Search
Close this search box.

[KISAH] Cinta Tak Kenal Status

Oleh : Oriel Calosa*

Suarakita.org- Selama ini, nyaris dalam benak kita tidak pernah terpikirkan bagaimana jika seorang pasangan Gay saling terbuka dengan status HIVnya. Karena kisah-kisah yang ada dalam ruang isu HIV dan AIDS, pasangan Diskordan (satu pasangan terinfeksi HIV dan satu tidak terinfeksi – red) hanya ada dalam cerita mereka yang heteroseksual.

Kisah seorang lelaki dengan HIV+ karena pengguna IDU (Injection Drugs User) yang mempunyai istri seorang HIV negatif dan sudah menikah selama dua tahun dan dikaruniai satu anak atau seorang wanita janda yang HIV positif dan menikahi pria dengan HIV negatif dan sedang menjalankan program anak dengan beberapa syarat seperti CD4 (Salah satu materi kekebalan tubuh yang digunakan untuk mengetes tingkat kekebalan tubuh seorang HIV Positif) yang minimal 500 atau kisah “Keberhasilan Cinta” pasangan diskordan heteroseksual dalam menjalankan fungsi sosialnya.

Ditemui di salah satu layanan kesehatan, saya bertemu dengan salah satu pasangan diskordan Gay yang bagi saya bisa memberikan inspirasi bagi setiap orang dan membuka paradignma baru tentang seorang HIV positif dari komunitas Gay.

Sebelum bercerita, salah satunya saya sampaikan bahwa kisah hidup mereka ingin saya tuangkan dalam cerita dan dijawab “Tulis aja yang ingin kamu tuliskan, kamu tahu kisah hidupku dari awal. Yang penting tetap terjaga saja.”

S mulai bercerita bahwa dahulu, dia mengetahui status (sebagai seorang HIV Positif) saat ada penyuluhan di sebuah LSM dan perasaanya saat itu sangat kacau, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa sampai pada bulan Januari 2014 dia dipertemukan oleh H dan singkat cerita, H menyatakan rasa sukanya kepada S.

Namun S masih sangat ragu dengan statusnya sebagai HIV Positif hingga pada akhirnya S memberanikan diri untuk terbuka dengan statusnya sebagai seorang HIV Positif kepada H.

“Mending jangan sama aku. Aku dah kena HIV,” kata S.

“Terus kenapa kalau kamu kena HIV. Aku mau kok menerima, kan justru orang kayak kamu kan butuh dukungan dan aku mau menerimamu apa adanya,” jawab H.

Tentu ada pertanyaan besar mengapa H sebegitu beraninya untuk menerima S sebagai pasangannya, keberanian yang dia berikan untuk menerima S apa adanya membawa pada satu jawaban

“Karena aku sayang dia. Kalau memang aku udah sayang, ya aku harus menerima sisi baik dan sisi buruknya termasuk status HIVnya,” jawab H.

Ketika ditanyakan apakah ada ketakutan dengan status pasangan yang HIV positif, lebih lanjut H menuturkan, “Justru saat ini, aku lebih bisa memahami dia (S – red), aku yang lebih rajin ngambil obat secara rutin karena S kan kerja dan datang ke KDS (Kelompok Dukungan Sebaya – red) sampai-sampai aku yang dikira HIV Positif (sesaat H tertawa) tapi ya sudahlah… yang penting aku selalu tes rutin tiap tiga bulan sekali dan malah bisa nasehatin kawan-kawan buat tes VCT dan ikut mendampingi kawan-kawan yang HIV positif.”

S menimpali bahwa dirinyapun punya ketakutan kalau-kalau status HIV yang ada pada dirinya bisa menular ke H sebagai pasanganya, terkadang ingin punya pasangan yang sama-sama positif tapi ternyata Tuhan berkehendak untuk S selalu bersama dengan H.

Saya masih ingat sebuah pertanyaan kepada Bunda Teresa saat ditanyakan kenapa beliau dan orang-orang yang ikut mau melayani kusta justru tidak pernah terpapar kusta dan beliau menjawab “Semua itu karena Kasih, dan Kasihlah yang menyelamatkan kita dari penyakit apapun”.

Kekuatan Cinta yang begitu besar telah membuat hubungan S dan H bertahan hingga tiga tahun, walaupun banyak dinamika kisah hubungan mereka. Namun mereka tetap bertahan sebagai sebuah pasangan yang saling menguatkan dan saling mengasihi dengan cara mereka.

 

*Penulis adalah koordinator Komunitas Sobat Semarang, sebuah komunitas gay di kota Semarang.