Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Sebut saja namanya Alfi. Seorang pegawai rumah makan cepat saji yang sudah menjadi sahabat saya sejak SMP lalu. Pada awalnya saya melakukan come out[1] kepadanya sekitar dua tahun yang lalu, dan tanpa diduka dirinya menerima saya dengan mengatakan bahwa saya masihlah sahabatnya. Dari responnya itulah saya semakin nyaman untuk bercerita tentang kehidupan saya, relasi saya dengan pacar saya, dan juga hubungan saya dengan keluarga saya. Saya kira dia sudah mengetahui semuanya tentang seluk beluk hidup saya sekarang.
Selang beberapa tahun setelah itu, gilirannya lah come out kepada saya. Sahabat yang saya kenal sejak SMP ternyata adalah seorang gay juga! Awalnya dia menanyakan tentang perasaan aneh yang dia rasakan ketika bertemu laki-laki di tempat kerjanya. Katanya, ada perasaan deg-degan yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang belum pernah dia rasakan kepada perempuan. Dan kemudian barulah dia mengatakan pada saya bahwa dirinya juga seorang gay.
“No. Aku bukan biseksual. Aku gay. Dan kalau kamu pikir ini tiba-tiba, sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama sekali.” Aku mengatakan padanya bahwa bisa saja dia biseksual, tapi ya sudahlah. Bukan hakku untuk menentukan identitasnya.
Beberapa hari setelah itu, ketika saya sedang berlibur bersama pacar saya. Alfi kembali mengirimi saya pesan singkat. Terus terang saya agak kaget karena dia mengirimi saya pesan singkat di tengah malam dan menurut smsnya, dia sedang menangis. Dia bingung, dengan orientasi seksualnya, dengan hidupnya yang menurutnya stuck tidak ada kemajuan, dan ada perasaan takut kepada keluarganya karena dia sudah mulai mendapatkan pertanyaan “Mana pacar(perempuan)nya?”
“Kenapa kamu bow?” bow adalah panggilan akrabnya, aku dan teman-temanku yang lain biasa memanggilnya dengan sebutan itu.
Kemudian dia membalas pesan singkatku dalam bahasa inggris, dia mengatakan bahwa dirinya bingung. “Aku tidak bisa kuliah, aku bekerja di rumah makan cepat saji, libur hanya satu hari per minggu, laki-laki yang aku taksir ternyata pindah tempat kerja sehingga aku merasa sendirian, dan sekarang aku hanya bisa meratapi nasibku sebagai gay. Aku bahkan tak percaya aku mengetik pesan singkat ini sembari aku menangis.”
Yang bisa aku sampaikan tidaklah banyak, aku hanya mengatakan padanya bahwa gaji yang ia miliki sudah lebih dari cukup, bahkan aku seringkali mendengar dia mendapatkan bonus dari kerja lembur. Aku juga mengatakan bahwa kuliah bukanlah sebuah indikasi seseorang akan sukses besar. Semua memiliki kesempatan yang sama.
Selesai dengan permasalahan kerjaan dan kuliah, kami beranjak membicarakan tentang masalah keluarga. Dia katakan bahwa dirinya sudah “ditagih” oleh orang tuanya, dan Alfi mengatakan bahwa dia hanya bisa tersenyum kepada ibunya tanpa menjawab apa-apa lagi. Waktu itu, saya memberinya solusi yaitu dengan melakukan come out, namun dia menolak. Dia merasa takut untuk come out. Dan segera aku menyadari bahwa solusi yang aku berikan padanya adalah salah. Tidak semua permasalahan akan selesai hanya dengan kita melakukan come out.
Faktor keluargalah yang membuat Alfi merasa tidak perlu melakukan come out, dia merasa cukup dia saja lah yang mengetahui tentang orientasi seksualnya (mungkin ditambah dengan saya dan sahabat yang lain). Alfi menghindari risiko kehilangan keluarga kecilnya itu ketimbang hanya untuk melakukan come out saja. Menurut Alfi, dia masih merasa mampu untuk berjalan melalui “jalur belakang” tanpa sepengetahuan orang tua.
“Aku tidak akan bilang pada mereka, karena Kamu tahu sendiri bagaimana mereka jika sudah membahas agama, kan?”
“Kalau begitu, apapun yang terjadi nanti, kamu harus tetap sayang pada mereka.” kataku.
Karena kita juga tidak bisa menutup kemungkinan bahwa suatu hari orang tuanya akan tahu juga.
“That’s on my list.” katanya diakhiri dengan emoticon senyuman.
Saya yakini itu adalah pilihan yang dia ambil, dan saya tidak bisa ikut campur untuk itu. Yang bisa saya lakukan adalah hanya mendukungnya dan memberikan informasi mengenai LGBT dan lain-lain.
Selesai dari sana, pembicaraan kembali serius. Dia katakan bahwa laki-laki incarannya kini sudah pindah dari tempat mereka bekerja sehingga dia merasakan yang namanya “patah hati”.
Aku menyarankannya untuk mengunduh applikasi jejaring sosial khusus gay karena saya tidak menyarankan dia untuk mencari pasangan di facebook,. Namun dia menolak. Dia katakan bahwa dia tidak ingin “mencari” tetapi lebih ingin menunggu untuk “ditemukan”. “Aku bukan tipe yang agresif mencari seperti itu. Ahahaha.”
Saya katakan padanya bahwa saya menghargai keputusannya itu, hanya saja jika begitu maka dia harus menunggu seseorang itu lebih lama lagi dan harus berhenti merengek merasa kesepian. Dan saya juga mengatakan pada Alfi bahwa, “This life isn’t f*ckin Glee[2]!” Saya rasa dia juga setuju akan hal itu.
Malam itu terasa lama, selain suara dengkuran pacar saya yang tertidur pulas di sebelah saya, namun keheningan malam itu memberikan saya pelajaran bahwa pilihan itu ada. Dan entah mengapa, setelah memikirkan itu, giliran aku yang menangis. Membayangkan apa jadinya jika aku tidak melakukan come out. Yang kemudian langsung saya sadari bahwa jalan cerita yang kami miliki pasti berbeda. Dan semua orang memiliki garis cerita yang berbeda-beda.
*Penulis adalah mahasiswa STSI dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.
Catatan Kaki:
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Coming_out
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Glee_%28TV_series%29