap adanya perubahan cara pandang dan perlakuan hukum terhadap kelompok LGBT. Nisha meyakini bahwa perubahan bisa terjadi jika semua jejaring sungguh-sungguh berkehendak untuk bekerja bersama.

 

*Penulis adalah pendukung dan promotor hak-hak perempuan dan LGBT.